|
||||
![]() |
||||
Disusun oleh :
Sarifudin, S.Pd.I,
M.Pd.
198210112007101001
MADRASAH TSANAWIYAH
NEGERI MAJENANG
TAHUN PELAJARAN
2017/2018
|
Kata Pengantar
Syukur alhamdulillah
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat, taufik, serta hidayah-Nya
saya berhasil menyelesaikan penyusunan Pengembangan Bahan Pembelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam Kelas VIII Semester 1 untuk Madrasah Tsanawiyah.
Buku Bahan Pembelajaran
yang sedang anda baca ini dirancang dengan mengetengahkan standar kompetensi,
kompetensi dasar, langkah-langkah pembelajaran, model pembelajaran, pendekatan
pembelajaran, dan uji kompetensi. Hal ini dimaksudkan agar buku ini dapat
menuntun dan mendorong peserta didik untuk mau belajar`.
Saya menyadari bahwa
Pengembangan Bahan Pembelajaran ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritikan yang membangun demi kesempurnaannya sangat kami harapkan.
Akhirnya kami
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Kepala Madrasah
Tsanawiyah Negeri Majenang yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk
mengampu mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam ini. Demikian pula kami
sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para fasilitator yang telah
memberikan pencerahan sehingga pengembangan bahan ajar SKI Kelas IX ini
berhasil diselesaikan. Semoga buku ini bermanfaat.
Majenang, Juli 2017
Penyusun
Sarifudin,
S.Pd.I, M.Pd.
198210112007101001
Daftar isi
|
|
|
halaman
|
|
1
|
Kata pengantar
.......................................................................................................
|
2
|
|
2
|
Daftar isi ................................................................................................................
|
3
|
|
3
|
Pelajaran ke-1
Sejarah Masuknya Islam di Nusantara melalui
Perdagangan, Sosial, dan Pengajaran
|
4
|
|
4
|
Pelajaran ke-2
Sejarah Beberapa Kerajaan Islam di
Jawa, Sumatera, dan Sulawesi
|
15
|
|
5
|
Pelajaran ke-3
Beberapa Tokoh dan Perannya dalam Perkembangan Islam di
Indonesia
|
38
|
|
6
|
Pelajaran ke-4
Meneladani Semangat Para Tokoh yang Berperan dalam
Perkembangan Islam di Indonesia
|
61
|
|
7
|
Pelajaran ke-5
Menceritakan seni budaya lokal sebagai bagian dari
tradisi Islam
|
|
|
8
|
Pelajaran ke-6
Memberikan apresiasi terhadap tradisi dan upacara adat
kesukuan Nusantara
|
|
|
9
|
Penutup
..................................................................................................................
|
67
|
|
10
|
Daftar Pustaka
.......................................................................................................
|
68
|
Pelajaran I
SEJARAH MASUKNYA
ISLAM DI NUSANTARA MELALUI PERDAGANGAN, SOSIAL, DAN PENGAJARAN.

Peta Asia
·
Kompetensi Dasar :
Menceritakan sejarah masuknya Islam di Nusantara melalui
perdagangan, sosial, dan pengajaran
Tanbih
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”. (QS.
an-Nahl/16:125)
Iftitah
Sebelum Islam datang, bangsa kita
sudah memiliki kepercayaan yaitu animisme/ dinamisme
dan dalam perkembangan selanjutnya bangsa kita memeluk agama Hindu dan Budha.
Menurut M. Hariwijaya dalam Kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara, pada tahun 30 H/651 M, Khalifah Usman bin Affan
mengirim delegasi ke Cina. delegasi tersebut bertugas memerkenalkan agama Islam.
Waktu itu hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW. dalam
perjalanan laut yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Usman ternyata
sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun
674 Masehi, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai Barat
Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan agama Islam.
Sejak saat itu, para pelaut dan pedagang Muslim terus
berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau
ini sambil berdakwah. lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk agama Islam,
meskipun belum secara besar-besaran.
Meski demikian, masih saja terjadi
perdebatan mengenai kapan Islam masuk ke Indonesia dan siapa pembawanya.
Marilah kita simak beberapa teori yang menjelaskannya, yaitu terori Gujarat,
teori Makah, dan teori Persia.
A. Islam Masuk ke
Indonesia
Proses masuknya Islam ke Indonesia
petama kali ialah melalui lapisan bawah, yakni masyarakat sepanjang pesisir.
Dalam hal ini yang membawa dan memperkenalkan Islam kepada masyarakat Indonesia
adalah para pedagang-pedagang muslim baik dari Arab maupun dari Gujarat dengan
cara berdagang. Dari hubungan berdagang inilah akhirnya mereka saling mengenal
dan terjadilah hubungan yang inten dan dinamis di antara mereka. Mereka tidak
semata-mata berdagang saja tetapi juga berdakwah menyebarkan Islam.
Mengenai kapan Islam mulai masuk ke
Indonesia para ahli sejarah berbeda pendapat. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara
dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu
teori Gujarat, teori Makah, dan teori Persia.
Ketiga teori tersebut di atas
memberikan jawaban tentang permasalahan kapan masuknya Islam ke Indonesia, asal
negara, dan tentang penyebar atau pembawanya ke Indonesia. Untuk mengetahui
lebih lanjut, marilah kita simak uraian materi berikut ini.
1. Teori Gujarat
Teori ini mengemukakan
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M dan pembawanya berasal dari
bangsa Gujarat (Cambay), India. Teori ini berdasar pada:
a.
Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab
dalam penyebaran agama Islam di Indonesia
b.
Hubungan dagang antara Indonesia dengan India sudah lama
terjalin melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c.
Adanya batu nisan Sultan Malik al-Saleh (sultan Samudera
Pasai) yang bertuliskan tahun 1297 bercorak khas Gujarat
Teori Gujarat didukung
oleh Snouck Horgronje, W.F. Stutterheim, dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli
sejarah pendukung teori ini lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya
kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudera Pasai. Hal ini juga
bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah
di Perlak (Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak
penduduk yang memeluk agama Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang
menyebarkan Islam.
2. Teori Makkah
Teori Makkah merupakan
teori baru yang muncul sebagai sanggahan/penolakan terhadap teori Gujarat.
Teori Makkah
mengemukakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau
abad ke-7 M dan pembawanya berasal dari bangsa Arab (Mesir). Teori ini berdasar
pada:
a.
Pada abad ke-7 (tahun 674) di pantai Barat Sumatera sudah
terdapat perkampungan Arab (Islam); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab
sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai
dengan berita Cina dari Hikayat Dinasti T'ang, yang antara lain menceritakan
tentang orang-orang Ta.Shih (sebutan untuk orang Arab) yang mengurungkan
niatnya untuk menyerang kerajaan Ho Ling yang diperintah oleh Ratu Sima (674
M).
b.
Kerajaan Samudera Pasai menganut Mazhab Syafi’i, di mana
pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Makkah.
Sedangkan Gujarat/India adalah penganut Mazhab Hanafi.
c.
Raja-raja Samudera Pasai menggunakan gelar al-Malik,
gelar ini berasal dari Mesir.
Teori Makkah didukung
oleh Hamka, Van Leur, dan T.W. Arnold. Pendukung teori ini menyatakan bahwa
abad ke-13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya Islam ke
Indonesia terjadi sebelumnya yaitu abad ke-7 dan yang berperan besar terhadap
proses penyebarannya adalah bangsa Arab.
3. Teori Persia
Teori Persia berpendapat
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 dan pembawanya adalah bangsa
Persia (sekarang bernama Iran)
Teori Persia berdasar
pada banyaknya kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Indonesia,
seperti:
a.
Peringatan 10 Muharam atau hari Asyura, yaitu peringatan
meninggalnya Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad SAW) yang sangat dijunjung oleh
kaum Syi’ah/Islam Iran. Di Sumatera Barat peringatan tersebut disebut dengan
upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di Pulau Jawa ditandai dengan bubur Syuro.
b.
Kesamaan ajaran sufi yang dianut Syeikh Siti Jennar
dengan sufi dari Iran yaitu al-Hallaj.
c.
Penggunan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf
Arab untuk tanda-tanda bunyi harakat (jabar jer = fathah, dlommah, kasroh).
d.
Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
tahun 1419 di Gresik
e.
Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik.
Leren adalah nama salah satu pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husein dan
P.A. Hussein Jayadiningrat
B. Proses
Islamisasi di Indonesia

Gambar 2.1. Illustrasi Proses Islamisasi
Proses masuknya Islam ke Indonesia
pada umumnya dengan jalan damai. Akan tetapi adakalanya penyebaran Islam harus
diwarnai dengan cara-cara penaklukan. Hal itu terjadi jika situasi dan kondisi,
khususnya di bidang politik, di kerajaan-kerajaan sedang mengalami kekacauan
akibat perebutan kekuasaan.
Faktor pendorong agama Islam mudah
diterima oleh masyarakat dan cepat berkembang adalah:
1.
Syarat masuk Islam
sangat mudah. Seorang dianggap telah masuk Islam bila telah mengucapkan dua kalimat
syahadat.
2. Pelaksanaan ibadah dalam Islam sederhana dan biayanya
murah.
3. Agama Islam tidak mengenal kasta sehingga banyak orang dan
kelompok masyarakat menganut Islam, agar memperoleh persamaan derajat.
4. Aturan-aturan dalam agama Islam fleksibel dan tidak memaksa.
5. Agama Islam yang masuk melalui jalur Gujarat India mendapat
pengaruh Hindu dan Budha sehingga mudah untuk dipahami dan dimengerti
6. Penyebaran agama di Indonesia diadakan secara damai tanpa
adanya kekerasan dan disesuaikan dengan kondisi sosial budaya
7.
Runtuhnya kerajaan
Majapahit pada akhir abad ke 15 M
Secara umum agama Islam masuk ke
Indonesia melalui jalur-jalur perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan,
politik, dan kesenian
1. Agama Islam
Masuk Melalui Perdagangan
Pada taraf permulaan, saluran islamisasi
adalah melalui perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7
hingga ke-16 M membuat pedagang-pedagang muslim (Arab, Persia, dan India) turut
ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian Barat, Tenggara dan Timur
Benua Asia. Saluran islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan
karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan
mereka menjadi pemilik kapal dan saham.
Pada masa itu pedagang muslim yang
datang ke Indonesia semakin banyak sehingga akhirnya membentuk pemukiman yang
disebut pekojan (perkampungan Arab). Dari tempat ini mereka berinteraksi
(berhubungan) dan berasimilasi (berbaur) dengan masyarakat asli sambil
menyebarkan agama Islam.
2. Agama Islam
Masuk Melalui Perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang
muslim memiliki status sosial yang lebih tinggi dan lebih baik daripada
kebanyakan masyarakat pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri
bangsawan tertarik untuk menjadi istri-istri saudagar-saudagar tersebut. Sebelum
menikah mereka diislamkan lebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan,
lingkungan mereka semakin meluas dan akhirnya memunculkan kampung-kampung,
daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan muslim.
Jalur perkawinan ini lebih
menguntungkan dan lebih mempercepat dalam penyebaran agama Islam. Karena jika terjadi
perkawinan antara anak bangsawan atau anak raja, atau anak adipati, karena
mereka adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh dalam
masyarakat, maka keislaman mereka akan diikuti oleh masyarakat/ pengikutnya sehingga
turut mempercepat proses islamisasi.
Beberapa contoh pernikahan yang
dilakukan ulama anatara lain
a.
Maulana Ishak
menikah dengan putri Prabu Blambangan yang melahirkan anak Sunan giri.
b. Syarif Abdullah yang menikah dengan putri Prabu Siliwangi
melahirka Sunan
Gunung Jati.
3. Agama Islam
Masuk Melalui Tasawuf
Tasawuf adalah ajaran (cara dan
sebagainya) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga
memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya. Orang yang ahli di bidang
ilmu tasawuf disebut sufi.
Pengajar-pengajar tasawuf atau para
sufi, mengajarkan ilmu tasawuf yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal
luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis (yang
berhubungan dengan hal-hal gaib) dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan.
Di antara mereka ada yang mengawini puteri-puteri bangsawan setempat. Dengan
tasawuf bentuk Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan
dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama
baru tersebut mudah dimengerti dan diterima. Ajaran mistik ini masih berkembang
di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.
4. Agama Islam
Masuk Melalui Pendidikan
|
5. Agama Islam
Masuk Melalui Kesenian
|
Gb.
2.4. Menara Masjid al-Aqsha Kudus
Misalnya, cerita yang berjudul Jamus
Kalimasada, Wahyu Tohjali, Wahyu Purboningrat, dan Babat Alas Wonomarto.
Kesenian-kesenian lain juga dijadikan media islamisasi, seperti sastra
(hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan, dan seni ukir
6. Agama Islam
Masuk Melalui Politik
Di beberapa daerah di Indonesia
kebanyakan rakyat masuk Islam setelah penguasa atau rajanya masuk Islam
terlebih dahulu. Pengaruh politik para raja dan penguasa tersebut sangat
membantu tersebarnya Islam di Nusantara ini. Di samping itu kerajaan-kerajaan
yang sudah memeluk agama Islam terkadang menaklukkan kerajaan-kerajaan non
Islam yang sedang mengalami konflik
internal (akan dibahas pada pembelajaran ke-2). Kemenangan kerajaan
Islam secara politis menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam
Rangkuman
Sebelum Islam masuk ke
Indonesia masyarakatnya sudah memiliki kepercayaan animisme/dinamisme kemudian
dalam perkembangan selanjutnya masyarakat memeluk agama Hindu dan Budha
Masuknya Islam ke Indonesia
terdapat bermacam-macam pendapat, tetapi para ahli sepakat dengan dua
kesimpulan, pertama bahwa Islam masuk ke Indonesia terjadi pada abad
ke-1 Hijriyah yang bertepatan dengan abad ke-7 Masehi langsung dari Mekah ke
Indonesia. Kedua, agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M
melalui Gujarat, India. Masing-masing pendapat didukung oleh fakta-fakta
sejarah yang ada.
Terdapat tiga teori
tentang proses masuknya Islam ke Indonesia, pertama teori Gujarat yang
menyatakan bahwa asal negara pembawa Islam ke Indonesia adalah Gujarat; kedua
adalah teori Mekah sebagai koreksi terhadap teori Gujarat yang menyatakan bahwa
Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekah; ketiga adalah teori Persia
yang mendasarkan penemuannya atas persamaan budaya.
Proses penyebaran Islam
di Indonesia dilakukan secara damai dan kekeluargaan melalui saluran
perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Pengaruh
Islam terhadap peradaban bangsa Indonesia berupa pengaruh bahasa dan nama, adat
istiadat, dan kesenian.
Kamus Istilah
1.
Animisme : kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami
sekalian benda (pohon, batu, sungai, gunung, dsb
2. Dinamisme :
kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan
hidup
3. Teori : pendapat
yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan
argumentasi
4. Perkampungan : kelompok
rumah yang merupakan kampung
5. Politik : segala
urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan suatu
negara atau terhadap negara lain
6. Konflik : perselisihan
Uji Kompetensi
Tes afektif
Berilah tanda (√)
pada kolom S (setuju) atau TS ( tidak setuju ) pada pernyataan di bawah
ini!
|
No
|
Pernyataan
|
S
|
TS
|
|
1
|
Karena belajar mengaji itu penting. Ahmad memaksa
adiknya turut mengaji meskipun adiknya sedang asyik menonton TV
|
|
|
|
2
|
Islam adalah agama yang diridhai Allah maka setiap
manusia harus memeluk agama Islam
|
|
|
|
3
|
Fatimah merasa malu ketika teman-temannya mencemooh
gara-gara ia memakai jilbab
|
|
|
|
4
|
Santoso yang sedang tertimpa musibah, Sebagai tetangga,
Ali harus tetap memberi pertolongan
meski Santoso berbeda keyakinan dengan dirinya
|
|
|
|
5
|
Kita tidak perlu berteman akrab dengan Ahmad, karena
Ahmad menjalan-kan tarawih 21 rekaat
|
|
|
|
6
|
Tradisi yang berkembang di masyarakat tidak perlu kita
lestarikan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam
|
|
|
|
7
|
Tontonan wayang sudah tidak layak dikembangkan karena
sudah ketinggalan zaman
|
|
|
|
8
|
Untuk mengenang jasa dan mengungkapan rasa terima kasih
kepada para ulama kita berziarah ke makamnya
|
|
|
|
9
|
Anton seorang muslim keturunan Cina. Bagaimanapun ia
harus tetap merayakan Imlek karena sudah tradisi leluhurnya
|
|
|
|
10
|
Negara Indonesia memiliki beragam budaya dan tradisi.
Sebagai warga negara yang baik budaya dan tradisi Indonesia harus
dikembangkan termasuk budaya dan tradisi yang bukan berasal dari Islam
|
|
|
Tugas Mandiri
Ceritakan secara singkat proses
masuknya agama Islam melalui perdagangan,
perkawinan, tasawuf, pendidikan, politik, dan kesenian!
Test Pengetahuan
I. Berilah tanda
silang pada huruf a, b, c, atau d di depan jawaban yang tepat
1.
Agama Islam masuk ke Indonesia mula-mula melalui jalur:
a. Perdagangan c. Pendidikan
b. Perkawinan d. Tasawuf
2.
Sebagian besar para ahli sejarah menyepakati bahwa kedatangan
Islam di Indonesia pada abad:
a. ke-7 M c. ke-13 M
b. ke-11 M d.
ke 15 M
3.
Salah satu bukti agama Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke-7 M adalah banyaknya pedagang muslim yang ke negeri Cina singgah di Pulau
Sumatera sebagaimana dikemukakan oleh:
a. Harry W. Hazard c.
T.W. Arnold
b. Snouck Hurgronje d. Prof. S. Muhammmad Huseyn Nainar
4.
Gejolak politik internal di beberapa kerajaan menjadi
alasan penyebaran agama Islam dilakukan dengan cara:
a. Perkawinan c. Perdagangan
b. Politik d. Kesenian
5.
Proses pengembangan Islam melalui jalur perkawinan
dilakukan oleh:
a. Maulana Ishak c. Sunan Kudus
b.
Sunan Gunung Jati d. Sunan Muria
6.
Pondok pesantren Glagah Wangi didirikan oleh:
a. Sunan Ampel c. Raden Fatah
b. Sunan Kalijaga d. Sunan Bonang
7.
Latar belakang kepercayaan bangsa Indonesia yang animisme
dan dinamisme memudahkan agama Islam dikembangkan melalui jalur:
a. Perdagangan c. Pendidikan
b. Perkawinan d. Tasawuf
8.
Sunan Kalijaga dalam mengembangkan Islam di Jawa
menggunakan jalur kesenian, yaitu
a. Jatilan c. Ludruk
b.
Wayang d.
Ketoprak
9.
Berikut ini yang bukan termasuk muatan-muatan positip
dalam kesenian wayang adalah ...
a. Unsur ajaran
agama c. Unsur filsafat
b. Unsur pendidikan d.
Unsur ekonomi
10.
Di beberapa daerah di Indonesia kebanyakan rakyat masuk
Islam setelah penguasa atau rajanya masuk Islam terlebih dahulu. Hal ini
termasuk pengembangan Islam melalui jalur:
a. Pendidikan c. Politik
b. Kesenian d.
Tasawuf
II. Isilah dengan
jawaban yang tepat
1.
Teori yang menyatakan Islam datang dari Gujarat
dikemukakan oleh ....
2. Teori yang
mendasarkan pada kesamaan budaya antara persia dengan Indonesia disebut ....
3. Agama Islam
datang langsung dari Arab bukan dari Gujarat India, adalah inti dari teori ....
4. Sumber-sumber
literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7 M, sudah berdiri
perkampungan Arab Muslim di ....
5. Di beberapa
daerah di Indonesia kebanyakan rakyat masuk Islam setelah ... masuk Islam
terlebih dahulu.
6. Awal pengembangan
Islam di Indonesia lebih cepat dilakukan melalui jalur ....
7. Perkampungan
muslim yang terbentuk oleh para pedagang Islam disebut ....
8. Raden Fatah yang
merupakan keturunan raja-raja ... adalah pendiri kerajaan Islam pertama di
pulau Jawa yaitu kerajaan Demak
9. daerah yang
mula-mula disinggahi pedagang Arab adalah ....
10. Selain wayang,
kesenian yang dijadikan alat islamisasi yaitu ....
III. Jawablah dengan
singkat dan tepat!
1.
Mengapa agama Islam mudah diterima dan berkembang di
Indonesia?
2. Sebutkan
bukti-bukti agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M!
3. Jelaskan dasar-dasar
teori Persia!
4. Jelaskan teori Makah
dalam proses masuknya Islam ke Indonesia
5. Mengapa ulama
mengembangkan Islam menggunakan jalur kesenian?
Pelajaran II
SEJARAH BEBERAPA
KERAJAAN ISLAM DI JAWA,
SUMATERA, DAN
SULAWESI

Gambar 3.1 Nisan
Sultan Muhammad Malik Al-Zahir Atau Malikuzzahir
·
Kompetensi Dasar :
Menceritakan sejarah beberapa kerajaan Islam di Sumatera,
Jawa, dan Sulawesi
Tanbih
(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ wur (#qè%§xÿs? 4 (#rãä.ø$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ øÎ) ÷LäêZä. [ä!#yôãr& y#©9r'sù tû÷üt/ öNä3Î/qè=è% Läêóst7ô¹r'sù ÿ¾ÏmÏFuK÷èÏZÎ/ $ZRºuq÷zÎ) ÷LäêZä.ur 4n?tã $xÿx© ;otøÿãm z`ÏiB Í$¨Z9$# Nä.xs)Rr'sù $pk÷]ÏiB 3 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt6ã ª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»t#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrßtGöksE
Artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang
yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (QS. Ali Imran/ 3:103)
Iftitah
Munculnya perkampungan-perkampungan
muslim menjadi cikal bakal terbentuknya beberapa kerajaan Islam. Namun demikian
beberapa kerajaan non-Islam juga berubah menjadi kerajaan Islam setelah sang
raja/penguasanya masuk Islam.
Beberapa kerajaan Islam muncul di
beberapa daerah, seperti di Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Maluku. Dapatkah
kalian menyebutkan nama-nama kerajaan Islam tersebut?
A. Kerajaan Islam
di Sumatera
1. Kesultanan Perlak
Aceh daerah paling barat di kepulauan
Nusantara adalah yang pertama kali menerima ajaran agama Islam. bahkan di Acehlah
kesultanan atau kerajaan islam pertama di Indonesia berdiri, yakni kesultanan
Perlak (Memang ada perbedaan pendapat, di versi lain menyebutkan kerajaan Islam
yang pertama adalah Samudra Pasai).
Pendiri kesultanan Perlak adalah
sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Shah yang menganut aliran atau Mahzab
Syiah. Ia merupakan keturunan pendakwah arab dengan perempuan setempat.
Kerajaan Perlak didirikannya pada tanggal 1 Muharram 225 H/840 M, saat kerajaan
Mataram Kuno atau Mataram Hindu di Jawa masih berjaya. sebagai gebrakan
mula-mula, sultan Alaiddin mengubah nama ibu kota kerajaan dari Bandar Perlak
menjadi Banda Khalifah.
Berita dari Marcopolo menyebutkan,
pada saat persinggahannya di Pasai pada tahun 692 H/1292 M, telah banyak ulama
Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Batutah, Pengembara
Muslim dari Maghribi (sekarang Maroko). Ketika Singgah di Aceh pada tahun 746
H/1345 M, Ibnu Batutah menuliskan bahwa di Perlak dan Pasai telah tersebar
Mazhab Syafi’i.
Tahun 956 M/362 H, setelah
meninggalnya Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan berdaulat atau
sultan ketujuh, terjadi lagi ketegangan selama kurang lebih empat tahun antara
golongan Syiah dan Sunni,yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan
menjadi dua bagian; yaitu Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin
Sayid Maulana Syah (986 – 988) dan Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan berdaulat (986 – 1023). Pada
tahun 988, Kerajaan Sriwijaya Menyerang Perlak. Sultan Alaiddin Maulana Syah
meninggal karena serangan itu. Namun demikian, sebagai akibatnya, seluruh
perlak justru bersatu kembali di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Ibrahim Syah Berdaulat. Sultan Makhdum melanjutkan perjuangan melawan kerajaan
Budha Sri Wijaya hingga tahun 1006.
Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan berdaulat (memerintah 1230-1267)
menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan
penguasa negeri tetangga Peureulak:
a.
Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka,
Sultan Muhammad Shah (Parameswara).
b. Putri Ganggang,
dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.
Meski telah menjalankan politik damai
dengan mengikat persaudaraan, ketegangan politik itu rupanya tetap saja
mengancam kedaulatan kesultanan Perlak. Sultan terakhir Perlak adalah sultan
ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan (1267-1292).
Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah
pemerintahan Sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik al-Zahir, putra al
Malik al-Saleh.
2. Kesultanan Samudera Pasai
Gambar 2.1. Lokasi Kerajaan Samudera Pasai
(Sumber: http://acehdalamsejarah.blogspot.com)
Lahirnya Samudra Pasai sebagai
kerajaan Islam diperkirakan dimulai dari awal atau
pertengahan abad ke-13, sebagai hasil proses islamisasi
daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi ulama-ulama muslim
sejak abad ke-7. Fakta tentang berdirinya kerajaan Islam Samudra Pasai pada
abad ke-13 ini didukung oleh data-data sejarah yang nyata. Yang terpenting
diantaranya adalah batu nisan yang memuat nama sultan Malik al-Saleh, rajanya yang pertama, berangka tahun
696 H/1297 M. Di Jawa, pada saat itu sedang berdiri Kerajaan Majapahit yang
sangat berpengaruh (1293 – 1478 M). Data ini dikuatkan oleh kitab Hikayat Raja-raja
Pasai. Hikayat ini menyebutkan bahwa raja pertama dan sultan pendiri kerajaan
Samudra Pasai adalah Malik al-Shaleh. Adapun namanya sebelum menjadi raja
adalah Marah Sile atau Marah Selu. Ia masuk Islam atas
bimbingan Syeikh Ismail, seorang ulama utusan Syarif Makah yang kemudian
memberinya gelar Sultan Malik al-Shaleh.
Kerajaan Samudra Pasai adalah sebuah
kerajaan maritim.
Sumber-sumber Cina menyatakan bahwa pada awal tahun 1290, kerajaan itu telah
mengirim kepada raja Cina duta-duta yang disebut dengan nama-nama muslim, yakni
Husein dan Sulaiman. Dalam kehidupan perekonomiannya, Samudra Pasai pada masa
pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak mempunyai basis agrarian, melainkan
perniagaan dan pelayaran.
Pengawasan terhadap perniagaan dan pelayaran merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan yang besar dari pajak. Hal itu dibenarkan oleh Tome Pires, wartawan portugis. Ia melaporkan, di pasai pada tahun 1513, setiap kapal yang membawa barang-barang dari barat dikenakan pajak. Ia juga menceritakan bahwa pasai memiliki mata uang drama atau dirham yang berukuran kecil. Adanya mata uang tersebut membuktikan bahwa pada saat itu Samudra Pasai merupakan kerajaan yang makmur.
Pengawasan terhadap perniagaan dan pelayaran merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan yang besar dari pajak. Hal itu dibenarkan oleh Tome Pires, wartawan portugis. Ia melaporkan, di pasai pada tahun 1513, setiap kapal yang membawa barang-barang dari barat dikenakan pajak. Ia juga menceritakan bahwa pasai memiliki mata uang drama atau dirham yang berukuran kecil. Adanya mata uang tersebut membuktikan bahwa pada saat itu Samudra Pasai merupakan kerajaan yang makmur.
Pada tahun 746 H atau 1345 Masehi,
Ibnu Batuttah, pengembara asal Maroko, mengunjungi Samudra Pasai dalam
perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ia menggambarkan bahwa penduduk kota di sana
berjumlah sekitar 20 ribu jiwa. Di kesultanan tersebut terdapat istana yang ramai,
dengan ratusan ilmuwan dan ulama yang menghidupkan aktivitas pengembangan ilmu
pengetahuan. Pada masa itu, sultan yang berkuasa adalah Ahmad Malik al-Zahir
(1326 – 1371). Ia mewarisi kekuasaan dari Sultan Muhammad Malik al-Zahir (1297
– 1326).
Berdasarkan berita Ubnu Batuttah, juga
diketahui bahwa kerajaan Samudra Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama
Islam dan juga tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam. Para
ulama tersebut berkumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah keagamaan dan
keduniawian sekaligus. Ibnu Batuttah menyatakan bahwa Islam sudah hampir satu
abad lamanya disiarkan di sana, sedangkan kaum muslim di sana mengikuti Mazhab
Syafi’i.
Nasib kesultanan Samudera Pasai
akhirnya hanya berlangsung hingga tahun 1524. pada tahun 1521, kerajaan
tersebut ditaklukkan oleh bangsa Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun.
Setelah itu, pada tahun 1524 dan seterusnya, Kesultanan Aceh Darussalam di
bawah pimpinan Sultan Mughayat Syah merebut kerajaan ini dan mengusir
orang-orang portugis. Samudera pasai kemudian berada di bawah pengaruh
kesultanan Islam Aceh yang berpusat di Banda Aceh Darussalam.
3. Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh Darussalam berdiri
menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai
yang pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit hingga kemundurannya di abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara Pulau
Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat
Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913
H atau pada tanggal 8 September 1507.
Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496-1903),
Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan,
terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan
militer, komitmennya dalam menentang imperialisme (penjajahan) bangsa
Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat
pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan
diplomatik dengan negara lain.
Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah
berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan
yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa,
sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk
membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai
sebelumnya.
Di awal-awal masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah wilayah Kesultanan
Aceh berkembang hingga mencakup Daya,
Deli, Pedir, Pasai, dan Aru.
Pada tahun 1528,
Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga
tahun 1537.
Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang
berkuasa hingga tahun 1568.
Walaupun masa kepemimpinan Mughayat
Syah relatif singkat, hanya sampai tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun
kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Ali Mughayat Syah juga meletakkan
dasar-dasar politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam, yaitu: (1) mencukupi
kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar; (2) menjalin
persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara; (3)
bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat; (4) menerima bantuan tenaga
ahli dari pihak luar; (5) menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan
nusantara. Sepeninggal Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap
dijalankan oleh penggantinya
Kesultanan Aceh mengalami masa
keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa
kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari Selat
Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada
tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda
(Sumatera, Jawa, dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu.
Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari
Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap
Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan
60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka
dan Semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Melaka dari
segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan
antara Portugis dengan Kesultanan Pahang.
Dalam lapangan pembinaan kesusastraan
dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan
mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri
dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al- Adyan, Syamsuddin
al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin ar-Raniry dalam bukunya Sirat
al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj
al-Tulabb Fi Fashil.
Kemunduran Kesultanan Aceh bermula
sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin menguatnya kekuasaan
Belanda di Pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah
Minangkabau, Siak, Deli dan Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda.
Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta
kesultanan.
Traktat (perjanjian)
London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada
Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra, sementara
Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga
berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.
Pada akhir Nopember 1871, lahirlah apa
yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk
perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera.
Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan”. Sejak itu,
usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri
Belanda maupun Batavia. Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun,
Kesultanan Aceh akhirnya jatuh ke pangkuan kolonial Hindia-Belanda. Sejak
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh menyatakan bersedia bergabung ke
dalam Republik Indonesia atas ajakan dan bujukan dari Soekarno
(pesiden pertama) kepada pemimpin Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh saat itu.
Perang Aceh
dimulai sejak Belanda menyatakan perang
terhadap Aceh pada 26 Maret 1873
setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut
wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi
gagal, dan pada 1892
dan 1893,
pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Snouck
Hurgronje, seorang ahli Islam
dari Universitas Leiden yang telah berhasil
mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran
kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada
sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, J.B. Van Heutsz
dinyatakan sebagai Gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendricus Colijn, merebut
sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan
diri kepada Belanda pada tahun 1903
setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh
Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir
seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Gelar-Gelar yang Digunakan dalam Kerajaan Aceh
a.
Teungku
b. Tuanku
c. Pocut
d. Teuku
e. Laksamana
f. Uleebalang
g. Cut
i.
Meurah
B. Kerajaan Islam
di Jawa
- Kesultanan Demak

Gambar 4.1
Masjid Agung Demak
(Sumber
Wikipedia)
Demak pada masa sebelumnya sebagai
suatu daerah yang dikenal dengan nama Bintoro atau Gelagahwangi yang merupakan
daerah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit. Kadipaten Demak tersebut
dikuasai oleh Raden Patah salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre
Kertabumi) yaitu raja Majapahit.
Dengan berkembangnya Islam di Demak,
maka Demak dapat berkembang sebagai kota dagang dan pusat penyebaran Islam di
pulau Jawa. Hal ini dijadikan kesempatan bagi Demak untuk melepaskan diri
dengan melakukan penyerangan terhadap Majapahit.
Setelah Majapahit hancur maka Demak
berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa dengan rajanya yaitu Raden
Patah. Kerajaan Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah dengan pusat
pemerintahannya di daerah Bintoro di muara sungai Demak, yang dikelilingi oleh
daerah rawa yang luas di perairan Laut Muria. (sekarang Laut Muria sudah
merupakan dataran rendah yang dialiri sungai Lusi).
Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak
terletak antara Bergota dan Jepara, di mana Bergota adalah pelabuhan yang
penting pada masa berlangsungnya kerajaan Mataram (Wangsa Syailendra),
sedangkan Jepara akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi
kerajaan Demak.
|
Kehidupan Politik
Lokasi kerajaan Demak yang strategis
untuk perdagangan nasional, karena menghubungkan perdagangan antara Indonesia
bagian Barat dengan Indonesia bagian Timur, serta keadaan Majapahit yang sudah
hancur, maka Demak berkembang sebagai kerajaan besar di pulau Jawa, dengan
rajanya yang pertama yaitu Raden Patah. Ia bergelar Sultan Alam Akbar al-Fatah
(1500 – 1518).
Pada masa pemerintahannya Demak
memiliki peranan yang penting dalam rangka penyebaran agama Islam khususnya di
pulau Jawa, karena Demak berhasil menggantikan peranan Malaka, setelah Malaka
jatuh ke tangan Portugis 1511.
Kehadiran Portugis di Malaka merupakan
ancaman bagi Demak di pulau Jawa. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka pada
tahun 1513 Demak melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka, yang
dipimpin oleh Adipati Unus atau terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.
Serangan Demak terhadap Portugis
walaupun mengalami kegagalan namun Demak tetap berusaha membendung masuknya
Portugis ke pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Adipati Unus (1518 – 1521),
Demak melakukan blokade pengiriman beras ke Malaka sehingga Portugis kekurangan
makanan.
Puncak kebesaran Demak terjadi pada
masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546), karena pada masa
pemerintahannya Demak memiliki daerah kekuasaan yang luas dari Jawa Barat
sampai Jawa Timur.
Kekuasaan tersebut berhasil
dikembangkan antara lain karena Sultan Trenggono melakukan penyerangan terhadap
daerah-daerah kerajaan-kerajaan Hindu yang mengadakan hubungan dengan Portugis
seperti Sunda Kelapa (Pajajaran) dan Blambangan.
Penyerangan terhadap Sunda Kelapa yang
dikuasai oleh Pajajaran disebabkan karena adanya perjanjian antara raja Pakuan
penguasa Pajajaran dengan Portugis yang diperkuat dengan pembuatan tugu
peringatan yang disebut Padrao. Isi dari Padrao tersebut adalah Portugis
diperbolehkan mendirikan Benteng di Sunda Kelapa dan Portugis juga akan
mendapatkan rempah-rempah dari Pajajaran.
Sebelum Benteng tersebut dibangun oleh
Portugis, tahun 1526 Demak mengirimkan pasukannya menyerang Sunda Kelapa, di
bawah pimpinan Fatahillah. Dengan penyerangan tersebut maka tentara Portugis
dapat dipukul mundur di Teluk Jakarta.
Kemenangan Fatahillah merebut Sunda
Kelapa tepat tanggal 22 Juni 1527 diperingati dengan pergantian nama menjadi
Jayakarta yang berarti Kemenangan Abadi.
Sedangkan penyerangan terhadap
Blambangan dilakukan pada tahun 1546, di mana pasukan Demak di bawah pimpinan
Sultan Trenggono yang dibantu oleh Fatahillah, tetapi sebelum Blambangan
berhasil direbut Sultan Trenggono meninggal di Pasuruan.
Dengan meninggalnya Sultan Trenggono,
maka terjadilah perebutan kekuasaan antara Pangeran Sekar Sedolepen (saudara
Trenggono) dengan Sunan Prawoto (putra Trenggono) dan Arya Penangsang (putra
Sekar Sedolepen).
Perang saudara tersebut diakhiri oleh
Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang dibantu oleh Ki Ageng Pemanahan,
sehingga pada tahun 1568 Pangeran Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan
Demak ke Pajang. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Demak dan hal ini juga
berarti bergesernya pusat pemerintahan dari pesisir ke pedalaman.
Masa Kejayaan dan
Kemunduran
Puncak kebesaran Demak terjadi pada
masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546), karena pada masa
pemerintahannya Demak memiliki daerah kekuasaan yang luas setelah menaklukkan
kerajaan Pajajaran di Jawa Barat dan kerajaan Blambangan di Jawa Timur.
Kematian Trenggono
menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama Pangeran
Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk Pangeran Seda
Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh
anak dari Pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang.
Tahta Demak dikuasai Arya
Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul
pemberontakan dan kekacauan yang datangnya dari kadipaten-kadipaten. Apalagi
ketika Adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang
mengakibatkan si adik dari adipati Jepara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama
adipati-adipati lainnya melakukan pemberontakan dalam bentuk gerakan melawan
Arya Panangsang. Salah satu dari adipati yang memberontak itu bernama Hadiwijaya
berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebo Kenongo sekaligus menantu
Trenggono yang masih ada hubungan darah dengan sang raja.
Jaka Tingkir, yang
berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya
Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia
menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan
Islam Demak.
Kehidupan Sosial
Budaya
Kehidupan sosial dan
budaya masyarakat Demak lebih berdasarkan pada agama dan budaya Islam karena
pada dasarnya Demak adalah pusat penyebaran Islam. Sebagai pusat penyebaran
Islam Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan
Muria, Sunan Kudus dan Sunan Bonang.
Para wali tersebut
memiliki peranan yang penting pada masa perkembangan kerajaan Demak bahkan para
wali tersebut menjadi penasehat bagi raja Demak. Dengan demikian terjalin
hubungan yang erat antara raja/bangsawan – para wali/ulama dengan rakyat.
Hubungan yang erat
tersebut, tercipta melalui pembinaan masyarakat baik pembinaan agama maupun
pembinaan sosial yang diselenggarakan di Masjid maupun Pondok Pesantren.
Sehingga tercipta kebersamaan atau Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan di antara
orang-orang Islam).
Demikian pula dalam
bidang budaya banyak hal yang menarik yang merupakan peninggalan dari kerajaan
Demak. Salah satunya adalah Masjid Demak, di mana salah satu tiang utamanya
terbuat dari pecahan-pecahan kayu yang disebut Soko Tatal.
Masjid Demak dibangun
atas pimpinan Sunan Kalijaga. Di serambi depan Masjid (pendopo) itulah Sunan
Kalijaga menciptakan dasar-dasar perayaan Sekaten (Maulud Nabi Muhammad saw)
yang sampai sekarang masih berlangsung di Yogyakarta dan Cirebon
2. Kesultanan Pajang
Kesultanan Pajang, adalah kerajaan
penerus Kesultanan Demak yang didirikan oleh Joko Tingkir yang kemudian
bergelar Sultan Hadiwijaya (1568-1582). Pajang sebelumnya merupakan daerah
kadipaten di bawah Kesultanan Demak. Situs keraton Pajang, diperkirakan berada
di Kelurahan Pajang, Kota Surakarta.
Joko Tingkir adalah anak Ki Ageng
Pengging, yang menurut beberapa babad dihukum mati oleh Sunan Kudus karena
mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah ayahnya wafat, Joko Tingkir kemudian
dibesarkan oleh pamannya Ki Ageng Tingkir. Setelah dewasa, ia diperintahkan
pamannya untuk pergi ke ibukota Kesultanan Demak dan mengabdi ke Sultan yang
ketika itu berkuasa, yaitu Sultan Trenggono.
Dikisahkan bahwa pada saat ia datang
ke Demak, sedang diadakan sayembara untuk menaklukkan banteng ketaton (banteng
mengamuk). Joko Tingkir yang mengikuti sayembara tersebut dapat melumpuhkan
banteng tersebut dengan satu kali pukulan saja. Karena kesaktiannya, Joko
Tingkir diterima mengabdi dan akhirnya bahkan menjadi menantu Sultan Trenggono.
Setelah Sultan Trenggono wafat,
anaknya Sunan Prawoto diangkat menjadi penggantinya. Akan tetapi ia kemudian
meninggal terbunuh dalam intrik perebutan kekuasaan dengan keponakannya sendiri
yaitu Arya Penangsang, adipati Jipang yang juga adalah murid Sunan Kudus. Arya
Penangsang kemudian menjadi penguasa Demak, dan selanjutnya terjadilah
perlawanan terhadap Arya Penangsang yang dipimpin oleh kadipaten Pajang. Waktu
itu, Joko Tingkir telah menjadi adipati Pajang.
Awal berdirinya Kerajaan Pajang
Dengan bantuan dari
kadipaten-kadipaten lainnya yang juga tidak menyukai Arya Penangsang, Joko
Tingkir akhirnya berhasil membinasakan Arya Penangsang. Joko Tingkir kemudian
memindahkan istana Demak ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kesultanan
Pajang. Joko Tingkir sebagai raja bergelar Sultan Hadiwijaya (1568-1582),
kedudukannya disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat pengakuan dari
adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Salah seorang anak Sunan
Prawoto yaitu Arya Pangiri, diangkatnya menjadi adipati Demak. Sedangkan
seseorang yang paling berjasa membantunya yaitu Ki Ageng Pemanahan (putra dari
Ki Ageng Ngenis, dan cucu Ki Ageng Selo), diberinya imbalan daerah Mataram
(sekitar Kota Gede, Yogyakarta) pada tahun 1558 untuk ditinggali.
Akhir Kerajaan Pajang
Pemberian tanah di daerah Mataram oleh
Joko Tingkir kepada Ki Ageng Pemanahan, seakan menjadi bumerang karena Mataram
akan menghabisi kekuatan Pajang. Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian juga dikenal
dengan panggilan Ki Gede Mataram, dalam waktu singkat mampu membuat Mataram
beserta rakyatnya maju. Namun sebelum dapat ikut menikmati hasil, di tahun 1575
Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia.
Usahanya kemudian dilanjutkan oleh
anaknya yaitu Sutawijaya, yang merupakan ahli peperangan dan nantinya lebih
dikenal dengan nama Senapati ing Alaga (panglima perang) atau Panembahan
Senopati.
Tujuh tahun kemudian (1582) Joko
Tingkir meninggal, dan Pangeran Benowo anak laki-laki tertuanya yang seharusnya
menggantikannya, ternyata disingkirkan Arya Pangiri dan akhirnya hanya
dijadikan adipati di Jipang. Pada tahun 1587, Sutawijaya (putra Ki Ageng
Pemanahan), penguasa Mataram, menyatakan tidak loyal lagi pada Pajang.
Arya Pangiri diserang oleh Sutawijaya
yang dibantu Pangeran Benowo. Ia merebut Pajang dan Arya Pangiri berhasil
dikalahkan. Sutawijaya lalu memindahkan Karaton Pajang ke Mataram dan ia
menjadi raja bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). Pajang kemudian menjadi
bagian dari wilayah Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Sutawijaya.
3. Kerajaan Mataram
(Islam)
Pada awal perkembangannya kerajaan
Mataram adalah daerah kadipaten yang dikuasai oleh Ki Gede Pamanahan. Daerah
tersebut diberikan oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yaitu raja Pajang
kepada Ki Gede Pamanahan atas jasanya membantu mengatasi perang saudara di
Demak yang menjadi latar belakang munculnya kerajaan Pajang.
Ki Gede Pamanahan memiliki putra
bernama Sutawijaya yang juga mengabdi kepada raja Pajang sebagai komando
pasukan pengawal raja. Setelah Ki Gede Pamanahan meninggal tahun 1575, maka
Sutawijaya menggantikannya sebagai adipati di Kota Gede tersebut.
Setelah pemerintahan Hadiwijaya di
Pajang berakhir, maka kembali terjadi perang saudara antara Pangeran Benowo
putra Hadiwijaya dengan Arya Pangiri, Bupati Demak yang merupakan keturunan
dari Raden Trenggono.
Akibat dari perang saudara tersebut,
maka banyak daerah yang dikuasai Pajang melepaskan diri, sehingga hal inilah
yang mendorong Pangeran Benowo meminta bantuan kepada Sutawijaya.
Atas bantuan Sutawijaya tersebut, maka
perang saudara dapat diatasi dan karena ketidakmampuannya maka secara sukarela
Pangeran Benowo menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya. Dengan demikian
berakhirlah kerajaan Pajang dan sebagai kelanjutannya muncullah kerajaan
Mataram.
Lokasi kerajaan Mataram tersebut di
Jawa Tengah bagian Selatan dengan pusatnya di kota Gede yaitu di sekitar kota
Yogyakarta sekarang.
Kehidupan Politik
Pendiri kerajaan Mataram adalah Sutawijaya.
Ia bergelar Panembahan Senopati, memerintah tahun (1586 – 1601). Pada awal
pemerintahannya ia berusaha menundukkan daerah-daerah seperti Ponorogo, Madiun,
Pasuruan, dan Cirebon serta Galuh.
Sebelum usahanya untuk memperluas dan
memperkuat kerajaan Mataram, Sutawijaya digantikan oleh putranya yaitu Mas
Jolang yang bergelar Sultan Hanyakrawati tahun 1601 -1613.
Sebagai raja Mataram ia juga berusaha
meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Panembahan Senopati untuk memperoleh
kekuasaan Mataram dengan menundukkan daerah-daerah yang melepaskan diri dari
Mataram. Akan tetapi sebelum usahanya selesai, Mas Jolang meninggal tahun 1613
dan dikenal dengan sebutan Panembahan Sedo Krapyak.
Untuk selanjutnya yang menjadi raja
Mataram adalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati ing alogo
Ngabdurrahman, yang memerintah tahun 1613-1645.
Sultan Agung merupakan raja terbesar.
Pada masa pemerintahannya Mataram mencapai puncaknya, karena ia seorang raja
yang gagah berani, cakap dan bijaksana.
Pada masa pemerintahannya, kota
kerajaan Mataram mula-mula di Kerta, kemudian dipindahkan ke Plered. Sebagai
raja Mataram ia bercita-cita mempersatukan seluruh pulau Jawa di bawah
kekuasaan Mataram.
Pada tahun 1625 hampir seluruh pulau
Jawa dikuasainya kecuali Batavia dan Banten. Daerah-daerah tersebut
dipersatukan oleh Mataram antara lain melalui ikatan perkawinan antara
adipati-adipati dengan putri-putri Mataram, bahkan Sultan Agung sendiri menikah
dengan putri Cirebon sehingga daerah Cirebon juga mengakui kekuasaan Mataram.
Di samping mempersatukan berbagai
daerah di pulau Jawa, Sultan Agung juga berusaha mengusir VOC Belanda dari
Batavia. Untuk itu Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC ke Batavia
pada tahun 1628 dan 1629 akan tetapi serangan tersebut mengalami kegagalan.
Penyebab kegagalan serangan terhadap
VOC antara lain karena jarak tempuh dari pusat Mataram ke Batavia terlalu jauh
kira-kira membutuhkan waktu 1 bulan untuk berjalan kaki, sehingga bantuan
tentara sulit diharapkan dalam waktu singkat. Dan daerah-daerah yang
dipersiapkan untuk mendukung pasukan sebagai lumbung padi yaitu Kerawang dan
Bekasi dibakar oleh VOC, sebagai akibatnya pasukan Mataram kekurangan bahan
makanan.
Dampak pembakaran lumbung padi maka
tersebar wabah penyakit yang menjangkiti pasukan Mataram, sedangkan pengobatan
belum sempurna. Hal inilah yang banyak menimbulkan korban dari pasukan Mataram.
Di samping itu juga sistem persenjataan Belanda lebih unggul dibanding pasukan
Mataram.
Walaupun penyerangan terhadap Batavia
mengalami kegagalan, namun Sultan Agung tetap berusaha memperkuat penjagaan
terhadap daerah-daerah yang berbatasan dengan Batavia, sehingga pada masa
pemerintahannya VOC sulit menembus masuk ke pusat pemerintahan Mataram.
Setelah wafatnya Sultan Agung tahun
1645, Mataram tidak memiliki raja-raja yang cakap dan berani seperti Sultan
Agung, bahkan putranya sendiri yaitu Amangkurat I dan cucunya Amangkurat II
merupakan raja-raja yang lemah.
Kelemahan raja-raja Mataram setelah
Sultan Agung dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk melepaskan diri dari
kekuasaan Mataram juga VOC. Akhirnya VOC berhasil juga menembus ke ibukota
dengan cara mengadu-domba sehingga kerajaan Mataram berhasil dikendalikan VOC.
Bukti berhasilnya VOC dengan politik devide et impera,
kerajaan Mataram terbelah dua melalui perjanjian Gianti tahun 1755. Sehingga
Mataram yang luas hampir meliputi seluruh pulau Jawa akhirnya terpecah belah
menjadi 2 wilayah kerajaan yaitu:
a.
Kesultanan Yogyakarta, dengan Mangkubumi sebagai raja
yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
b.
Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku
Buwono III.
Belanda ternyata belum puas memecah
belah kerajaan Mataram. Akhirnya melalui politik adu-domba kembali tahun 1757
diadakan perjanjian Salatiga. Mataram terbagi 4 wilayah yaitu sebagian
Surakarta diberikan kepada Mangkunegaran selaku Adipati tahun 1757, kemudian
sebagian Yogyakarta juga diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati tahun 1813.
Kehidupan Ekonomi
Letak kerajaan Mataram di pedalaman,
maka Mataram berkembang sebagai kerajaan agraris yang menekankan dan mengandalkan bidang
pertanian. Sekalipun demikian kegiatan perdagangan tetap diusahakan dan
dipertahankan, karena Mataram juga menguasai daerah-daerah pesisir yang mata
pencahariannya pelayaran dan perdagangan.
Dalam bidang pertanian, Mataram
mengembangkan daerah persawahan yang luas terutama di Jawa Tengah, yang
daerahnya juga subur dengan hasil utamanya adalah beras, di samping kayu, gula,
kapas, kelapa dan palawija.
Sedangkan dalam bidang perdagangan,
beras merupakan komoditi utama, bahkan menjadi barang ekspor karena pada abad
17 Mataram menjadi pengekspor beras paling besar pada saat itu.
Dengan demikian kehidupan ekonomi
Mataram berkembang pesat karena didukung oleh hasil bumi Mataram yang besar.
Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai kerajaan yang bersifat
agraris, maka masyarakat Mataram disusun berdasarkan sistem feodalisme. Dengan sistem
tersebut maka raja adalah pemilik tanah kerajaan beserta isinya. Untuk melaksanakan
pemerintahan, raja dibantu oleh seperangkat pegawai dan keluarga istana, yang
mendapatkan upah atau gaji berupa tanah lungguh atau tanah garapan.
Tanah lungguh tersebut dikelola oleh
kepala desa (bekel) dan yang menggarapnya atau mengerjakannya adalah rakyat
atau petani penggarap dengan membayar pajak/sewa tanah.
Dengan adanya sistem feodalisme
tersebut, menyebabkan lahirnya tuan-tuan tanah di Jawa yang sangat berkuasa
terhadap tanah-tanah yang dikuasainya.
Sultan memiliki kedudukan yang tinggi
juga dikenal sebagai panatagama yaitu pengatur kehidupan keagamaan.
Sedangkan dalam bidang kebudayaan,
seni ukir, lukis, hias dan patung serta seni sastra berkembang pesat. Hal ini
terlihat dari kreasi para seniman dalam pembuatan gapura, ukiran-ukiran di
istana maupun tempat ibadah. Contohnya gapura Candi Bentar di makam Sunan
Tembayat (Klaten) diperkirakan dibuat pada masa Sultan Agung.
Karya Kesusasteraan mengenai riwayat
pecahnya kerajaan Mataram dalam tahun 1755 dan 1757 yang berubah menjadi
Kasultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, ada pada riwayat/Babad
Giyanti karangan Yasadipura, yang betul betul sebuah sejarah dan sangat menarik
dan menceritakan tentang pecahnya Mataram.
Sejak tahun 1945, kerajaan di
Surakarta dan di Yogyakarta, mengakui dan melebur menjadi satu dengan Republik
Indonesia, sehingga keraton-keraton tersebut disepakati hanya sebagai semacam institusi kekerabatan
keluarga besar Karaton masing-masing, disamping ditetapkan oleh pemerintah
sebagai cagar budaya. Kemudian di tahun 2000 ini pimpinan dari Karaton
Surakarta adalah Sunan Pakubuwono XII, pura Mangkunegaran adalah K.G.P.A.A.
Mangkunagoro IX, Karaton Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwono X dan pura
Pakualaman adalah K.G.P.A.A. Paku Alam IX, dengan segala warisan budayanya yang
sangat diharapkan tak akan pernah punah.
4. Kerajaan Cirebon
Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan
Islam pertama di Daerah Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia diperkirakan lahir tahun 1448 M dan wafat
pada tahun 1568 M dalam usia 120 tahun. karena kedudukannya sebagai Walisongo,
ia mendapat penghormatan dari raja-raja di Jawa seperti seperti Demak dan
Pajang. Setelah Cirebon resmi berdiri, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan
Pajajaran yang masih belum menganut ajaran Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan
ajaran Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan,
Galuh, Sunda Kelapa dan Banten. Pada tahun 1525 M ia kembali ke Cirebon dan
Banten diserahkan kepada anaknya yang bernama Sultan Hasanudin. Sultan inilah
yang menurunkan raja-raja Banten.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, ia
digantikan oleh cicitnya yang bergelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu.
Panembahan Ratu wafat tahun 1650M dan digantikan oleh putranya yang bernama
Panembahan Girilaya. Sepeninggalnya, kesultanan Cirebon diperintah oleh dua
orang putranya, yaitu Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau
Panembahan Anom. Panembahan sepuh memimpin kesultanan Kasepuhan yang bergelar
Syamsudin, sedangkan panembahan Anon memimpin Kesultanan Kanoman yang bergelar
Badruddin
5. Kerajaan Banten
Kerajaan Banten merupakan kerajaan
Islam yang terletak di Ujung Barat Jawa Barat, pendirinya adalah Sunan Gunung
Jati setelah berhasil merebut kota pelabuhan dari tangan Bupati Sunda yang
menjadi penguasa kota itu dengan bantuan laskar dari Demak. Peristiwa itu
terjadi pada tahun 1525 M.
Setelah kerajaan itu cukup kokoh,
lebih-lebih setelah dapat menguasai Sunda Kelapa, pada tahun 1522 Sunan Gunung
Jati pindah ke Cirebon dan wafat disana, dan diangkatlah putranya, Hasanudin
sebagai raja. Ia kawin dengan putri demak dan mendapat dua orang anak
laki-laki. Yang sulung, Maulana Yusuf, dicalonkan untuk menjadi gantinya nanti.
Adiknya, Pangeran Aryo diasuh oleh bibi dari pihak ibunya Ratu Kalinyamat di
Jepara yang tidak berputra (mungkin karena suaminya, Pangeran Hadirin terbunuh
oleh Arya Penangsang). Setelah bibinya meninggal, ia menjadi adipati di Jepara
dan terkenal dengan nama Pangeran Jepara.
Sultan Hasanudin wafat pada tahun yang
sama dengan ayahnya, 1570 M setelah sempat memisahkan diri dari Demak. Dalam
cerita Banten, ia terkenal dengan nama Anumerna Pangeran Saba Kingking sesuai
dengan tempat ia dimakamkan yang tidak jauh dari Banten. Sebagai gantinya ia
Maulana Yusuf Panembahan Pangkalan Gede, memerintah antara tahun 1570-1580.
selama masa pemerintahannya, ia mendirikan Masjid Agung Banten, membuat
perbentengan yang kuat, memperluas perkampungan dan pesawahan, serta
mengusahakan irigasi dan bendungan-bendungan. Pada tahun 1579 M, ia berhasil
menaklukan Raja Pakuan, benteng terakhir Hindu Jawa Barat. Menurut sejarah
Banten, penyerbuan ke Pakuan ini mengikutsertakan para penguasa dan alim ulama.
Raja dan keluarganya menghilang, sedangkan golongan bangsawan Sunda masuk
Islam. Sesudah selesai menaklukan Pakuan, Sultan Maulana Yusuf mendirikan
ibukota baru, Banten Sura Sowan (Sura Saji).
Kerajaan
Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abdul Fatah atau
lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan
Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju
pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut
kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung.
1. Kerajaan Gowa Tallo
Di Sulawesi Selatan pada abad 16
terdapat beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan
Sidenreng. Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan
pilihan masing-masing. Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk
persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih
dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Nama Makasar sebenarnya adalah ibukota
dari kerajaan Gowa dan sekarang masih digunakan sebagai nama ibukota propinsi
Sulawesi Selatan.
Secara geografis daerah Sulawesi
Selatan memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada di jalur pelayaran
(perdagangan Nusantara). Bahkan daerah Makasar menjadi pusat persinggahan para
pedagang baik yang berasal dari Indonesia Timur maupun yang berasal dari
Indonesia Barat.
Dengan posisi strategis tersebut maka
kerajaan Makasar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur
perdagangan Nusantara.
Kehidupan Politik
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan
dilakukan oleh Datuk Rebandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam
berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama
Islam.
Raja Makasar yang pertama memeluk
agama Islam adalah Karaeng Matoaya (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin
yang memerintah Makasar tahun 1593-1639 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja
Tallo) sebagai Mangkubumi bergelar Sultan Abdullah.
Sejak pemerintahan Sultan Alaudin
kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada
masa pemerintahan raja Malekul Said (1639-1653).
Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai
puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669).
Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya
yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat
menunjang keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah Makasar tersebut
sampai ke Nusa Tenggara Barat
Dengan adanya daerah kekuasaan Makasar
yang luas tersebut, maka seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat
dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada
dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang
dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara
Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya
kerajaan Makasar.
Dengan kondisi tersebut maka timbul
pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya
peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam peperangan melawan VOC, Sultan
Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan
Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian
Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam
Jantan dari Timur.
Upaya Belanda untuk mengakhiri
peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara
Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru
Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar meminta bantuan kepada VOC untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu
dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat persekutuan tersebut akhirnya
Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan
Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun
1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara
lain:
a.
VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b.
Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
c.
Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti
Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d.
Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan,
tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti
dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan
melawan Belanda.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat
Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda
dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami
kehancurannya.
Kehidupan Ekonomi
Seperti yang telah Anda ketahui bahwa
kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat
perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor
seperti letak yang strategis, memiliki pelabuhan yang baik serta didukung oleh
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak
pedagang-pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.
Sebagai pusat perdagangan Makasar
berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi oleh
pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang
datang untuk berdagang di Makasar.
Pelayaran dan perdagangan di Makasar
diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan ADE’ ALOPING LOPING
BICARANNA PABBALUE, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka
perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.
Selain perdagangan, Makasar juga
mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai daerah-daerah
yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai negara Maritim, maka sebagian
besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha
untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang
merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.
Walaupun masyarakat Makasar memiliki
kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam
kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral.
Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang
disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap
norma-norma tersebut.
Di samping norma tersebut, masyarakat
Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang
merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan
“Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat
lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat
Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia
pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh
orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.
Kapal Pinisi dan Lombo merupakan
kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.
2. Kesultanan Ternate - Tidore
Kerajaan Ternate dan Tidore terletak
di kepulauan Maluku. Maluku adalah kepualuan yang terletak di antara Pulau
Sulawesi dan Pulau Irian. Jumlah pulaunya ratusan dan merupakan pulau yang
bergunung-gunung serta keadaan tanahnya subur.
Keadaan Maluku yang subur dan diliputi
oleh hutan rimba, maka daerah Maluku terkenal sebagai penghasil rempah seperti
cengkeh dan pala.
Cengkeh dan pala merupakan komoditi perdagangan
rempah-rempah yang terkenal pada masa itu, sehingga pada abad 12 ketika
permintaan akan rempah-rempah sangat meningkat, maka masyarakat Maluku mulai
mengusahakan perkebunan dan tidak hanya mengandalkan dari hasil hutan.
Perkebunan cengkeh banyak terdapat di
Pulau Buru, Seram dan Ambon. Dalam rangka mendapatkan rempah-rempah tersebut,
banyak pedagang-pedagang yang datang ke Kepulauan Maluku. Salah satunya adalah
pedagang Islam dari Jawa Timur.Dengan demikian melalui jalan dagang tersebut
agama Islam masuk ke Maluku, khususnya di daerah-daerah perdagangan seperti
Hitu di Ambon, Ternate dan Tidore.
Selain melalui perdagangan, penyebaran
Islam di Maluku dilakukan oleh para Mubaligh (Penceramah) dari Jawa, salah
satunya Mubaligh terkenal yaitu Maulana Hussain dari Jawa Timur yang sangat
aktif menyebarkan Islam di maluku sehingga pada abad 15 Islam sudah berkembang
pesat di Maluku.
Dengan berkembangnya ajaran Islam di
Kepulauan Maluku, maka rakyat Maluku baik dari kalangan atas atau rakyat umum
memeluk agama Islam, sebagai contohnya Raja Ternate yaitu Sultan Marhum, bahkan
putra mahkotanya yaitu Sultan Zaenal Abidin pernah mempelajari Islam di
Pesantren Sunan Giri, Gresik, Jawa Timur sekitar abad 15. Dengan demikian di
Maluku banyak berkembang kerajaan-kerajaan Islam.
Dari sekian banyak kerajaan Islam di
Maluku, kerajaan Ternate dan Tidore merupakan dua kerajaan Islam yang cukup
menonjol peranannya, bahkan saling bersaing untuk memperebutkan hegemoni
(pengaruh) politik dan ekonomi di kawasan tersebut.
Kehidupan Politik
Kepulauan Maluku terkenal sebagai
penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Rempah-rempah tersebut menjadi
komoditi utama dalam dunia pelayaran dan perdagangan pada abad 15-17. Demi
kepentingan penguasaan perdagangan rempah-rempah tersebut, maka mendorong
terbentuknya persekutuan daerah-daerah di Maluku Utara yang disebut dengan
Ulilima dan Ulisiwa.
Ulilima berarti persekutuan lima
bersaudara yang dipimpin oleh Ternate yang terdiri dari Ternate, Obi, Bacan,
Seram dan Ambon. Sedangkan Ulisiwa adalah persekutuan sembilan bersaudara yang
terdiri dari Tidore, Makayan, Jailolo dan pulau-pulau yang terletak di
kepulauan Halmahera sampai Irian Barat.
Antara persekutuan Ulilima dan Ulisiwa
tersebut terjadi persaingan. Persaingan tersebut semakin nyata setelah
datangnya bangsa Barat ke Kepulauan Maluku.
Bangsa barat yang pertama kali datang
adalah Portugis yang akhirnya bersekutu dengan Ternate tahun 1512. Karena
persekutuan tersebut maka Portugis diperbolehkan mendirikan benteng di Ternate.
Bangsa Barat selanjutnya yang datang
ke Maluku adalah bangsa Spanyol, sedangkan Spanyol sendiri bermusuhan dengan
Portugis. Karena itu kehadiran Spanyol di Maluku, maka ia bersekutu dengwn
Tidore.
Akibat persekutuan tersebut maka
persaingan antara Ternate dengan Tidore semakin tajam, bahkan menyebabkan
terjadinya peperangan antara keduanya yang melibatkan Spanyol dan Portugis.
Dalam peperangan tersebut Tidore dapat dikalahkan oleh Ternate yang dibantu
oleh Portugis.
Keterlibatan Spanyol dan Portugis pada
perang antara Ternate dan Tidore, pada dasarnya bermula dari persaingan untuk
mencari pusat rempah-rempah dunia sejak awal penjelajahan samudra, sehingga
sebagai akibatnya Paus turun tangan untuk membantu menyelesaikan pertikaian
tersebut.
Usaha yang dilakukan Paus untuk
menyelesaikan pertikaian antara Spanyol dan Portugis adalah dengan mengeluarkan
dekrit yang berjudul Inter caetera Devinae, yang berarti Keputusan Illahi.
Dekrit tersebut ditandatangani pertama kali tahun 1494 di Thordessilas atau
lebih dikenal dengan Perjanjian Thordessilas. Dan selanjutnya setelah adanya
persoalan di Maluku maka kembali Paus mengeluarkan dekrit yang kedua yang
ditandatangani oleh Portugis dan Spanyol di Saragosa tahun 1528 atau disebut
dengan Perjanjian Saragosa.
Perjanjian Thordessilas merupakan
suatu dekrit yang menetapkan pada peta sebuah garis perbatasan dunia yang
disebut Garis Thordessilas yang membentang dari Kutub Utara ke Kutub Selatan
melalui Kepulauan Verdi di sebelah Barat benua Afrika. Wilayah di sebelah Barat
Garis Thordessilas ditetapkan sebagai wilayah Spanyol dan di sebelah Timur
sebagai wilayah Portugis.
Sedangkan Perjanjian Saragosa juga
menetapkan sebuah garis baru sebagai garis batas antara kekuasaan Spanyol
dengan kekuasaan Portugis yang disebut dengan Garis Saragosa. Di mana garis
tersebut membagi dunia menjadi 2 bagian yaitu Utara dan Selatan. Bagian Utara
garis Saragosa merupakan kekuasaan Spanyol dan bagian Selatannya adalah wilayah
kekuasaan Portugis.
Dengan adanya perjanjian Saragosa
tersebut, maka sebagai hasilnya Portugis tetap berkuasa di Maluku sedangkan
Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan perhatiannya di Philipina.
Sebagai akibat dari perjanjian
Saragosa, maka Portugis semakin leluasa dan menunjukkan keserakahannya untuk
menguasai dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Tindakan sewenang-wenang Portugis
menimbulkan kebencian di kalangan rakyat Ternate, bahkan bersama-sama rakyat
Tidore dan rakyat di pulau-pulau lainnya bersatu untuk melawan Portugis.
Perlawanan terhadap Portugis pertama
kali dipimpin oleh Sultan Hairun dari Ternate, sehingga perang berkobar dan
benteng pertahanan Portugis dapat dikepung.
Dalam keadaan terjepit tersebut,
Portugis menawarkan perundingan. Akan tetapi perundingan tersebut merupakan
siasat Portugis untuk membunuh Sultan Hairun tahun 1570.
Dengan kematian Sultan Hairun, maka
rakyat Maluku semakin membenci Portugis, dan kembali melakukan penyerangan
terhadap Portugis yang dipimpin oleh Sultan Baabullah pada tahun 1575.
Perlawanan ini lebih hebat dari sebelumnya sehingga pasukan Sultan Baabullah
dapat menguasai benteng Portugis.
Keberhasilan Sultan Baabullah merebut Benteng
Sao Paolo mengakibatkan Portugis menyerah dan meninggalkan Maluku. Dengan
demikian Sultan Baabullah dapat menguasai sepenuhnya Maluku dan pada masa
pemerintahannya tahun 1570-1583 kerajaan Ternate mencapai kejayaannya karena
daerah kekuasaannya meluas terbentang antara Sulawesi sampai Irian dan Mindanau
sampai Bima, sehingga Sultan Baabullah mendapat julukan ‘Tuan dari 72 Pulau’.
Kehidupan Ekonomi
Secara geografi kerajaan Ternate dan
Tidore berkembang sebagai kerajaan Maritim. Dan hal ini juga didukung oleh
keadaan kepulauan Maluku yang memiliki arti penting sebagai penghasil utama
komoditi perdagangan rempah-rempah yang sangat terkenal pada masa itu.
Dengan andalan rempah-rempah tersebut
maka banyak para pedagang baik dari dalam maupun luar Nusantara yang datang
langsung untuk membeli rempah-rempah tersebut, kemudian diperdagangkan di
tempat lain.
Dengan kondisi tersebut, maka
perdagangan di Maluku semakin ramai dan hal ini tentunya mendatangkan
kemakmuran bagi rakyat Maluku. Tetapi setelah adanya monopoli perdagangan oleh
Portugis maka perdagangan menjadi tidak lancar dan menimbulkan kesengsaraan
rakyat di Maluku.
Kehidupan Sosial Budaya
Dengan berkembangnya Islam di Maluku
maka banyak rakyat Maluku yang memeluk agama Islam terutama penduduk yang
tinggal di tepi pantai, sedangkan di daerah pedalaman masih banyak yang
menganut Animisme dan Dinamisme.
Dengan kehadiran Portugis di Maluku,
menyebabkan agama Katholik juga tersebar di Maluku. Dengan demikian rakyat
Maluku memiliki keanekaragaman agama.
Perbedaan agama tersebut dimanfaatkan
oleh Portugis untuk memancing pertentangan antara pemeluk agama. Dan apabila
pertentangan sudah terjadi maka pertentangan tersebut diperuncing oleh campur
tangan orang-orang Portugis.
Dalam bidang kebudayaan yang merupakan
peninggalan kerajaan Ternate dan Tidore terlihat dari seni bangunan berupa
bangunan Masjid dan Istana Raja dan lain-lain.
Rangkuman
Setelah
Islam masuk ke Indonesia dan disebarkan melalui berbagai saluran islamisasi,
maka muncullah perkampungan-perkampungan muslim di berbagai daerah.
Perkumpulan kampung-kampung muslim yang diorganisasi
menurut aturan pemerintahan tertentu melahirkan kerajaan-kerajaan Islam antara
lain kerajaan Perlak, Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Malaka untuk daerah
Sumatera, Demak, Pajang, Mataram, Banten, dan Cirebon di Jawa, Ternate, Tidore, Gowa, Talo, Bone, Wajo
Sopeng, dan Luwu di Sulawesi
Semua kerajaan tersebut
memiliki peranan besar dalam menyebarkan Islam di Indonesia. Di antara
peranannya adalah:
1. Sebagai pusat
penyebaran agama Islam bagi daerah sekitarnya
2. Sebagai pusat
kajian atau studi ilmu keagamaan
3. Sebagai tempat
berkumpulnya para ulama dalam membahas persoalan-persoalan keagamaan dan
keduniaan
4. Sebagai kekuatan
untuk membentengi masuknya kepercayaan nonIslam
Kamus Istilah
1.
Strategis : letaknya menguntungkan
2. Hikayat : cerita
kuno (roman klasik) yang berisi hal-hal yang bersifat khayal, sering dihiasi
dengan peperangan yang hebat, dahsyat, serta kesaktian pelakunya, dsb
3. Sunni : ahli
sunnah, yaitu sebutan bagi seorang muslim yang selalu mengikuti aturan agama yg
didasarkan atas al-Qur’an dan segala apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad
saw, baik perbuatan, perkataan, sikap, maupun kebiasaan yg tidak pernah
ditinggalkannya
4. Mazhab : haluan
atau ajaran mengenai hukum Islam yang menjadi ikutan umat Islam (ada empat
jumlahnya, yaitu: mazhab Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafii)
5. Maritim :
berkenaan dengan laut; berhubungan dengan pelayanan dan perdagangan di laut;
6. Agraris/ Agrarian
: bersifat pertanian
7. Dirham : mata
uang emas atau perak di
negara Arab (zaman dahulu)
8. Diplomatik : berkenaan dengan hubungan
politik antara negara dengan negara
9. Feodalisme :
sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; sistem sosial yang
mengagungagungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengangung-agungkan prestasi kerja
10. Komoditi : barang
dagangan
Materi tes uji kompetensi
Tes afektif
Berilah tanda (√)
pada kolom S (setuju) atau TS ( tidak setuju ) pada pernyataan di bawah
ini!
|
No
|
Pernyataan
|
S
|
TS
|
|
1
|
Dedi menjadi Ketua OSIS karena ia anak kepala madrasah
|
|
|
|
2
|
Pengurus OSIS mengadakan penggalangan dana sosial untuk
korban gempa bumi di Aceh
|
|
|
|
3
|
Sofian menolak ketika terpilih menjadi ketua kelas
|
|
|
|
4
|
Rosya selalu bertanya kepada siapapun ketika menemui
kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas dari guru
|
|
|
|
5
|
Amir tidak pernah mendapat juara dalam lomba
bulutangkis, tetapi dia tetap rajin berlatih
|
|
|
|
6
|
Pak Burhan tidak mau lagi berobat untuk menyembuhkan
penyakit yang sudah lama dideritanya
|
|
|
|
7
|
Indra tidak pernah ikut upacara tiap hari Senin
|
|
|
|
8
|
Sebagai seorang muslim, Ilham selalu mendahulukan
kepentingan agama daripada kepentingan pribadi
|
|
|
|
9
|
Keluarga Pak Tono tetap pergi berlibur ke Ancol,
meskipun tetangga di sebelah rumahnya meninggal
|
|
|
|
10
|
Remaja Masjid An Nur membuat aksi protes terhadap
munculnya ajaran sesat
|
|
|
Tugas Mandiri
·
Ceritakan kembali tentang kerajaan Islam di Sumatra
·
Ceritakan kembali tentang kerajaan Islam di Jawa
·
Ceritakan kembali tentang kerajaan Islam di Sulawesi dan
Maluku
Test Pengetahuan
A.
Pilihlah salah satu jawaban di bawah ini dengan cara
memberi tanda silang (X) pada jawaban yang paling benar!
1.
Di bawah ini yang bukan merupakan faktor-faktor pendukung
pertumbuhan kerajaan Samudra Pasai
sebagai kerajaajn Islam pertama di Indonesia adalah.....
a. lokasi kerajaan
Samudra Pasai yang strategis di daerah pesisir
b. dibukanya
pelabuhan pasai sehingga banyak dikunjungi oleh para pedagang Islam
c. keramahan penduduk
dan penguasa Samudra Pasai
d. adanya hubungan
keluarga dengan kerajaan islam di Timur Tengah
2.
Perkonomian kerajaan Malaka bertumpu pada sektor .....
a. perdagangan dan
pelayaran c. Perkebunan
rempah-rempah
b. pertanian d. Industri
3.
Wilayah kerajaan samudra pasai ditunjukkan dalam sebuah
prasasti batu nisan yang ditemukan di .....
a. Leran c. Banda Aceh
b. Sumatra Selatan d. Menyetujuh Pasai, Kedah
4.
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada tahun .....
a. 1151 M c. 1511 M
b. 1251 M d.
1512 M
5.
Raja pertama dari kerajaan Demak adalah .....
a. Raden Patah c. Pangeran Sabrang Lor
b. Pati Unus d. Sultan Trenggono
6.
Setelah wafatnya Amangkurat II, kerajaan Mataram pecah
menjadi dua berdasarkan perjanjian Giyanti yaitu wilayah.....
a. Yokyakarta dan
Mangkunegaran c. Yogyakarta dan
Surakarta
b. Mangkunegaran dan
Pakualaman d. Surakarta dan Pakualaman
7.
Kerajaan Banten mencapai masa kejayaan pada masa
pemerintahan .....
a. Maulana
Hasanuddin c.
Abul Mufakkir
b. Sultan Ageng
Tirtayasa d.
Sultan Haji
8.
Berikut ini yang merupakan kerajaan Islam di Sulawesi
adalah kerajaan.....
a. Ternate c. Tidore
b. Gowa d. Malaka
9.
Salah satu faktor yang mendorong sultan Hasanuddin
menyerang armada VOC Belanda adalah
.....
a. karena Belanda
menguasai kerajaan Bone
b. adanya
persekutuan antara Belanda dengan kerajan Soppeng
c. karena Belanda
melakukan monopoli dagang di Maluku sebagai pusat rempah-rempah
d. karena Belanda
menekan sultan hasanuddin untuk menyetujui perjanjian Bongaya
10.
Sultan Babullah mendapat julukan Tuan Dari Tujuh Puluh
Dua Pulau karena .....
a. keberhasilannya
menjadikan Maluku sebagai Spice island
b. keberhasilannya
mengusir Portugis dari Ternate
c. keberhasilannya
menghancurkan benteng Sao Paolo
d. keberhasilnnya
dalam pemetintahan yang telah menguasai berbagai wilayah.
B.
Isilah titik-titik di bawah ini dengan jawaban yang
tepat!
1. Kerajaan Islam
pertama di Indonesia adalah kerajaan ....
2. Pendiri sekaligus
sebagai raja pertama kerajaan Malaka yaitu ....
3. Bangsa Portugis
datang ke Malaka pada tahun ....
4. Kerajaan Aceh
mencapai kejayaan pada masa pemerintahan raja ....
5. Tengku adalah
gelar dalam masyarakat Aceh yang diberikan kepada golongan ....
6. Kondisi kerajaan
Demak setelah pemerintahan sultan Trenggono terjadi ....
7. Kerajaan Cirebon
terletak di ....
8. Kerajaan Mataram
berdasarkan perjanjian Giyanti terbagi menjadi dua yaitu Kesultanan Yogyakarta
dan ....
9. Keberanian Sultan
Hasanuddin untuk menentang Belanda menyebabkan beliau dijuluki ....
10. Pada tahun 1512 M
bangsa Portugis datang ke kerajaan Islam ....
C.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan tepat
dan jelas!
1.
Sebutkan dua Dinasti yang berkuasa di kerajaan Samudra
Pasai!
2. Mengapa
kebudayaan kerajaan Malaka sangat dipengaruhi oleh budaya melayu dan budaya
Islam?
3. Jelaskan
faktor-faktor yang mempercepat perkembangan kerajaan Demak!
4. Jelaskan proses
masuk Islamnya raja-raja kerajaan Makassar!
5. Sebutkan
pembagian kerajaan Mataram setelah tahun 1813 M!
Pelajaran III
BEBERAPA TOKOH DAN
PERANNYA DALAM
PERKEMBANGAN ISLAM DI
INDONESIA
(Diyakini sebagai
salah satu tempat berkumpulnya para wali
yang paling awal)
·
Kompetensi Dasar :
Mengidetifikasi Para Tokoh dan Perannya dalam
Perkembangan Islam di Indonesia
Tanbih
العلماء
ورثة الأنبياء (الحديث)
Artinya:
“Ulama adalah pewaris para Nabi”
(al-Hadits)
Iftitah
Perkembangan Islam di Indonesia tidak
bisa dipisahkan dari peranan para tokoh. Diantara para tokoh itu antara lain Abdur
Rauf Singkel (di Sumatera), Walisongo (di Jawa), dan Syeikh Muhammad Arsyad
al-Banjari (di Kalimantan).
Mengembangkan Islam di tengah-tengah
penduduk Indonesia yang sebelumnya memiliki kepercayaan animisme/dinamisme yang
sangat kuat tentu bukanlah hal yang ringan dan mudah. Mereka memperjuangkan
Islam dengan gigih, dan kegigihan itu akhirnya membuahkan hasil sehingga Islam
dapat diterima sebagai agama oleh mayoritas penduduk Indonesia. Perjuangan dan
kegigihan para ulama tersebut perlu kita pahami dan diteladani.
A. Abdur Rauf
Singkel
|
Abdur Rauf Singkel
supaya tidak tertimpa musibah,
memperteguh kesalehan mereka, dan menghindarkan mereka dari tindakan salah dan
tidak toleran.
Abdul Rauf Singkel, yang bernama
panjang Syeikh Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili, lahir di
Fansur, lalu dibesarkan di Singkil pada awal abad 17 M. Ayahnya adalah Syeikh
Ali Fansuri, yang masih bersaudara dengan Syeikh Hamzah Fansuri. Tetapi ada
yang memperkirakan bahwa Abdul Rauf lahir pada tahun 1615 M. Ini didasarkan
perhitungan, ketika Abdul Rauf kembali dari Mekah, usianya antara 25 dan 30
tahun. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa perkiraan itu bisa meleset, karena
Abdul Rauf berada di Mekah sekitar 19 tahun, dan kembali ke Aceh pada 1661.
Bila dalam usia 30 tahun ia kembali dari Mekah, berarti ia dilahirkan pada
1630.
Selama sekitar 19 tahun menghimpun
ilmu di Timur Tengah, Abdul Rauf tidak hanya belajar di Makah saja. Ia juga
mempelajari ilmu keagamaan dan tasawuf di bawah bimbingan guru-guru yang
termasyhur di Madinah. Di kota ini, ia belajar kepada khalifah (pengganti) dari
tarekat Syattariyah, yaitu Ahmad Kusyasyi dan penggantinya, Mula Ibrahim
Kurani. Dalam kata penutup salah satu karya tasawufnya, Abdul Rauf menyebutkan
guru-gurunya. Data yang cukup lengkap tentang pendidikan dan tradisi pengajaran
yang diwarisinya ini merupakan data pertama tentang pewarisan sufisme di
kalangan para sufi Melayu. Ia juga menyebutkan beberapa kota Yaman (Zabit,
Moha, Bait al-Fakih, dan lain-lain), Doha di Semenanjung Qatar, Madinah, Mekah,
dan Lohor di India. Di samping itu, ia juga menyebutkan daftar 11 tarekat sufi
yang diamalkannya, antara lain Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah,
Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah.
Sepeninggal Ahmad Kusyasyi, Abdul Rauf
memperoleh izin dari Mula Ibrahim Kurani untuk mendirikan sebuah sekolah di
Aceh. Sejak 1661 hingga hampir 30 tahun berikutnya, Abdul Rauf mengajar di
Aceh. Muridnya ramai sekali dan datang dari seluruh penjuru Nusantara. Dan,
karena pandangan-pandangan keagamaannya sejalan dengan pandangan Sultan Taj
al-‘Alam Safiatun Riayat Syah binti Iskandar Muda (1645-1675), Abdul Rauf
kemudian diangkat menjadi Syeikh Jamiah al-Rahman dan mufti atau kadi dengan
sebutan Malik al-Adil, menggantikan Syeh Saif al-Rijal yang wafat tidak lama
setelah ia kembali ke Aceh. Selain itu, ia juga bersikap keras terhadap
orang-orang yang menolak berkuasanya seorang raja perempuan.
Walaupun disibukkan oleh tugas
mengajar dan pemerintahan, Abdul Rauf masih sempat menulis berbagai karya
intelektual dan juga karya sastra berbentuk syair, banyak diantaranya yang masih tersimpan
sampai sekarang.
Mulanya, ketika dititahkan oleh
Sultanah untuk menulis Mir‘at al-Tullab pada 1672, ia tidak bersedia
karena merasa kurang menguasai bahasa Melayu setelah lama bermukim di Haramain
(Arab Saudi). Tetapi setelah mempertimbangkan masak-masak perlunya kitab
semacam ini ditulis dalam bahasa Melayu, ia pun mengerjakannya, dengan dibantu
oleh dua orang sabahat. Karyanya tidak kurang dari 36 kitab berkenaan dengan
fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Qur‘an dan hadis.
Pengaruh Abdul Rauf juga mencapai umat
Islam di Jawa. Abdul Rauf pernah berkunjung ke Banten. Salah satu karya Abdul
Rauf dikutip dalam sebuah risalah sufi yang terkenal di Jawa. Sementara itu,
tarekat Syattariyah, yang juga banyak penganutnya di Jawa, membubuhkan nama
Abdul Rauf dalam silsilah para sufi besar penganut tarekat tersebut. Sehingga,
Abdul Rauf jelas dikenal oleh orang-orang Jawa yang menganutnya.
Barangkali yang paling diingat orang
tentang Abdul Rauf adalah ketika ia menengahi silang pendapat antara Nuruddin
al-Raniri dan Hamzah Fansuri tentang aliran Wujudiyyah. Pendekatan Abdul Rauf
yang lebih sejuk dan damai terhadap aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri menyebabkan
silang pendapat dapat berhenti.
Ketika wafat pada tahun 1693, Abdul
Rauf dimakamkan di muara sebuah sungai di Aceh, di samping makam Teuku Anjong
yang dikeramatkan oleh orang Aceh, sehingga ia dikenal juga sebagai Syeikh
Kuala atau Tengku di Kuala.
2.
Pendidikan
Abdul Rauf mendapat pendidikan awal di
India sebelum melanjutkan pengajiannya di Makah dengan Sheikh Abu Hafas Umar
bin Abdullah Ba Shaiban. Beliau juga mendapat pendidikan di Madinah, Jeddah,
Mokha, Zavid dan Betalfakih selama lebih 19 tahun. Selain daripada itu dia
turut mendapatkan pendidikan di Aceh dan Palembang. Antara gurunya yang dikenal
pasti tidak kurang daripada 15 orang, antaranya adalah Abdul Kadir Maurir di
Mokha, Ahmad al-Qushashi di Madinah, dan Burhan al-Din Maula Ibrahim ibn Hassan
al-Kurani.
3.
Karya
a.
Tasawuf
Karya Abdur Rauf Singkel di bidang
tasawuf antara lain: Kifayat al-Muhtajin dan Umdat al-Muhtajin ila
Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan
Tasawuf)
Semua ajaran tasawuf Abdur Rauf
Singkel didasarkan pada gagasan sentral Islam yang sama, yaitu tauhid,
tetapi para sufi mempunyai beragam cara dalam menafsirkannya. Dasar pandangan
Abdul Rauf tentang tauhid antara lain tertera dalam kitab Tanbih al-Masyi.
Ia mengajarkan agar murid-muridnya senantiasa mengesakan al-Haq (Yang
Maha Benar) dan menyucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak baginya, yaitu
dengan mengucap la ilaha Illa Allah. Kalimat ini mengandung empat
tingkatan tauhid. Pertama, penegasan penghilangan sifat dan perbuatan pada diri
yang tidak layak disandang Allah. Tiga tingkatan tauhid berikutnya adalah uluhiya,
yaitu mengesakan ketuhanan Allah, sifat, yaitu mengesakan sifat-sifat
Allah, dan zat, mengesakan Zat Tuhan.
Menurut Abdul Rauf, “Salah satu bukti
keesaan Allah SWT adalah tidak rusaknya alam. Allah berfirman, ‘Sekiranya di
langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu
telah rusak dan binasa‘.” Berangkat dari pengetahuan inilah kemudian ia
membicarakan hubungan ontologis atau kewujudan antara Pencipta dan
ciptaan-ciptaan-Nya, antara Yang Satu dan “yang banyak”, antara al-wujud
dan al-maujudat. Alam adalah wujud yang terikat pada sifat-sifat mumkinat
atau serba mungkin. Oleh karena itu alam disebut sebagai sesuatu selain al-Haq.
b.
Syariat
Abdul Rauf Singkel juga menulis kitab
dalam bidang syariat. Yang terpenting adalah Mirat al-Turab fi Tashil
Ma‘rifah al-Ahkam al-Syar‘iyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut
Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara‘ dari Tuhan, bahasa Melayu). Kitab
ini merupakan kitab Melayu terlengkap yang membicarakan syariat. Sejak terbit,
kitab ini menjadi rujukan para kadi atau hakim di wilayah Kesultanan Aceh.
Dalam kitabnya ini, Abdul Rauf tidak membicarakan fikih ibadat, melainkan tiga
cabang ilmu hukum Islam dari mazhab Syafii, yaitu hukum mengenai perdagangan
dan undang-undang sipil atau kewarganegaraan, hukum perkawinan, dan hukum
tentang jinayat atau kejahatan.
Bidang pertama termasuk fikih muamalah
dan mencakup urusan jual beli, hukum riba, kemitraan dalam berdagang,
perdagangan buah-buahan, sayuran, utang-piutang, hak milik atau harta anak
kecil, sewa menyewa, wakaf, hukum barang hilang, dan lain-lain. Bidang yang
berkaitan dengan perkawinan mencakup soal nikah, wali, upacara perkawinan,
hukum talak, rujuk, fasah, nafkah, dan lain-lain. Sedangkan jinayat mencakup hukuman
pemberontakan, perampokan, pencurian, perbuatan zinah, hukum membunuh, dan
lain-lain.
c.
Tafsir
Dalam bidang tafsir, Abdul Rauf
menghasilkan karya berjudul Tarjuman al-Mustafid. Pada hakikatnya, karya
ini merupakan terjemahan Melayu dari kitab tafsir yang lain, yaitu tafsir
al-Jalalain. Karya ini diselesaikan oleh muridnya, Daud Rumi, dan beberapa
pengarang belakangan lainnya, dengan mengambil agak banyak bagian dari tafsir
al-Baidawi dan al-Kazin. Walaupun kitab ini tergolong sebagai tafsir, tetapi ada
yang menganggapnya sebagai terjemahan lengkap Al-Qur‘an dalam bahasa Melayu
yang pertama, yang seperti lazimnya berbentuk sebagai tafsir yang rinci.
d.
Sastra
Penerus tradisi penulisan “syair
religius-mistik” adalah Abdul Rauf Singkel. Syair-syairnya menegaskan tentang
Sifat Kekekalan (Kadim) Tuhan di satu pihak, dan sifat kemakhlukan (muhadas)
manusia di pihak lain, yang menyebabkan adanya perbedaan mutlak di antara
keduanya. Jadi, karya sastra Abdul Rauf yang berupa syair ini masih memiliki
hubungan yang sangat erat dengan keyakinan tasawufnya.
Dalam sebuah naskah yang disalin di
Bukit Tinggi pada 1859, diberitakan bahwa Abdul Rauf-lah yang telah mengarang
Syair Makrifat. Dalam syair ini, dibahas tentang empat komponen agama Islam,
yaitu iman, Islam, tauhid, dan makrifat, dan tentang makrifat sebagai
pengenalan sufi yang memahkotai keempat komponen itu. Syair ini juga menegaskan
bahwa hanya orang yang paham akan makna semuanya yang layak disebut sebagai
orang yang telah menganut agama yang sempurna.
B. Wali Songo
1. Kedatangan Islam
ke Jawa
Di Gresik (daerah Leran) ditemukan
batu nisan bertahun 1082 M berhuruf Arab yang menceritakan bahwa telah
meninggal seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang beragama Islam.
Lalu disekitar tahun 1350 saat memuncaknya kebesaran Majapahit, di pelabuhan
Tuban dan Gresik banyak kedatangan para pedagang Islam dari India dan dari
kerajaan Samudra Pasai (Aceh Utara) yang juga awalnya merupakan bagian dari
Majapahit, disamping para pedagang Majapahit yang berdagang ke Samudra Pasai.
Juga menurut cerita, ada seorang putri Islam berjuluk Putri Cempa dan Putri
Cina yang menjadi isteri salah satu raja Majapahit.
Sangat toleransinya Majapahit terhadap
Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan,
dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk
memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya
seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf
Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit
tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa
para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar
beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad 16 M saat
kerajaan Demak.
2. Walisongo
Walisongo dikenal sebagai penyebar
agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah
penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya- Gresik-Lamongan di Jawa Timur,
Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Era Wali Songo
adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,
khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan
mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga
pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Dalam sejarah masuknya Islam ke
Nusantara, Walisongo adalah perintis dakwah Islam di Indonesia, khususnya di
Jawa, yang dipelopori Syeikh Maulana Malik Ibrahim. Walisongo adalah pelopor
dan pemimpin dakwah Islam yang berhasil merekrut murid-murid untuk menjalankan
dakwah Islam ke seluruh Nusantara sejak abad 15.
Perkataan wali sendiri berasal dari
bahasa Arab. Wala atau waliya yang berarti qaraba yaitu
dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian. Dalam al-Qur’an istilah ini
dipakai dengan pengertian kerabat, teman atau pelindung. (Lihat QS. Al-Baqarah/2: 257)
Selanjutnya, kata songo
menunjukkan angka hitungan Jawa yang berarti sembilan. Namun demikian, ada juga
yang berpendapat bahwa kata songo berasal dari kata sana yang diambil
dari dari bahasa Arab, tsana (mulia) sepadan dengan mahmud
(terpuji), sehingga pengucapan yang benar adalah Wali Sana, yang berarti
wali-wali terpuji. Pendapat ini didukung oleh sebuah kitab yang meriwayatkan
kehidupan dan hal ihwal para wali di Jawa yang dikarang oleh Sunan Giri II.
Strata sosial kultural masyarakat Jawa
sebelum kehadiran Wali Songo sangat dipengaruhi oleh kehidupan animispanteistik
(penganut animisme) yang dikendalikan oleh para pendeta, guru ajar, biksu,
wiku, resi, dan empu. Mereka dianggap mempunyai kemampuan mistis dan
kharismatik. Kedudukan penting mereka diambil alih para wali dengan tetap
berfokus pada kehidupan mistis religius. Era Wali Songo adalah era berakhirnya
dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan
Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.
Peranan Mereka dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya
terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung,
membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut di bandingkan yang lain.
Wali Songo merupakan Dewan
Dakwah/Mubaligh. Mereka tidak hanya mampu dalam agama, tapi juga dalam hal pemerintahan
dan politik. Menurut kitab Kanzul Ulum Ibnul Batutah, Wali Songo
berganti susunan orangnya sebanyak lima kali yaitu:
Dewan I tahun 1404 M :
·
Syeh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, ahli mengatur
negara, dakwah di Jawa Timur, wafat di Gresik tahun 1419;
·
Maulana Ishaq, asal Samarkan Rusia, ahli pengobatan,
dakwah di Jawa lalu pindah dan wafat di Pasai (Singapura) ;
·
Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir, dakwah keliling,
makam di Troloyo - Triwulan Mojokerto;
·
Maulana Muhammad Al Maghrobi, asal Maghrib - Maroko,
dakwah keliling, makamnya di Jatinom Klaten tahun 1465;
·
Maulana Malik Isro’il, asal Turki, ahli mengatur negara,
dimakamkan di Gunung Santri antara Serang Merak di tahun 1435;
·
Maulana Muhammad Ali Akbar, asal Persia/Iran, ahli
pengobatan, dimakamkan di Gunung Santri tahun 1435;
·
Maulana Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling,
dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama;
·
Maulana Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling,
dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama;
·
Syeh Subakir, asal Persia, ahli menumbali tanah angker
yang dihuni jin jahat, beberapa waktu di Jawa lalu kembali dan wafat di Persia
tahun 1462.
Dewan II tahun 1436 M :
·
Raden Rahmad Ali Rahmatullah berasal dari Cempa Muangthai
Selatan, datang tahun 1421 dan dikenal sebagai Sunan Ampel menggantikan Malik
Ibrahim yang wafat;
·
Sayyid Ja’far Shodiq, asal Palestina, datang tahun 1436
dan tinggal di Kudus sehingga dikenal sebagai Sunan Kudus, menggantikan Malik
Isro’il ;
·
Syarif Hidayatullah, asal Palestina, datang tahun 1436
menggantikan Ali Akbar yang wafat.
Dewan III tahun 1463 M :
·
Raden Paku/Syeikh Maulana A’inul Yaqin pengganti ayahnya
yang pulang ke Pasai, kelahiran Blambangan, putra dari Syeh Maulana Ishak,
berjuluk Sunan Giri dan makamnya di Gresik;
·
Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban
bernama Wilatikta, yang menggantikan Syeh Subakir yang kembali ke Persia;
·
Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang kelahiran Ampel,
putra Sunan Ampel yang menggantikan Hasanuddin yang wafat;
·
Raden Qosim atau Sunan Drajad kelahiran Ampel, putra
Sunan Ampel yang menggantikan Aliyyuddin yang wafat.
Dewan IV tahun 1466 M :
·
Raden Patah putra raja Brawijaya Majapahit (tahun 1462
sebagai adipati Bintoro, tahun 1465 membangun masjid Demak dan menjadi raja
tahun 1468) murid Sunan Ampel, menggantikan Ahmad Jumadil Kubro yang wafat;
·
Fathullah Khan, putra Sunan Gunung jati, menggantikan al-Maghrobi
yang wafat.
Dewan V :
·
Raden Umar Said atau Sunan Muria, putra Sunan Kalijaga,
yang menggantikan wali yang telah wafat;
·
Syeikh Siti Jenar adalah wali serba kontraversial, dari
mulai asal muasal yang muncul dengan berbagai versi, ajarannya yang dianggap
menyimpang dari agama Islam tapi sampai saat ini masih dibahas di berbagai
lapisan masyarakat.Sampai dengan kematiannya yang masih dipertanyakan caranya
termasuk dimana ia wafat dan dimakamkan.
·
Sunan Tembayat atau adipati Pandanarang yang menggantikan
Syeh Siti jenar yang wafat (bunuh diri atau dihukum mati).
Walisongo yang paling masyhur adalah
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad,
Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Mereka tidak
hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai
keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah wali yang
tertua diantara sembilan wali. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan
Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan
Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga
merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan
Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat
para sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
a. Maulana Malik
Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum
Ibrahim as-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada
pertengahan awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya
Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap as-Samarkandy, berubah
menjadi Asmarakandi.
Terdapat beberapa versi mengenai
silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui
jalur keturunan Husain bin Ali,
Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad
al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir,
Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam,
Muhammad Shahib
Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana
Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.
Maulana Malik Ibrahim dianggap
termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa,
dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya. Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya
disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo,
sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar,
yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama
Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa
Pasucinan, Manyar
|
Perdagangan membuatnya dapat
berinteraksi (berhubungan) dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para
bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai
pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.
Setelah cukup mapan di masyarakat,
Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit
meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya
sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal
dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur
kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup,
di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Dalam rangka mempersiapkan kader untuk
melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim
membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam
di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang
menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap
malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual
ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul
Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasti makamnya. Pada acara haul biasa
dilakukan khataman al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi
Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
Cerita rakyat
Menurut cerita rakyat, dikatakan bahwa
Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana
Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro.
Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus
ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri.
Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa.
Setelah itu mereka berpisah; Syeikh Jumadil Qubro tetap
di Pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya
Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana Malik Ibrahim disebutkan
bermukim di Champa (dalam legenda
disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia
menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau
Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke
pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya
mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana Malik Ibrahim dalam cerita
rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan
cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil
dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah
dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering mengobati
masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah
diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan
permaisuri tersebut masih kerabat istrinya
Setelah selesai membangun dan menata
pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat.
Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
b. Sunan Ampel
|
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan
Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M untuk menemui bibinya, Dwarawati.
Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya, ia bersama
Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu
di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah
Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari
Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit
beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri
seorang adipati di Tuban. Dari pernikahannya itu ia dikaruniai beberapa putera
dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan
Drajat. Ketika Kesultanan Demak hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani
lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya
Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan
Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa,
daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok
pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad
15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di
wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan
Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah
ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab
Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana
yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan
istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh
madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras,
tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina."
Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang Adipati
di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang
anak, yaitu:
1).
Putri Nyai Ageng
Maloka,
Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak. Sunan
Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di
Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
c.
|

Beberapa babad menceritakan pendapat
yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak
Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan
menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah
Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa
Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan
Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali
al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir,
Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali'
Qasam, Muhammad Shahib
Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar
al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa
Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di
pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia
sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka
pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa
Jawa, bukit adalah "Giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan
sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat
pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri
mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur
pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat
kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri
juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat
politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri
dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima
militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya,
Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti,
pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200
tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh
paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga
dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean,
Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke
Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri
yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena
pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai
Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak
seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan
Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun
syarat dengan ajaran Islam.
d. Sunan Bonang
|
Sunan Bonang belajar agama dari
pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk
berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri,
yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid
Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah
-sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat
pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar.
Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan
bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak
pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat
sulit. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura
maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya
dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan
oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas
dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf
dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni,
sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang
yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada
filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi.
Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan
kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya
secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini,
Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya
sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk
Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr
(wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung
laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar,
Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan
Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru.
Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan
instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong
kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati"
adalah salah satu karya Sunan Bonang.
|
Perangkat Gamelan sebagai media dakwah
e. Sunan Drajat
|
Sunan Drajat banyak berdakwah kepada
masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan
kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan
Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa
Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan.
Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya.
Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat,
Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah,
Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya
lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian
yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah
suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri
makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang'. Sunan Drajat juga dikenal
sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak
memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
f. Sunan Kalijaga
|
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa
nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah
tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa
mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai
(kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal
dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai
"penghulu suci" kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan
mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir
kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan
Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
"tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama
masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama
dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya
cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan
semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal.
Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka
mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan
sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan,
serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa,
perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi
Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta
masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif.
Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di
antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang
(sekarang Kotagede, Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak.
g. Sunan Kudus
|
sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaian-nya bahkan lebih
halus. Itu sebabnya para wali, yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang
mayoritas masyarakatnya pemeluk Hindu yang teguh, menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat
Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu
terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus
Suatu waktu, ia memancing masyarakat
untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja
menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid.
Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah
mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarahyang berarti
"sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional
Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah
cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga
masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang
tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan
begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.Bukan hanya berdakwah seperti itu
yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi
Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah
kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
h. Sunan Muria
|
Sunan Muria seringkali dijadikan pula
sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia
dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun
rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua
pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga
sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom
dan Kinanti.
i.
Sunan Gunung Jati
|
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati
adalah satu-satunya "walisongo" yang memimpin pemerintahan. Sunan
Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk
menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan
Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun
infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin,
Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk
Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian
menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati
mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya
kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia
120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung,
Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
C. Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari
|
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, di
dalam situs wikipedia, adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan
Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke
kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian
(semacam pesantren) bernama Dalam Pagar.
Kisah tempat pengajian ini diuraikan
dalam buku seri pertama Intelektual
Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala
Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka, Jakarta. Dalam buku itu
dikisahkan, mulan-mula lokasi ini berupa sebidang tanah kosong yang masih
berupa hutan belukar pemberian Sultan Tahlilullah, penguasa Kesultanan Banjar
saat itu. Syekh Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang
di dalamnya terdapat rumah, tempat pengajian, perpustakaan, dan asrama para
santri dan guru.
Sejak itu, kampung yang baru dibuka
tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung baru
ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah
diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan
prasarana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan
Syekh Muhammad Arsyad ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam
sejarah Islam di Kalimatan masa itu.
Pesantren yang dibangun di luar kota
Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses
belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai pusat keagamaan, di
tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama
beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang
produktif dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan
pertanian. Dengan demikian, para santri tidak hanya belajar ilmu agama saja
tetapi juga mempelajari keterampilan hidu (live skill) sehingga kelak sesudah
menyelesaikan pendidikan di Dalam Pagar mereka bisa hidup mandiri.
Tidak sebatas membangun sistem
pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad juga aktif berdakwah kepada
masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil. Kegiatan itu pada
akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini menumbuhkan
kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat.
Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh
Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga metode. Ketiga metode itu satu sama
lain saling menunjang. Selain dengan cara bil hal, yakni keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik, dan
tutur kata sehari-hari yang disaksikan langsung oleh murid-muridnya, Syekh
Muhammad Arsyad juga memberikan pengajaran dengan cara bil lisan dan bil
kitabah. Metode bil lisan dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa
disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat, maupun handai
taulan, sedangkan metode bil
kithabah menggunakan
bakatnya di bidang tulis menulis.
Dari bakat tulis menulisnya, lahir
kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab itulah yang ia tinggal
setelah Syekh Muhammad Arsyad utup usia pada 1812 M, di usia 105 tahun.
Karya-karyanya antara lain, Sabilal
Muhtadin, Tuhfatur Raghibiin, Al Qaulul Mukhtashar, di samping kitab Ushuluddin, kitab Tasauf, kitab Nikah,
kitab Faraidh, dan kitab Hasyiyah
Fathul Jawad.
Karyanya paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin yang
kemasyhurannya tidak sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga
sampai ke Malaysia, Brunei, dan Pattani (Thailand Selatan).
2.
Anak Cerdas dari Lok Gabang
Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar,
Sultan Tahlilullah, berkunjung ke kampung-kampung yang ada di wilayahnya.
Ketika tiba di kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat lukisan yang indah.
Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad Arsyad, seorang
anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil itu,
Sultan berniat mengasuhnya di istana.
Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah,
kedua orang tua Arsyad, enggan melepas anak sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan
masa depan si buah hati, keduanya pun menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad
kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan keluhuran budi pekertinya.
Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan, Sultan
memperlakukannya seperti anak kandung.
Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan
dengan Bajut, seorang perempuan yang solehah. Ketika Bajut tengah mengandung
anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di Tanah Suci
Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan
berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan
cita-citanya.
3.
Perdalam Ilmu Agama
Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu
agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih
Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi, dan al 'Arif Billah Syekh Muhammad bin
Abd Karim al Samman al Hasani al Madani. Namanya terkenal di Mekkah karena
keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu Qira’at. Ia bahkan mengarang kitab
Qira’at 14 yang bersumber dari Imam Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tersebut
dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.
Menurut riwayat, selama belajar di
Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari belajar bersama tiga orang
Indonesia lainnya: Syekh Abdul Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abdul
Wahab Bugis, dan Syekh Abdul Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal
dengan ‘Empat Serangkai dari Tanah Jawi’ yang sama-sama menuntut ilmu di al
Haramain al Syarifain. Belakangan, Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi menantunya
karena kawin dengan anak pertama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Setelah lebih dari 30 tahun menuntut
ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung halaman. Sebelum sampai di
tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta. Ia menginap di rumah salah
seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan, menurut kisahnya, Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari sempat memberikan petunjuk arah kiblat Masjid
Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan.
Pada bulan Ramadhan 1186 H bertepatan
dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di Martapura, pusat
Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tamjidillah, menyambut
kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya
sebagai seorang ulama ‘Matahari Agama’ yang cahayanya diharapkan menyinari
seluruh Kerajaan Banjar.
4.
Sabil Al-Muhtadin
Kitab ini ditulis dalam bahasa
Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam bidang fikih bagi
masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad mempelajari
berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab
Nihayah al-Muhtaj yang ditulis oleh Syekh al-Jamal al-Ramly, kitab Syarh Minhaj
oleh Syekh al-Islam Zakaria al-Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib
Syarbini, kitab Tuhfah al-Muhtaj karya Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, kitab
Mir’atu al-Thullab oleh Syekh Abdurrauf al-Sinkili, dan kitab Shirat
al-Mustaqim karya Nurruddin al-Raniri.
Selain itu, ada alasan utama yang
dilakukan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat menulis kitab ini. Sebuah
sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan) umat Islam di Banjar
(Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih yang berbahasa Arab. Maka itu,
masyarakat Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih melalui kitab-kitab
berbahasa Melayu. Salah satunya adalah kitab Shirat al-Mustaqim yang ditulis
Syekh Nurruddin al-Raniri.
Kitab Shirat al-Mustaqim-nya al-Raniri
ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih bernuansa bahasa Aceh.
Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi masyarakat Islam Banjar untuk
mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan Sultan Banjar (Tahmidullah),
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian menuliskan sebuah kitab fikih dalam
bahasa Arab-Melayu yang lebih mudah dipahami masyarakat Islam Banjar.
Dalam mukadimah kitab Sabil
al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menyatakan bahwa karya ini
ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah dan diselesaikan
pada 1195/1781 M.
Secara umum, kitab ini menguraikan
masalah-masalah fikih berdasarkan mazhab Syafi’i dan telah diterbitkan oleh
Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Kitab Sabil al-Muhtadin ini terdiri atas dua
jilid. Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga
membahas masalah-masalah fikih, antara lain, ibadah shalat, zakat, puasa, dan
haji.
Kitab ini lebih banyak menguraikan
masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat dibahas. Walaupun begitu, kitab
ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh Arsyad menerapkan hukum Islam di
wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan Tahmidullah yang memerintah saat
itu.
D. Peran Ulama
dalam Pengembangan Islam di Indonesia
Dalam kehidupan sehari-hari ulama
menjadi tumpuan dan sandaran dari berbagai pertanyaan dan persoalan yang
berhubungan dengan agama Islam baik itu akidah, syariah, maupun urusan
muamalah.
Peranan ulama dalam penyebaran agama
Islam antara lain:
1.
Memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai kandungan
ayat-ayat al-Qur’an melalui kajian-kajian tafsir.
2. Meluruskan segala
bentuk penyelewengan aqidah islamiah dan Syariat Islam dari segala bentuk
praktik khurafat, takhayyul, dan syirik.
3. Memiliki komitmen
yang sama dalam mempersiapkan generasi penerus perjuangannya dengan mengajar
para santri dan murid-muridnya di lembaga-lembaga pendidikan yang didirikannya
yaitu madrasah dan pesantren.
4. Ikut membela dan
mengamankan negara dan tanah air dari praktik penjajahan bangsa barat dengan
cara melakukan penolakan bahkan perlawanan terhadap penjajah dan segala bentuk
imperalisme.
5. Menjadi
fasilitator terbentuknya organisasi yang bersifat sosial kemasyarakatan untuk
mewujudkan persaudaraan (solidaritas) dan persatuan (ukhuwah) Islam.
6. Memberikan fatwa
dan pertimbangan kepada pemerintah dalam setiap mengambil kebijakan.
7. Memberikan
gagasan pemikiran terhadap perkembangan Islam melalui organisasi-organisasi
dunia Islam yang berimplikasi pada perkembangan Islam di Indonesia dan
mengupayakan integralisasi nilai-nilai Islam ke dalam dasar negara Republik
Indonesia.
Rangkuman
1.
Abdul Rauf Singkel yang dikenal juga dengan sebutan Syah
Kuala adalah tokoh ulama di Aceh, Sumatra. Beliau sangat tekun di dalam
menuntut ilmu baik di daerahnya sendiri maupun di luar daerah, bahkan di luar
negeri.
Selama sekitar 19 tahun menuntut ilmu
di Timur Tengah (Mekah dan Madinah). Abdul Rauf Singkel pernah diangkat menjadi
Syeikh Jamiah al-Rahman dan mufti atau kadi dengan sebutan Malik al-Adil,
menggantikan Syeh Saif al-Rijal yang wafat tidak lama setelah ia kembali ke
Aceh. Selain itu, ia juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menolak
berkuasanya seorang raja perempuan.
Walaupun disibukkan oleh tugas
mengajar dan pemerintahan, Abdul Rauf masih sempat menulis berbagai karya
intelektual di bidang ilmu tafsir, hadis, fiqih, dan tasawuf dan juga karya
sastra berbentuk syair, banyak di
antaranya yang masih tersimpan sampai sekarang.
2.
Wali Songo adalah nama sebuah lembaga dakwah di Jawa yang
anggotanya terdiri para wali. Tetapi dari anggota wali songo yang paling
masyhur hanya sembilan orang saja, yaitu: Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik),
Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri), Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan
Bonang), Raden Qasim (Sunan Drajat), Raden Syahid (Sunan Kalijaga), Raden
Ja’far Shodiq (Sunan Kudus), Raden Umar Sa’id (Sunan Muria), dan Raden Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
Dalam berdakwah, para wali songo menggunakan pendekatan
kultural (budaya) seperti tetembangan, wayang, dan tradisi/adat istiadat yang
berkembang di masyarakat. Disamping itu para wali songo juga sangat toleransi
terhadap pemeluk agama lain.
Dengan keikhlasan, akhlak mulia, kegigihan, dan kerja
keras, wali songo berhasil mengembangkan Islam di tanah Jawa. Wali songo juga
berhasil mendirikan kerajaan Islam yang sangat disegani, yaitu kerajaan Islam
Demak.
3.
Muhammad Arsyad al-Banjari adalah seorang ulama di
Kalimantan Selatan yang sejak kecil sudah menunjukkan kecerdasannya. Karena
kecerdasannya itulah beliau dididik di lingkungan istana atas permintaan raja.
Atas perintah raja pula beliau dikirim ke Arab untuk
menuntut ilmu. Setelah dianggap cukup beliau pulang ke kampung halaman untuk
mengamalkan ilmunya.
Di kampung halamannya beliau mendirikan pusat pendidikan
yang diberi nama Kampung Dalam Pagar. Di Kampung Dalam Pagar didirikan asrama
santri, asrama guru, tempat belajar, masjid, dan perpustakaan. Para santri
tidak hanya dibekali ilmu agama saja, tetapi diberikan ketrampilan seperti
bercocok tanam dan berternak agar kelak setelah menyelesaikan pendidikan para
santri dapat hidup mandiri.
Kamus Istilah
1.
Muamalah : segala sesuatu yang berhubungan dengan amal
kita terhadap masyarakat
2. Syariat : hukum
agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah
SWT, hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan al-Quran dan
hadis
3. Strata : tingkatan
dalam masyarakat
4. Sosial : berkenaan
dengan masyarakat
5. Kultural : mengenail
kebudayaan
6. Mistis : hal-hal
gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia biasa
7. Kharismatik : bersifat
karisma, yaitu keadaan atau bakat yg dihubungkan dng kemampuan yg luar biasa dl
hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dr
masyarakat thd dirinya
8. Religius : taat
terhadap ajaran agama
Uji Kompetensi
Tes afektif
Berilah tanda (√) pada kolom S (setuju) atau TS ( tidak setuju
) pada pernyataan di bawah ini!
|
No
|
Kejadian Peristiwa
|
S
|
TS
|
|
1
|
Ahmad bercia-cita menjadi ulama’ yang terkenal seperti
KH. Bisri Musthofa
walaupun dia seorang anak kuli bangunan .
|
|
|
|
2
|
Badrus seorang pemuda
yang selalu berkelana mencarai ilmu dari pondok satu ke pondok
yang lain selalu berpindah-pindah sehingga berhsil cita-citanya
|
|
|
|
3
|
Si pulan
tanahnya luas tetapi tidak pernah bercocok tanam sehingga hidupnya selalu mengantungkan
orang tuanya
|
|
|
|
4
|
Seorang siswa bila di ajar selalu menbuat onar di dalam kelas , karena dia merasa
anaknya pejabat tinggi
|
|
|
|
5
|
Andi seorang
pemain robana yang terkenal
tetapi selalu rajin belajar, sihingga menjadi bintang kelas
|
|
|
|
6
|
Seorang kepala madrasah yang selalu memperhatikan pendapat anak buahnya sehingga madrasahnya menjadi hormonis
|
|
|
|
7
|
Tono membelikan jajan tapi dari hasil curian
|
|
|
|
8
|
Seorang kepala
desa mengadakann pesta tuju
belasann dengan menampilakan petas
seni camooursari dan pemudanya mabuk-mabukan
|
|
|
|
9
|
Rifa’i seoang anak
penarik becak diangkat seorang yang kaya raya untuk di sekolahkan keluar
mekah
|
|
|
|
10
|
Abdul amin berada di tengah-tengah kota yang minim
agama beliau berupaya mendirikan
madrasah Diniyah walaupun penuh rintangan
|
|
|
Tes psikomotor
1.
Ceritakan di depan
kelas sejarah Abdur Rauf Singkel secara
singkat dan jelas !
2.
Ceritakan di depan kelas sejarah woli songo !
3.
Ceritakan di depan kelas
sejarah Muhammad Arsyad
al-Banjari !
4.
Kemukakan peranan
para tokoh islam yang pernah
kamu pelajari !
Test Pengetahuan
A.
Berilah tanda
silang paada huruf a,b, c atau d
pada jawaban yang paling benar
1.
Seorang guru thorekat
Syattariyah yang pernah
mengajarkan Abdur Rauf Singgkel
adalah ....
a.
Syekh Walid al
Hijazi c.
Syekh Umar al Yamani
b.
Syekh Ibrahim al
Qur’ani d. Syekh
Wahab Rokon
2.
Pada masa sultanah Syafiatuddin Tajul Alam , Abdur Rauf
Singkel diangkat sebagai ....
a. Panglima c.
Mufti
b. Qodli d.
Wazir
3.
Seorang Wali Songo
yang mendapat julukan Maulana
Magribi adalah ….
a. Sunan Gresik c.
Sunan Giri
b. Sunan Drajat d.
Sunan Bonang
4.
Peranan Sunan Ampel
dalam proses berdirinya kerajaan Demak adalah ….
a. Membangun masjid
Demak c.
Mengangkat Raden Fatah sebagai Sultan
b. Menyusun Kitab
undang-undang d. Melarang
upacara-upacara adat
5.
Sunan Giri adalah
keponakan Maulana Malik Ibrahim
yang berarti juga sepupu ….
a.
Sunan Gunung Jati c. Sunan Kalijaga
b.
Sunan Bonang d. Sunan Ampel
6.
Seorang Wali Songo
yang menciptakan gending
a. Sunan Bonang c.
Sunan Drajat
b. Sunan Kudus d.
Sunan kalijaga
7.
Seorang Wali Songo yang menggunakan pendekatan kultural dalam berdahwah adalah ....
a. Sunan Muriya c.
Sunan Kalijaga
b. Sunan Giri d.
Sunan Ampel
8.
Muhammad Arsyad al
Banjari dilahir pada tahun ....
a. 1709 M. c.
1711 M
b. 1710 M d.
1712 M
9.
Sultan yang mengangkat
Muhammad Arsyad al- Banjari sebagai anak
adalah Sultan ....
a. Tahlilullah c.
Tajul Alam
b. Samudra d.
Tamjidillah
10.
Kampung yang dibangun
oleh Muhammad Arsyad al- Banjari
sekarang dikenal denngan nama ....
a. Luar pagar c.
Luar Batas
b. Dalam pagar d.
Dalam batas
B.
Isilah titik-titik di bawah ini dengan singkat dan tepat
1.
Wali songo menyebarkan islam di pulau ….
2. Lagu dolan
ilir-ilir diciptakan oleh sunan ….
3. Abdul Rauf
Singkel mengembangkan Thorikat ….
4. Raden Paku
mendapat julukan ….
5. Jakfar Shodig
nama asli Sunan ….
6. Seorang wali yang
berjasa mengembang kesenian wayang purwo adalah sunan ….
7. Seorang wali yang
memiliki segudang ilmu, sehingga mendapat julukan waliyulilmi adalah sunan ….
8. Muhammd
Arsyad al –Banjari adalah tokoh islam dari ….
9. Hasil karya yang
terbesar oleh Muhammad
Arsyad al –Banjari adalah sebuah kitab ….
10. Setelah
wafat Muhammad al-Banjari mendapat
gelar ….
C.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini
dengan singkat dan jelas
1.
Sebutkan sebuah buku karangan Abdur Rouf singkel yang membahas tentang tafsir !
2. Bagaimana
strategi da’wah sunan kalijaga ?
3. Sebutkan
ulama’-ulama’ yang menjadi shabat Muhammad
Arsyad al- Banjari !
4. Jelaskan system
pendidikan yang di kembangkan oleh
Muhammad Arsyad al- Banjari !
5. Sebutkan 4
peranan para ulam’ di Indonesia
Pelajaran IV
MENELADANI SEMANGAT
PARA TOKOH YANG BERPERAN DALAM PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
·
Kompetensi Dasar :
Meneladani
Semangat para tokoh yang berperan dalam perkembangan Islam di Indonesia
Tanbih
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx.
Artinya:
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. al-Ahzab/33: 21)
Iftitah
Perkembangan Islam di Indonesia adalah
berkat perjuangan yang gigih serta kesabaran para ulama dalam menyiarkan agama
Islam. Dalam berjuang, ulama lebih mengedepankan sikap-sikap yang islami
sehingga masyarakat tertarik untuk memeluk agama Islam. Selain itu, ulama juga
memiliki kecerdasan yang luar biasa sehingga mereka mampu menciptakan media
dakwah yang disukai oleh masyarakat.
Sikap keteladanan, intelektual, dan
semangat juang para ulama perlu di pelajari agar bisa kita teladani,
lebih-lebih di zaman modern yang penuh dengan hegemoni dan krisis moral.
A. Teladan dari
Sikap Intelektual dan Semangat Keislaman Para Ulama Awal
Seperti telah diuraikan di atas, para
ulama memiliki sifat terpuji, antara lain: cerdas, warak, ikhlas dalam
berjuang, pantang menyerah, bahkan berilmu pengetahuan yang luas. Mereka
umumnya pernah menimba ilmu pengetahuan keislaman dari sumbernya yang asli,
yaitu Mekah dan Madinah. Dan mempunyai hubungan yang tak terpisahkan dengan
jaringan ulama Timur Tengah masa itu. Sebelum berangkat menuntut ilmu, mereka
terlebih dahulu telah memiliki dasar pengetahuan dari beberapa ulama Nusantara
tempat mereka lahir dan dari beberapa pesantren terkenal.
Karena ketinggian ilmunya serta
keluhuran akhlak dan budi pekertinya tak jarang mereka menduduki jabatan dalam
birokrasi kerajaan seperti mufti, qadhi, penasehat raja, atau juga ulama
kharismatis yang disegani kawan dan lawan.
Sepulang dari Timur Tengah mereka
biasanya mendirikan lembaga pendidikan tradisional seperti Pesantren, Surau
atau Dayah, tempat para santri belajar menimba ilmu. Para santri ini biasanya
datang dari berbagai penjuru tanah air. Dalam lembaga tersebut mereka dapat
mentransfer ilmu pengetahuan dan menanamkan nilai-nilai semangat keislaman.
Setelah menimba ilmu dalam waktu yang cukup lama, mereka umumnya menjadi kader
mubaligh yang berperan aktif dalam proses islamisasi di daerahnya
masing-masing.
Karya-karya tentang berbagai cabang
ilmu sering kita jumpai, meski banyak juga yang tidak sampai kepada kita atau
sudah tidak bisa kita temukan lagi. Namun dari beberapa karya yang dapat kita
lacak menunjukkan bahwa ulama awal Nusantara tersebut terlihat aktif dalam
wacana keislaman yang sedang berkembang pada masanya. Bahkan bahasa yang mereka
gunakan dalam menuangkan pemikirannya seringkali menggunakan bahasa Arab, dan
terkadang dengan bahasa Melayu (Arab Melayu/pegon). Hal itu menunjukkan akan
semangat intelektual mereka. Pembahasan karyanya meliputi berbagai cabang ilmu
meliputi hadits, tafsir, fiqih, tasawuf, dan kalam serta sejarah.
Memahami sejarah pemikiran, gagasan,
dan sikap semangat perjuangan serta kiprah dan gagasan para ulama awal dalam
penyebaran dan pengemba-ngan Islam di Indonesia, maka dapat diambil model untuk
diteladani sebagai berikut:
- Semangat dan etos kerja para ulama awal yang sangat tinggi, secara tulus ikhlas berjuang menegakkan dan meninggikan panji-panji Islam di negeri Indonesia dan menegakkannya melalui jalur politik dengan mendirikan partai politik..
2. Sikap dan
semangat serta keberanian luar biasa ditunjukkan oleh para ulama awal beserta
para santri dan murid-muridnya dalam membela dan mempertahankan negara
Indonesia dari setiap praktik penjajahan bangsa Barat.
3. Keuletan para
ulama awal dalam memikirkan dan menggerakkan kemajuan umat Islam melalui
pendirian lembaga pendidikan yang lebih maju.
4. Sikap keberanian
para ulama dalam memperjuangkan integralisasi nilai-nilai Islam ke dalam
berbagai peraturan perundang-undangan bahkan ke dalam dasar negara Republik
Indonesia.
5. Ketekunan,
kesabaran, dan keuletan para ulama dalam menuntut ilmu yang tidak hanya di
dalam negeri, tetapi sampai ke luar negeri
6. Produktivitas
para ulama dalam berijtihad menjelaskan kandungan al-Qur’an melalui kitab-kitab
tafsirnya dan buku-buku hasil karya lainnya.
7. Sikap kepedulian
para ulama dalam meluruskan dan membebaskan masyarakat dari bentuk
penyelewengan akidah dan syariat
B. Teladan dari
Sikap Intelektual dan Semangat Keislaman Wali Songo
Wali Songo sebagai ulama yang sangat
warak juga dikenal sebagai sufi yang mempraktikkan ajaran tasawuf dalam ibadah
dan kehidupan keseharian. Di samping itu mereka dikenal mementingkan ajaran
syariat di dalam kehidupan yang nyata. Sikap intelektual mereka tercermin dari
karya-karya mereka dalam menciptakan lagu, cerita wayang, dan simbol-simbol
agama lain yang mengandung ajaran-ajaran Islam. Karena itu mereka adalah ulama
yang mumpuni baik dari segi keagamaan maupun ilmu keduniaan. Tidak heran jika Raden
Patah menjadikan para wali itu sebagai penasehat kerajaan. Sebagai contoh Sunan
Kalijaga, selain sebagai orang bangsawan, ia juga wali yang sangat intelek,
mumpuni dalam bidang ilmu agama maupun ilmu kenegaraan. Ia menjadi tempat
bertanya bagi raja, terutama dalam masalah-masalah keagamaan maupun politik.
Bahkan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan dan bahkan menjadi raja
pertamanya, seperti Sunan Gunung Jati.
Dalam menjalankan dakwah di Jawa,
mereka lebih mengedepankan kearifan dalam menyikapi persoalan yang berkaitan
dengan kontroversi (perbedaan) antara ajaran Islam dengan tradisi setempat.
Sebagai seorang sufi, para wali bersikap toleran dalam menjalankan dakwah.
Bahkan tidak jarang, seni dan tradisi setempat dijadikan media dakwah untuk menarik
masyarakat masuk Islam.
Memahami dan menghayati sejarah
pemikiran, perjuangan, dan peranan ulama dalam mengembangkan Islam di
Indonesia, maka dapat diambil hikmah dan pelajaran untuk diteladani sebagai
berikut:
- Semangat dan etos kerja yang sangat tinggi dalam mengembangkan Islam di Indonesia.
2. Sikap keikhlasan
para wali yang mewarnai perjuangannya tanpa pamrih, bahkan berani berkurban
demi umat. Sikap keberanian para wali dalam melindungi dan mempertahankan
wilayah Islam dari penjajahan asing
3. Semangat spiritual
para wali tidak pernah putus hubungan dekat dengan Allah swt. sangat menentukan
keberhasilan dakwahnya
4. Kecerdasan para
wali dalam melihat situasi umat, dan cepat menemukan solusi tepat untuk
kemajuan dakwah Islam. Pemilihan metode dakwah yang tepat, kreatif, dan
persuasif, yang membuahkan hasil maksimal
5. Cara dakwah Sunan
Muria dengan mencari daerah-daerah pedalaman dan desa-desa terpencil sangat
penting ditiru agar tidak didahului dakwah umat lain
6. Sikap solidaritas
dan kepedulian sosial para wali yang tinggi terhadap nasib rakyat untuk
membantu dan menyantuninya
7. Sikap para wali
menjalin hubungan dengan penguasa dan para raja sangat membantu keberhasilan
dakwah
8. Adanya jadwal
pembagian wilayah dakwah agar Islam tersebar merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Rangkuman
1. Para ulama
memiliki sifat terpuji, antara lain: cerdas, warak, ikhlas dalam berjuang,
pantang menyerah, bahkan berilmu pengetahuan yang luas. Dengan sifat-sifat
terpuji mereka itulah agama Islam dapat diterima oleh masyarakat dan berkembang
pesat di Indoneisa.
2. Mereka umumnya
pernah menimba ilmu pengetahuan keislaman dari sumbernya yang asli, yaitu Mekah
dan Madinah.
3. Karya para ulama
dapat kita temukan dalam beberapa karangannya baik yang menggunakan bahasa Arab
maupun bahasa Arab-Melayu, atau pegon. Hal itu menunjukkan akan semangat
intelektual mereka. Pembahasan karyanya meliputi berbagai cabang ilmu meliputi
hadits, tafsir, fiqih, tasawuf, dan kalam serta sejarah
Kamus Istilah
1.
Warak : patuh dan taat kepada Allah
2. Toleran :
bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan)
pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang
berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri
3. Ikhlas : tulus
hati; (dengan) hati yang bersih dan jujur
4. Spiritual : berhubungan
dengan atau bersifat kejiwaan
5. Persuasif : bersifat membujuk secara halus (supaya orang
yakin)
6. Hegemoni : pengaruh kekuasaan suatu negara atas
negara-negara lain (atau negara bagian)
Uji kompetensi
Tes afektif
Berilah tanda (√)
pada kolom S (setuju) atau TS ( tidak setuju ) pada pernyataan di bawah
ini!
|
No
|
Pernyataan
|
S
|
TS
|
|
1
|
Hampir 85% penduduk Indonesia sudah beragama Islam,
kita tidak perlu berdakwah lagi
|
|
|
|
2
|
Meneladani ulama sangat sulit karena kita jarang
bertemu dengan ulama
|
|
|
|
3
|
Belajar giat tidak termasuk bagian dari meneladani
ulama
|
|
|
|
4
|
Ulama harus
memiliki kecerdasan sehingga mereka mampu menciptakan media dakwah yang
disukai oleh masyarakat
|
|
|
|
5
|
Agar
memiliki kemampuan berdakwah dengan baik maka kita harus belajar pidato
|
|
|
|
6
|
Sikap
solidaritas dan kepedulian sosial para wali yang tinggi terhadap nasib rakyat
untuk membantu dan menyantuninya
|
|
|
|
7
|
Islam sangat toleran terhadap agama lain karena itu
kita tidak perlu tersinggung ketika ada penghinaan dari pemeluk agama lain.
|
|
|
|
8
|
Sikap solidaritas dan kepedulian sosial para wali yang
tinggi terhadap nasib rakyat untuk membantu dan menyantuninya
|
|
|
|
9
|
Seni dan tradisi setempat dapat dijadikan media dakwah
untuk menarik masyarakat memahami Islam dengan baik
|
|
|
|
10
|
Untuk memeringati hari besar Islam kita akan
menampilkan pertunjukan wayang
|
|
|
Tugas Mandiri
Tunjukan semangat para tokoh dalam mengembangkan agama
Islam di Indonesia
Test Pengetahuan
A. Berilah tanda
silang ( X) pada huruf a,b,c atau d yang paling benar
1.
Para ulama selalu menjauhi kemaksiatan sifat tersebut
dikenal dengan istilah….
a. Warak c. Tawadu
b. Zuhud d. Ihsan
2.
Kerajaan Aceh Darussalam pernah mengangkat seorang mufti
dari kalangan ulama, beliau adalah….
a. Hamzah Fansuri c.
Nuruddin ar Raniri
b. Adur Rauf Singkel d.
Syamsudin as Sumatrani
3.
Pada masa pemerintahan Raden Fatah para wali diangkat
sebagai….
a. punggawa c. Penasehat
b. wazir d.
Katib
4.
Diantara Walisongo yang pernah menjadi raja adalah….
a. Sunan Bonang c. Sunan Ampel
b. Sunan Kalijaga d. Sunan Gunung Jati
5.
Para Wali biasanya melakukan ajaran tasawuf maka mereka
dikenal dengan sebutan….
a. Sufi c. Filosof
b. Mufti d. Qadi
6.
Diantara sifat-sifat terpuji yang dimiliki para ulama
adalah….
a. Ikhlas c.
Malas
b. Dengki d.
Boros
7.
Lembaga tradisional yang digunakan sebagai media dakwah
para wali untuk mendidik generasi Islam adalah….
a. Madrasah c. Pesantren
b. Majlis ta’lim d. Islamic Center
8.
Media dakwah Sunan Bonang untuk menyiarkan Islam di tanah
Jawa menggunakan….
a. Drama c. Tembang
b. Gending d. Lagu-lagu
9.
Lagu dolanan ilir-ilir sebagai media dakwah yang
digunakan oleh seorang wali….
a. Sunan Giri c. Sunan Ampel
b. Sunan Kalijaga d. Sunan Gunung Jati
10.
Seseorang yang menyampaikan dakwah di masyarakat
disebut….
a. Ulama c.
Ustad
b. Mubaligh d. Santri
B.
Isilah titik-titik di bawah ini dengan jawaban yang
benar!
1. Sunan Kalijaga
merupakan seorang wali yang sangat intelek, buktinya beliau mumpuni di bidang
ilmu.... maupun....
2. Persoalan-persoalan
kontroversi yang ada dalam masyarakat disikapi oleh para ulama dengan....
3. Kesenian dan
tradisi setempat digunakan oleh Walisongo sebagai....
4. Walisongo
memiliki semangat dan etos kerja yang tinggi untuk....
5. Keikhlasan para
wali tampak pada pejuangannya yang....
6. Terjalinnya
hubungan yang baik antara para ulama dengan para penguasa dan para raja sangat
membantu dalam keberhasilan....
7. Sumber ilmu
keislaman yang asali berasal dari kota.... dan ....
8. Para ulama
setelah kembali ke kampung halamannya mendirikan lembaga ttrdisional
seperti....
9. Para santri
setelah menuntut ilmu umumnya menjadi
kader....
10. Karya para ulama
Indonesia selain berbahasa Arab juga ada yang berbahasa....
C.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan jelas!
1. Jelaskan sikap
yang diterapkan para ulama dalam melaksanakan dakwah Islam!
2. Mengapa Raden Fatah
menjadikan para Wali sebagai penesehat kerajaan?
3. Bagaimana para
wali dalam memilih metode berdakwah?
4. Sebutkan jabatan
dalam pemerintahan yang sering diduduki para ulama!
5. Meliputi bidang
ilmu apa sajakah karya para tookoh Islam di Indonesia?
SEMESTER GENAP
Pelajaran V
Menceritakan Seni
Budaya Lokal Sebagai Bagian dari Tradisi Islam
·
Kompetensi Dasar :
Menceritakan Seni Budaya Lokal Sebagai Bagian dari
Tradisi Islam
Tanbih
عن المرء لاتسال عن قر ينه فان قرين با لمقا رن يقتدي
وان كان ذا شر فجنبه سر عة وان كا ن ذاخير فقاربه تقتدي
Artinya:
“Janganlah
kamu tanyakan tentang pribadi seseorang, tanyakan saja siapa teman bergaulnya,
sebab seorang pasti akan mengikuti perilaku teman bergaulnya. Jika temanmu
buruk perilakunya, maka jauihilah dia, jika dia perperilaku baik, maka
bertemanlah dengannya, kamu pasti akan berperilaku baik pula”(az-Zarnuji:
Ta’lim al-Muta’allim)
Iftitah
Wilayah kepulauan
Nusantara terdiri dari beribu-ribu pulau dengan berbagai suku, agama,
kepercayaan, dan tradisi yang berbeda-beda. Ketika masuk ke Nusantara, agama
Islam ternyata mempengaruhi tradisi dan budaya yang telah ada. Hal ini
disebabkan tradisi-tradisi tersebut tidak dihilangkan atau dirombak tetapi
diberi nuansa islami dan dijadikan media untuk menyiarkan Islam. Dari sinilah
lahirnya Tradisi Islam Nusantara.
Tradisi Islam
tersebut tumbuh dan berkembang di tiap-tiap daerah di Nusantara hingga saat
ini. Kewajiban kita adalah melestarikan tradisi Islam Nusantara tersebut.
A.
Pengertian Tradisi Islam
Nusantara
Tradisi adalah adat kebiasaan
turun-temurun yang masih dijalankan dalam masyarakat. Sebelum Islam datang,
masyarakat Nusantara sudah mengenal berbagai kepercayaan. Hal itu yang membuat
proses dakwah Islam pada saat itu tidak terlepas dengan adat yang sudah
berlaku. Kepercayaan masyarakat yang sudah mendarahdaging tidak mungkin dapat
dihilangkan secara langsung. Akan tetapi, memerlukan proses yang cukup lama.
Tradisi Islam Nusantara merupakan akulturasi antara ajaran Islam dan
adat yang ada di Nusantara pada waktu itu.
Tradisi Islam di Nusantara merupakan
metode dakwah yang dilakukan para ulama masa itu. Meskipun adat-istiadat yang
sudah berjalan di masyarakat waktu itu bertentangan dengan ajaran Islam, para
ulama tidak menghapus secara total. Adat yang sekiranya dapat diberi muatan
ajaran Islam oleh para ulama memasukkan
ajaran-ajaran Islam dalam adat-adat tersebut. Dengan harapan, masyarakat tidak
merasa kehilangan adat yang dimilikinya dan ajaran Islam dapat diterima. Dengan
demikian, tradisi Islam yang ada di Nusantara bukan merupakan ajaran Islam yang
harus diamalkan, tetapi sebagai metode dakwah saat itu.
Tradisi Islam Nusantara yang merupakan
hasil kreasi para ulama tersebut sampai sekarang masih dijalankan dan
dilestarikan oleh umat Islam.
B.
Kesenian dan Adat Nusantara
Kesenian dan adat istiadat yang
berkembang di Nusantara yang bernapaskan Islam sangatlah banyak. Semua itu
dalam rangkaian dakwah Islam yang dilaku-kan pada masa itu. Tradisi tersebut
antara lain:
1.
Wayang
Kesenian wayang dalam bentuk yang asli
muncul sebelum agama Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada zaman
Hindu Jawa. Pertunjukan kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara
keagamaan orang Jawa yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme.
Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul
Wayang Purwa disebutkan, bahwa kesenian wayang mula-mula sekali
diciptakan oleh Raja Jayabaya dari kerajaan Mamenang/Kediri. Sekitar abad
ke-10, Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan
digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari
gambaran relief cerita Ramayana pada candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana
sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang
setia. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau
Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Wayang mengalami perkembangan dari
masa ke masa, hingga masa kerajaan Majapahit. Bentuk wayang yang semula memakai
daun lontar berkembang dalam bentuk kertas ditambah bagian-bagian kecil yang
digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana dimainkan
harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut dengan Wayang
Beber.
Pada masa raja Brawijaya, bentuk
wayang lebih disempurnakan lagi dengan ditambahi lukisan-lukisan oleh Raden
Sungging Prabangkara (putra raja Brawijaya). Oleh Raden Sungging Prabangkara
wayang dilukis dan diwarnai dengan cat dan pewarnaannya disesuaikan dengan
karakter (sifat dan watak) tokoh yang dilukiskan tersebut.
Pertunjukan wayang tidak hanya
dinikmati oleh keluarga keraton saja, tetapi masyarakat secara luas pun
menikmatinya. Dengan demikian kesenian wayang mulai dimiliki oleh masyarakat
dan menjadi bagian dari kebudayaannya. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit,
maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini terjadi karena Sultan
Demak Syah Alam Akbar I (Raden Patah) sangat menggemari seni karawitan dan
pertunjukan wayang.
Pada masa itu, sementara pengikut
agama Islam ada yang beranggapan bahwa wayang dan gamelan adalah kesenian yang
haram dan berbau Hindu. Pandangan tersebut menimbulkan pro dan kontra di
tengah-tengah masyarakat. Selanjutnya, oleh para ulama berusaha menghilangkan
kesan yang berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca dan roh, dengan menghilangkan
wujud gambar manusia. Akhirnya para ulama berhasil menciptakan bentuk baru dari
Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah
digambarkan miring, ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan
manusia, sehingga sampai kaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna dasar
putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dari tepung tulang sedang
pakaiannya dicat dengan tinta. Wayang ini kemudian biasa dinamakan dengan
Wayang Kulit.
Kesenian wayang di Nusantara merupakan
hasil karya seorang ulama yang terkenal, yaitu Sunan Kalijaga. Wayang
dimanfaatkan Sunan Kalijaga sebagai sarana dakwah menyebarkan agama Islam di
Nusantara. Masyarakat Jawa Tengah, khususnya, menganggap kesenian wayang tidak
sembarang kesenian. Wayang mengandung nilai filosofis, religius, dan
pendidikan.
Dalam pertunjukan wayang, Sunan
Kalijaga berperan sebagai dalangnya. Ketika memainkan wayang itulah Sunan
Kalijaga menyisipkan ajaran-ajaran Islam (religius), pendidikan, dan
unsur-unsur filsafat (mencari kebenaran).
Dengan kesenian wayang, Sunan Kalijaga
berhasil menarik perhatian masyarakat luas. Hal itu membuat mereka tertarik
untuk memeluk agama Islam dengan kesadaran dan kemauan sendiri. Sunan Kalijaga
terkenal sebagai ulama yang kreatif dan pandai menarik simpati masyarakat.
Beliau banyak menciptakan cerita pewayangan yang bernapaskan Islam. Misalnya,
cerita yang berjudul Jamus Kalimasada, Wahyu Tohjali, Wahyu Purboningrat, dan
Babat Alas Wonomarto.
Di samping menciptakan cerita-cerita
pewayangan, Sunan Kalijaga juga berhasil menciptakan peralatan perlengkapan
dalam wayang. Kelengkapan yang menyertai pementasan wayang adalah seperangkat
gamelan dan gending-gending Jawa.
Pada masa itu, setiap akan diadakan
pentas dan pegelaran wayang, terlebih dahulu Sunan Kalijaga memberikan wejangan
atau nasihat keislaman. Kemudian, mereka diajak mengucapkan dua kalimat
syahadat. Dengan demikian, berarti mereka sudah menyatakan diri masuk Islam.
Lama-kelamaan mereka pun mau menjalankan ibadah shalat. Dengan cara demikian
itu, Sunan Kalijaga dapat memikat hati masyarakat sehingga Islam cepat tersebar
di masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah.
2.
Sekaten
Sekaten awalnya merupakan media dakwah
penyebaran Islam dengan momentum hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Dalam
perkembangan selanjutnya, Sekaten menjadi sebuah bentuk upacara perayaan Maulid
Nabi Muhammad saw. yang diadakan di Yogyakarta dan Surakarta. Kata sekaten itu
sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yaitu Syahadatain (dua kalimat syahadat).
Syahadatain merupakan wujud pengakuan keislaman seseorang. Sekaten mulai
diperkenalkan Raden Patah di Demak pada abad XVI M. Pada saat itu ribuan orang
Jawa beralih ke agama Islam dengan mengucapkan syahadatain. Oleh karena itu,
penggunaan istilah sekaten menjadi populer.
Masyarakat yang akan melihat perayaan
sekaten tidak dipungut biaya sedikit pun. Mereka hanya diminta mengucapkan dua
kalimat syahadat sebelum masuk ke arena sekaten (Alun-alun Kerajaan). Bagi yang
belum bisa ada petugas yang membimbing membaca dua kalimat syahadat. Dengan perayaan
sekaten itu, agama Islam cepat tersiar dan dianut oleh masyarakat Jawa Tengah,
terutama di Surakarta, Yogyakarta, dan sekitarnya.
Pada masa-masa permulaan perkembangan
agama Islam di Jawa, salah seorang dari Walisongo, yaitu Sunan Kalijaga,
memergunakan instrumen musik gamelan, sebagai sarana untuk memikat masyarakat
agar datang untuk menikmati pagelaran karawitannya. Untuk tujuan itu digunakan
dua perangkat gamelan yang memiliki laras suara yang merdu, dua perangkat itu
diberi nama Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Di sela-sela pagelaran
kemudian dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an. Bagi mereka
yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajiban mengucapkan kalimat
syahadat, sebagai syarat pernyataan taat kepada ajaran agama Islam. Istilah
syahadat yang diucapkan sebagai syahadatain ini kemudian berangsur-angsur
berubah dalam pengucapannya, sehingga menjadi syakatain dan pada akhirnya
menjadi istilah Sekaten hingga sekarang. Setiap tanggal 5 Maulid, kedua
perangkat gamelan yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu dike-luarkan dari
tempat peyimpanannya di Bangsal Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang
terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai dibunyikan di
tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 kedua perangkat gamelan
tersebut dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta, dalam satu iringan
abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit keraton ber-seragam lengkap.
Tradisi itu diadaptasi keraton
Yogyakarta pada masa Hamengkubuwono I (1773), dengan dibangunnya Masjid Agung
Kauman sebagai tempat pelaksanaan rangkaian acara Sekaten. Perayaan itu
diadakan sebulan penuh pada bulan Maulud dalam penanggalan Jawa, dengan puncak
acara “Grebeg Mulud” Dalam acara itu, sultan memberikan sedekah kepada rakyatnya
yang berwujud dalam bentuk gunungan. Selain itu, Sekaten berkembang sebagai
ajang interaksi sosial dan panggung hiburan rakyat. Hingga tahun 1968, Sekaten
berpusat di Masjid Kauman. Dalam waktu bersamaan, di alun-alun utara berkembang
pasar rakyat dengan sistem barter (tukar-menukar barang), serta panggung
hiburan yang menampilkan kesenian tradisional. Tahun 1970, unsur komersialisasi
mulai masuk, ditandai dengan adanya pungutan tarif masuk. Dua tahun kemudian,
keraton Yogyakarta mengoordinasi pesta rakyat dengan membentuk Panitia Sekaten.
Tahun 1973, karena meningkatnya transaksi ekonomi dan munculnya aneka macam
atraksi permainan, koordinasi diserahkan kepada pemerintah kota Yogyakarta
dengan nama Pasar Malam Perayaan Sekaten.
Pada umumnya masyarakat Yogyakarta dan
sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari
kelahiran Nabi Muhammad saw ini, yang bersangkutan akan mendapat imbalan pahala
dari Yang Maha Kuasa, dan dianugerahi awet muda. Sebagai Srono (syarat)nya,
mereka harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari
pertama dimulainya perayaan Sekaten. Oleh karena itu, selama diselenggarakan
Sekaten, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih bersama lauk
pauknya di halaman Kemandungan, di alun-alun utara maupun di depan Masjid Agung
Yogyakarta. Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panennya
yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka membeli cambuk
(pecut) yang dibawanya pulang. Selama lebih kurang satu bulan sebelum upacara
Sekaten dimulai, pemerintah daerah kotamadya, memeriahkan perayaan ini dengan
pasar malam yang diseleng-garakan di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Di Yogyakarta dan Surakarta, Sekaten
menjadi lambang kekuatan dan keberanian pendiri kerajaan Mataram Islam. Tepat
pada hari Maulid Nabi Muhammad saw (12 Rabiul awal), semua pusaka kerajaan
dibersihkan secara khusus. Setelah itu diarak mengelilingi jalan-jalan kota
untuk dipertunjukkan kepada masyarakat luas. Perayaan sekaten itu diadakan
setiap tahun sekali, yang dikenal dengan sebutan Muludan. Maksudnya adalah
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Pada saat itu diadakan
ceramah-ceramah keislaman di serambi Masjid Keraton Surakarta dan Keraton
Yogyakarta atau Mataram.
3.
Kasidah dan Hadrah
Kasidah berasal dari bahasa Arab
qasidah. Artinya, puisi yang lebih dari empat bait. Kasidah merupakan jenis
seni suara yang bernapaskan Islam. Lagu-lagu yang dinyanyikan berisikan
unsur-unsur dakwah islamiyah dan nasihat-nasihat yang sesuai ajaran Islam. Lagu-lagu
kasidah biasanya dibawakan dengan irama gembira dan diiringi rebana.
Rebana pada awalnya adalah instrumen
yang mengiringi lagu-lagu keagamaan, seperti puji-pujian terhadap Allah swt.,
sholawat kepada Nabi Muhammad saw., atau syair-syair Arab. Karena fungsi yang
dimainkan itulah, alat ini disebut rebana. Rebana berasal dari kata rabbana
yang berarti wahai Tuhan kami (semua bentuk pujian kepada Allah swt.)
Kasidah biasanya dibawakan oleh sebuah
grup yang terdiri atas sepuluh hingga dua puluh orang. Mereka membawakan
lagu-lagu tersebut dengan berdiri dan berpakaian kerudung atau kebaya panjang.
Dalam pelaksanaannya, biasanya ditunjuk seseorang sebagai vokalis (penyanyi).
Anggota yang lain berperan juga sebagai penyanyi dalam syair-syair yang
dinyanyikan dengan kor.
Kesenian kasidah mulai tumbuh seiring
berkembangnya kesenian tradisional Islam yang ada di tengah-tengah masyarakat
Indonesia, seperti dzikir dan salawat. Lagu-lagu yang berasal dari dzikir dan
salawat itu biasanya disajikan dalam acara-acara perayaan, seperti Maulid Nabi,
Isra’ Mi’raj, khitanan, atau pernikahan.
Masuknya lagu-lagu Arab modern ke
Indonesia membuat para seniman Islam Indonesia memadukan antara kesenian
tradisional dan lagu-lagu tersebut. Dari sinilah muncul kesenian kasidah. Kasidah
mulai populer sekitar tahun 1960-an, tetapi masih bersifat lokal, belum begitu
memasyarakat secara luas. Pada tahun 1970-an, kasidah sudah begitu memasyarakat
secara luas. Bahkan sudah mulai tampil dalam acara televisi.
Perkembangan kesenian kasidah didasari
adanya kesepakatan ulama-ulama hukum Islam bahwa seni adalah mubah (boleh).
Mereka berpendapat bahwa pemanfaatan seni suara yang dimaksudkan untuk tujuan
kebaikan dan disajikan secara baik, hukumnya mubah (boleh). Dengan catatan, hal
tersebut tidak melanggar aturan-aturan agama serta mendorong orang untuk
melakukan perintah-perintah agama. Bahkan, merupakan anjuran jika kesenian itu
bertujuan untuk dakwah. Sejak itulah bermunculan grup-grup kasidah di
Indonesia, seperti Nasida Ria, Nida Ria, dan el-Hawa.
Hadrah adalah suatu kesenian dalam
bentuk seni tari dan nyanyian yang bernapaskan Islam. Lagu-lagu yang digunakan
adalah lagu-lagu yang berisi ajaran Islam, sedangkan musiknya menggunakan
rebana dan genjring. Hadrah biasanya dipentaskan dalam acara syukuran atas
kelahiran anak, khitanan, pernikahan, atau hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan keislaman. Selain kesenian, syair-syair yang dilantunkan dalam hadrah
juga berisi nasihat -nasihat atau piwulang-piwulang leluhur.
Dalam beberapa acara, seperti khitanan
dan pernikahan, hadrah biasa-nya diselenggarakan dalam bentuk arak-arakan.
Hadrah merupakan hiburan untuk menyemarakkan upacara yang sedang berlangsung
4.
Halal bi Halal
Menurut Dr. Quraish Shihab,
halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang
diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317).
Meskipun kata ini berasal dari bahasa Arab, masyarakat Arab sendiri tidak akan
memahami arti halal-bihalal
Halal-bihalal, tidak lain, adalah hasil
pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Halal-bihalal
merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini. Yaitu suatu tradisi yang dikerjakan
masyarakat Indonesia yang pelaksanaannya setelah shalat idul fitri.
Asal mula istilah halal bihalal ini,
mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan
Pangeran Sambernyawa. Pada waktu itu dalam rangka menghemat waktu, tenaga,
pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri beliau mengadakan pertemuan
antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.
Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan
permaisuri. Selanjutnya, acara ini
menjadi suatu rutinitas yang senantiasa dilakukan oleh para abdi dalem keraton
setiap selesai sholat ‘idul fitri, dan
dalam perkembangannya tidak hanya dilakukan oleh kerabat keraton, tetapi juga
oleh rakyat jelata hingga sekarang ini.
Dalam budaya Jawa, seseorang “sungkem”
kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Sungkem
bukannya simbol kerendahan derajat, melainkan justru menunjukkan perilaku
utama. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang penghormatan, dan kedua,
sebagai permohonan maaf, atau “nyuwun ngapura”. Istilah “ngapura” sesungguhnya
berasal dari bahasa Arab “ghafura”. Para ulama di Jawa tampaknya ingin benar
mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk meningkatkan iman dan takwa, juga
mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lampau diampuni oleh Allah SWT.
Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah SWT bisa langsung mohon pengampunan
kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika dia masih bersalah
kepada orangorang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka? Nah, di sinilah
para ulama mempunyai ide, bahwa di hari lebaran itu antara seorang dengan yang
lain perlu saling memaafkan kesalahan masing-masing, yang kemudian dilaksanakan
secara kolektif (bersamaan) dalam bentuk halal bihalal. Jadi, disebut hari
Lebaran, karena puasa telah lebar (selesai), dan dosa-dosanya telah lebur
(terhapus). Dari uraian di muka dapat dimengerti, bahwa tradisi lebaran berikut
halal bihalal merupakan perpaduan antara unsur budaya Jawa dan budaya Islam.
Demikian dinamisnya Islam sehingga memberi ruang kepada umat untuk berkreasi.
Islam mengajarkan agar umat tidak hanya menjaga hubungan baik dengan Sang
Khalik (hablun min-Allah), tetapi juga mesti menjaga hubungan baik dengan
sesama manusia (hablun min an-nas) diantaranya dengan halal bihalal.
5.
Adat Melayu
Kehidupan orang Melayu (Riau) selalu
diwarnai dengan upacara adat sebagai warisan tradisi nenek moyang mereka.
Masuknya agama Islam sedikit banyak memengaruhi dalam pelaksanaan upacara adat
tersebut. Misalnya kelahiran anak hingga masuk usia dewasa.
Anak yang baru lahir jika bayi itu
laki-laki segera diazankan, sedang bayi perempuan diiqamahkan. Khusus bayi
perempuan, lidahnya ditetesi madu dengan menggunakan kain. Hal itu dimaksudkan
agar anak tersebut memiliki kata-kata semanis madu.
Beberapa hari setelah kelahiran,
diadakan acara akikah sesuai ajaran Islam. Bayi laki-laki disembelihkan dua
ekor kambing, sedang bayi perempuan seekor kambing. Selain diakikahi juga
dilanjutkan dengan pemotongan rambut sekaligus pemberian nama kepada bayi
tersebut.
Ketika bayi berusia tiga bulan
diadakan upacara yang disebut mengayun budak. Bagi bayi perempuan diadakan
pelubangan di telinganya atau bertindik untuk dipasang perhiasan. Pada usia
enam bulan diadakan upacara turun tanah, yaitu ketika bayi itu menjejakkan
kakinya pertama di tanah.
Pada usia masuk tujuh tahun, orang
tuanya akan mengantarnya kepada guru ngaji untuk belajar al-Qur’an, bersilat,
menari Zipin. Pada saat itu tiba waktunya seorang anak dikhitan (bersunat),
baik laki-laki maupun perem-puan. Dalam acara bersunat, pesta perayaannya
dimeriahkan dengan kesenian gazal dan langgam. Khusus anak laki-laki khitan
dilakukan setelah ia tamat mengaji al-Qur’an yang ditandai dengan upacara
berkhatam ngaji. Kebanggaan bagi orang tua jika anak yang dikhitan sudah khatam
dalam membaca al-Qur’an. Sebaliknya, aib bagi orang tua jika anak yang dikhitan
tidak dapat khatam membaca al-Qur’an.
Khitan merupakan tanda bahwa seorang
anak laki-laki dianggap telah memasuki usia dewasa. Mereka mulai memisahkan
diri dengan orang tua dengan cara tidur di surau atau masjid. Anak laki-laki
yang sudah dewasa disebut bujang, sedang anak perempuan disebut dara
atau gadis
6.
Adat Minang
Menurut adat Minang, anak laki-laki
yang sudah menginjak usia akil baligh harus segera dikhitan dan belajar
mengaji. Masyarakat Minang mempunyai adat kebiasaan dalam rangka mengantarkan
anak laki-lakinya menuju masa kedewasaan. Misalnya, upacara khitanan. Upacara
tersebut sebagai tanda bahwa anak laki-laki tersebut sudah dianggap dewasa,
sekaligus untuk mengislamkan dirinya. Adapun untuk anak perempuan yang masuk
usia dewasa diadakan upacara merias rambut (menata konde). Upacara itu
diada-kan ketika anak perempuan tersebut mendapat haid pertama
7.
Adat Bugis
Nusantara terdiri atas berbagai suku
bangsa. Setiap suku mempunyai tradisi atau adat istiadat masing-masing. Di
Bugis, ada jenis tarian adat yang disebut tari pergaulan. Tarian itu
dapat dimainkan secara berkelompok, biasanya dimainkan oleh sekelompok
perempuan atau sekelompok laki-laki. Jadi tidak ada kelompok laki-laki dan
perempuan menjadi satu. Tarian yang dimainkan oleh sekelompok laki-laki disebut
Pakarena Burakne, sedang tarian yang dimainkan sekelompok perempuan
disebut tari Pakarena Baine. Kedua jenis tarian itu menggambarkan
kehalusan putra/putri Bugis. Tari pergaulan seringkali disajikan dalam berbagai
upacara, seperti pernikahan, khitanan, atau hajatan lainnya. Tarian itu
bertujuan untuk memeriahkan jalannya upacara
8.
Adat Madura
Madura mempunyai beberapa kesenian
adat, seperti sandur. Sandur mempunyai beberapa arti. Di Madura Timur, sandar
berarti nyanyian ritual, meniru suara gamelan dengan mulut, dan tata cara
bersenandung menghibur diri. Di Madura Barat, khususnya di Bangkalan, sandur
mempunyai arti pertunjukan teater komedi yang dahulu diebut slubadan. Namun
belakangan ini lebih populer dengan sebutan sandur Madura.
Sandur dikenal sebagai teater rakyat
yang seluruhnya dimainkan oleh kaum laki-laki. Tema cerita yang diangkat
berkisar tentang konflik rumah tangga. Sandur dipresentasikan dengan penuh
kesahajaan, blak-blakan, lugas, dan komedi. Sandur mempunyai kemiripan dengan kesenian
di Jawa seperti ketoprak, ludruk, dan teater daerah
9.
Adat Sunda
Masyarakat Jawa Barat sebagian besar
menganut agama Islam. Meskipun demikian, banyak adat yang masih berlaku. Sunda
memiliki berbagai adat yang bernapaskan Islam, diantaranya setelah kelahiran
hingga menjelang dewasa.
Kelahiran bayi merupakan peristiwa
yang didambakan oleh kedua orang tuanya. Di Sunda, apabila bayi yang lahir
laki-laki, ia akan segera diazankan di telinga kanan dan diiqamahkan di telinga
kiri. Apabila bayi itu perempuan, ia cukup diiqamahkan. Dengan harapan, bayi
yang baru lahir sudah mendengar kebesaran nama Allah swt, sehingga kelak
menjadi anak yang saleh, bijaksana, pandai, dan taat menjalankan perintah
agama. Kelahiran bayi ditandai dengan penyembelihan akikah sebagai rasa syukur
kepada Allah swt.
Kedewasaan seorang anak laki-laki,
ditandai dengan upacara yang disebut khitanan atau sunatan. Khitan biasanya
dilakukan ketika anak berusia 7-8 tahun. Anak yang akan dikhitan tidak banyak
darah yang keluar. Kemudian anak yang akan dikhitan mengenakan sarung.
Khitan dilaksanakan di halaman rumah.
Anak yang akan dikhitan, kedua kakinya diangkat oleh seorang lelaki dewasa. Hal
itu untuk mempermudah tukang sunat (paraji sunat) melakukan tugasnya. Setelah
khitan selesai dilaksanakan, diadakan perayaan untuk mnghibur anak yang
dikhitan
Ingat !!
Para ulama dalam berdakwah tidak
merombak dan menghapus tradisi dan adat istiadat yang sudah ada dan mengakar di
masyarakat, tetapi memberikannya nuansa islami dan menjadikannya sebagai media
dakwah Islam. Dari sinilah lahirnya tradisi Islam Nusantara.
Kamus istilah
1.
Akulturasi : percampuran dua kebudayaan atau lebih
2.
Uji Kompetensi
Tes Afektif
Berilah tanda (√) pada kolom S (setuju) atau TS (
tidak setuju ) pada pernyataan di bawah ini!
|
No
|
Pernyataan
|
S
|
TS
|
|
1
|
Kesenian lebih banyak madaratnya
daripada maslahatnya
|
|
|
|
2
|
Sebagai orang Jawa kita tidak perlu
melestarikan budaya orang luar Jawa
|
|
|
|
3
|
Meski wayang merupakan peninggalan
Sunan Kalijaga, kurang elok jika mengadakan pertunjukan wayang di halaman
masjid
|
|
|
|
4
|
Banyak budaya Hindu-Budha yang
dilebur menjadi budaya islami
|
|
|
|
5
|
Teguh pendirian itu misalnya hanya
membudayakan budaya sendiri
|
|
|
|
6
|
Pembacaan al-Barzanji termasuk budaya Islam yang tidak
perlu diperten-tangkan di masyarakat yang tidak menyukai
|
|
|
|
7
|
Memberikan apresiasi terhadap budaya Islam antara lain
mau mengembang-kan dan melestarikan di tengah-tengah lingkungan kita.
|
|
|
|
8
|
Halal bi halal adalah tradisi/budaya asli Indonesia
|
|
|
|
9
|
Tradisi Islam yang ada di Nusantara bukan merupakan
ajaran Islam yang harus diamalkan.
|
|
|
|
10
|
Kepercayaan masyarakat yang sudah mendarahdaging tidak
mungkin dapat dihilangkan secara langsung, karena itulah dalam berdakwah kita
harus cerdas menciptakan media yang tepat.
|
|
|
Tugas Mandiri
·
Tunjukan semangat para tokoh dalam mengembangkan agama
Islam di Indonesia
Test Pengetahuan
I Berilah tanda
silang (x) pada huruf a, b, c, atau d di depan jawaban yang paling benar!
1.
Kepercayaan masyarakat Indonesia sebelum datangnya agama
Islam telah mengalami beberapa perubahan. Kepercayaan pertama yang dianut
masyarakat Indonesia adalah ....
a. Hindu c. Dinamisme
b. Budha d. Animisme
2.
Kepercayaan yang menganggap bahwa setiap benda itu
memiliki kekuatan ghaib yang suatu saat dapat menyelamatkan manusia dari
malapetaka disebut ....
a. Animisme c.
Dinamisme
b. Monotheisme d. Atheisme
3.
Kepercayaan animisme mempunyai empat aliran,
Diantaranya terdapat di bawah ini, kecuali
...
a. Menyembah alam c.
Menyembah makluk halus
b. Menyembah
binatang d. Menyembah roh
nenek moyang.
4.
Kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang menganggap
bahwa di dalam setiap benda mempunyai roh disebut ...
a. Animisme c.
Dinamisme
b. Monotheisme d. Atheisme
5.
Agama Hindu merupakan agama yang lahir pada tahun 1500 sM
di India. Salah satu ajaran dalam agama ini adalah percaya kepada tiga dewa
yang diesbut....
a. Tripitaka c.
Trinitas
b. Trimurti d. Trisakti
6.
Dari beberapa latar belakang kehidupan manusia, latar
belakang yang paling banyak mewarnai adat-istiadat masyarakat Indonesia, adalah
....
a. Latar belakang
perekonomiannya c. Latar belakang Kepercayaannya
b. Latar belakang
Agamanya d. Latar belakang rasnya.
7.
Dengan mengggunakan jalur adat istiadat yang sudah ada
sebagai media dakwah, maka penyiaran Islam di Indonesia ....
a. Berjalan dengan
lambat c. Banyak yang menolak
b. Sulit diterima
masyarakat d. Berjalan lambat
8.
Salah satu contoh ajaran Islam yang telah menjadi tradisi
masyarakat Indonesia sejak dulu hingga sekarang masih dilaksanakan oleh umat
Islam di berbagai daerah adalah ....
a. Perkawinan c. Khitan
b. Pergaulan d.
Berkhatam ngaji
9.
Perhatikan bentuk-bentuk tradisi budaya/adat istiadat
yang berhubungan dengan kehidupan manusia dibawah ini !
1. Nujuh Bulan 2. Perceraian 3.
Kelahiran 4. Kematian
Dari keempat tradisi diatas yang sering
dilakukan peringatan adalah .....
a. 1 2 3 c. 1 2 4
b. 2 3 4 d. 1 3 4
10.
Salah satu hari besar Islam yang telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia kemudian kehadirannya disambut dan
diperingati secara besar-besaran oleh masyarakat Indoensia adalah ....
a. Puasa Ramadlan c. Maulid Nabi
b. Hari Raya Idhul
Fitri d. Tahun Baru Hijriah
II Isilah
titik-titik di bawah ini dengan jawaban yang benar!
1. Kesenian wayang
mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari kerajaan ....
2.
Untuk menghilangkan kesan yang berbau Hindu dan kesan
pemujaan kepada arca dan roh, para ulama berusaha dengan menghilangkan wujud
gambar ....
3.
Ketika memainkan wayang Sunan Kalijaga menyisipkan
ajaran-ajaran Islam (religius), pendidikan, dan ....
4.
Sekaten mulai diperkenalkan Raden Patah di Demak pada
abad ....
5.
Lagu-lagu kasidah biasanya dibawakan dengan irama ....
dan ....
6.
Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya,
maka setelah salat Idul Fitri kerato mengadakan pertemuan antara .... dengan
.... secara serentak di balai istana
7.
Dalam adat melayu, ketika bayi berusia tiga bulan
diadakan upacara yang disebut ....
8.
Masyarakat Minang mempunyai adat kebiasaan dalam rangka
mengantarkan anak laki-lakinya menuju masa kedewasaan yaitu ....
9.
Khitan dilaksanakan di halaman rumah. Anak yang akan
dikhitan, kedua kakinya diangkat oleh seorang lelaki dewasa adalah adat ....
10. Dalam adat Bugis
tarian yang dimainkan oleh sekelompok laki-laki disebut ....
III Jawablah pertanyaan berikut ini dengan tepat dan benar
!
1. Mengapa agama Islam mudah dan cepat
diterima oleh masyarakat Indonesia?
2.
Apa yang dimaksud dengan
Tradisi Islam Nusantara?
3.
Jelaskan dengan bahasa kamu
sendiri bagaiman proses terjadinya akulturasi antara Islam dengan budaya lokal!
4.
Sebutkan corak dan
karakterisitik masyarakat Islam Indonesia!
5.
Apakah tujuan dilakukan
“pembaharuan dalam Islam”? Menurut kamu perlukah pembaharuan itu?
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abdul Hamid Hasan, “Ternate dari abad ke abad”, Ternate
1987
2.
Asnawi, Muh, 2006, Sejarah Kebudayaan Islam untuk
Kelas 3 Madrasah Aliyah, Aneka Ilmu, Semarang
3.
Az Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, Toha Putra, Semarang, 1993
4.
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa
Tengah-Cermin, 2006, “Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual”, Jakarta,
Kompas
5.
Budi Sudrajat, Muhammad Sholeh, 2007,Sejarah Kebudayaan
Islam”, Jakarta, Yudhistira
6.
Darsono, T. Ibahim, 2008, Tonggak Sejarah Kebudayaan
Islam, Solo, Tiga Serangkai
7.
LOMBARD, 2006,
Denys. Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakan Populer Gramedia, ISBN 979-9100-49-6
ulasan di
ruangbaca.com ulasan di
pdat.co.id
8.
M. Adnan Amal, "Maluku Utara, Perjalanan Sejarah
1250-1800 Jilid I dan II", Universitas Khairun Ternate 2002.
9.
Prof. R.H.A. Soenaryo, SH,dkk, Al Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama, Jakarta, 1992
10. Prof E.K.W
Masinambow, “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa – bahasa Austronesia dan Non
Austronesia”, dalam TERNATE BANDAR JALUR SUTERA, LinTas 2001
11. REID, Anthony, 2005, Asal Usul Konflik
Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad
ke-19. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia,
ISBN 979-461-534-X
13. SKI Fakultas Adab
UIN Yogyakarta, 2006, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Penerbit PUSTAKA
14. Willard A. Hanna
& Des Alwi, "Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak",
Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996
15. http://k1r0m.multiply.com/journal/item/1,
(diakses 12 November 2009, jam 08.00)
16. http://www.dakwatuna.com,
(diakses 12 November 2009, jam 10.00)
17. http://www.swaramuslim.net/galery/islam-indonesia/index.php?page=sabili-1a-risalah_islam_indonesia
(diakses 12 November 2009, jam 10.00)
20. http://ulamanusantara.blogspot.com/2008/05/abdul-rauf-singkel.html (diakses 12 November 2009, jam 10.00)
21. http://ristu-hasriandi.blogspot.com/2009/08/abdul-rauf-singkel.html (diakses 12 November 2009, jam 10.00)
22. http://epondok.wordpress.com/2009/10/15/islam-dan-budaya-alam-melayu/ (diakses 12 November 2009, jam 10.00)
23. http://www.republika.co.id/berita/69382/Syekh_Muhammad_Arsyad_al_Banjari_Ulama_Besar_dari_Kalimantan_Selatan
(diakses 12 November
2009, jam 10.00)
24. http://www.indospiritual.com/artikel_walisongo---tokoh-penyebar-agama-islam-nusantara.html (diakses 12 November 2009, jam 10.00)


