Pengembangan Bahan Ajar SKI Majenang Kelas 9








Pengembangan Bahan Ajar
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
Madrasah Tsanawiyah Kelas 9


 

























Disusun oleh :
Sarifudin, S.Pd.I, M.Pd.
198210112007101001

MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI MAJENANG
TAHUN PELAJARAN 2017/2018




 
 







Kata Pengantar


Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat, taufik, serta hidayah-Nya saya berhasil menyelesaikan penyusunan Pengembangan Bahan Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Kelas VIII Semester 1 untuk Madrasah Tsanawiyah.
Buku Bahan Pembelajaran yang sedang anda baca ini dirancang dengan mengetengahkan standar kompetensi, kompetensi dasar, langkah-langkah pembelajaran, model pembelajaran, pendekatan pembelajaran, dan uji kompetensi. Hal ini dimaksudkan agar buku ini dapat menuntun dan mendorong peserta didik untuk mau belajar`.
Saya menyadari bahwa Pengembangan Bahan Pembelajaran ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritikan yang membangun demi kesempurnaannya sangat kami harapkan.
Akhirnya kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri Majenang yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk mengampu mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam ini. Demikian pula kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para fasilitator yang telah memberikan pencerahan sehingga pengembangan bahan ajar SKI Kelas IX ini berhasil diselesaikan. Semoga buku ini bermanfaat.


Majenang,  Juli 2017
             Penyusun



            Sarifudin, S.Pd.I, M.Pd.
            198210112007101001





Daftar isi



halaman
1
Kata pengantar .......................................................................................................
2
2
Daftar isi ................................................................................................................
3
3
Pelajaran ke-1
Sejarah Masuknya Islam di Nusantara melalui Perdagangan, Sosial, dan Pengajaran
  1. Islam Masuk ke Indonesia
  2. Proses Islamisasi di Indonesia
4
4
Pelajaran ke-2
Sejarah Beberapa Kerajaan Islam di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi
  1. Kerajaan Islam di Sumatera
  2. Kerajaan Islam di Jawa
  3. Kerajaan Islam di Sulawesi dan Maluku
15
5
Pelajaran ke-3
Beberapa Tokoh dan Perannya dalam Perkembangan Islam di Indonesia
  1. Abdul Rauf Singkel
  2. Walisongo
  3. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
38
6
Pelajaran ke-4
Meneladani Semangat Para Tokoh yang Berperan dalam Perkembangan Islam di Indonesia
  1. Teladan dari Sikap Intelektual dan Semangat Keislaman Wali Songo
  2. Teladan dari Sikap Intelektual dan Semangat Keislaman Para Ulama Awal
61
7
Pelajaran ke-5
Menceritakan seni budaya lokal sebagai bagian dari tradisi Islam

8
Pelajaran ke-6
Memberikan apresiasi terhadap tradisi dan upacara adat kesukuan Nusantara

9
Penutup ..................................................................................................................
67
10
Daftar Pustaka .......................................................................................................
68






Pelajaran I
SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI NUSANTARA MELALUI PERDAGANGAN, SOSIAL, DAN PENGAJARAN.














Peta Asia

·         Kompetensi Dasar :
Menceritakan sejarah masuknya Islam di Nusantara melalui perdagangan, sosial, dan pengajaran
Tanbih
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ 
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. an-Nahl/16:125)
Iftitah
Sebelum Islam datang, bangsa kita sudah memiliki kepercayaan yaitu animisme/ dinamisme dan dalam perkembangan selanjutnya bangsa kita memeluk agama Hindu dan Budha.
Menurut M. Hariwijaya dalam Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, pada tahun 30 H/651 M, Khalifah Usman bin Affan mengirim delegasi ke Cina. delegasi tersebut bertugas memerkenalkan agama Islam. Waktu itu hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW. dalam perjalanan laut yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Usman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 Masehi, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai Barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan agama Islam. Sejak saat itu, para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah. lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk agama Islam, meskipun belum secara besar-besaran.
Meski demikian, masih saja terjadi perdebatan mengenai kapan Islam masuk ke Indonesia dan siapa pembawanya. Marilah kita simak beberapa teori yang menjelaskannya, yaitu terori Gujarat, teori Makah, dan teori Persia.
A.    Islam Masuk ke Indonesia
Proses masuknya Islam ke Indonesia petama kali ialah melalui lapisan bawah, yakni masyarakat sepanjang pesisir. Dalam hal ini yang membawa dan memperkenalkan Islam kepada masyarakat Indonesia adalah para pedagang-pedagang muslim baik dari Arab maupun dari Gujarat dengan cara berdagang. Dari hubungan berdagang inilah akhirnya mereka saling mengenal dan terjadilah hubungan yang inten dan dinamis di antara mereka. Mereka tidak semata-mata berdagang saja tetapi juga berdakwah menyebarkan Islam.
Mengenai kapan Islam mulai masuk ke Indonesia para ahli sejarah berbeda pendapat. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makah, dan teori Persia.
Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalahan kapan masuknya Islam ke Indonesia, asal negara, dan tentang penyebar atau pembawanya ke Indonesia. Untuk mengetahui lebih lanjut, marilah kita simak uraian materi berikut ini.
1.      Teori Gujarat
Teori ini mengemukakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M dan pembawanya berasal dari bangsa Gujarat (Cambay), India. Teori ini berdasar pada:
a.       Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam di Indonesia
b.      Hubungan dagang antara Indonesia dengan India sudah lama terjalin melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c.       Adanya batu nisan Sultan Malik al-Saleh (sultan Samudera Pasai) yang bertuliskan tahun 1297 bercorak khas Gujarat
Teori Gujarat didukung oleh Snouck Horgronje, W.F. Stutterheim, dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli sejarah pendukung teori ini lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudera Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak (Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk agama Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan Islam.
2.      Teori Makkah
Teori Makkah merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan/penolakan terhadap teori Gujarat.
Teori Makkah mengemukakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 M dan pembawanya berasal dari bangsa Arab (Mesir). Teori ini berdasar pada:
a.       Pada abad ke-7 (tahun 674) di pantai Barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Arab (Islam); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina dari Hikayat Dinasti T'ang, yang antara lain menceritakan tentang orang-orang Ta.Shih (sebutan untuk orang Arab) yang mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan Ho Ling yang diperintah oleh Ratu Sima (674 M).
b.      Kerajaan Samudera Pasai menganut Mazhab Syafi’i, di mana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Makkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut Mazhab Hanafi.
c.       Raja-raja Samudera Pasai menggunakan gelar al-Malik, gelar ini berasal dari Mesir.
Teori Makkah didukung oleh Hamka, Van Leur, dan T.W. Arnold. Pendukung teori ini menyatakan bahwa abad ke-13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya Islam ke Indonesia terjadi sebelumnya yaitu abad ke-7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab.
3.      Teori Persia
Teori Persia berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 dan pembawanya adalah bangsa Persia (sekarang bernama Iran)
Teori Persia berdasar pada banyaknya kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Indonesia, seperti:
a.       Peringatan 10 Muharam atau hari Asyura, yaitu peringatan meninggalnya Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad SAW) yang sangat dijunjung oleh kaum Syi’ah/Islam Iran. Di Sumatera Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di Pulau Jawa ditandai dengan bubur Syuro.
b.      Kesamaan ajaran sufi yang dianut Syeikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu al-Hallaj.
c.       Penggunan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi harakat (jabar jer = fathah, dlommah, kasroh).
d.      Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) tahun 1419 di Gresik
e.       Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husein dan P.A. Hussein Jayadiningrat
B.     Proses Islamisasi di Indonesia












Gambar 2.1. Illustrasi Proses Islamisasi
Proses masuknya Islam ke Indonesia pada umumnya dengan jalan damai. Akan tetapi adakalanya penyebaran Islam harus diwarnai dengan cara-cara penaklukan. Hal itu terjadi jika situasi dan kondisi, khususnya di bidang politik, di kerajaan-kerajaan sedang mengalami kekacauan akibat perebutan kekuasaan.
Faktor pendorong agama Islam mudah diterima oleh masyarakat dan cepat berkembang adalah:
1.      Syarat masuk Islam sangat mudah. Seorang dianggap telah masuk Islam bila telah mengucapkan dua kalimat syahadat.
2.      Pelaksanaan ibadah dalam Islam sederhana dan biayanya murah.
3.      Agama Islam tidak mengenal kasta sehingga banyak orang dan kelompok masyarakat menganut Islam, agar memperoleh persamaan derajat. 
4.      Aturan-aturan dalam agama Islam fleksibel dan tidak memaksa.
5.      Agama Islam yang masuk melalui jalur Gujarat India mendapat pengaruh Hindu dan Budha sehingga mudah untuk dipahami dan dimengerti
6.      Penyebaran agama di Indonesia diadakan secara damai tanpa adanya kekerasan dan disesuaikan dengan kondisi sosial budaya
7.      Runtuhnya kerajaan Majapahit pada akhir abad ke 15 M
Secara umum agama Islam masuk ke Indonesia melalui jalur-jalur perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, politik, dan kesenian
1.      Agama Islam Masuk Melalui Perdagangan
Pada taraf permulaan, saluran islamisasi adalah melalui perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M membuat pedagang-pedagang muslim (Arab, Persia, dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian Barat, Tenggara dan Timur Benua Asia. Saluran islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham.
Pada masa itu pedagang muslim yang datang ke Indonesia semakin banyak sehingga akhirnya membentuk pemukiman yang disebut pekojan (perkampungan Arab). Dari tempat ini mereka berinteraksi (berhubungan) dan berasimilasi (berbaur) dengan masyarakat asli sambil menyebarkan agama Islam.
2.      Agama Islam Masuk Melalui Perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial yang lebih tinggi dan lebih baik daripada kebanyakan masyarakat pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan tertarik untuk menjadi istri-istri saudagar-saudagar tersebut. Sebelum menikah mereka diislamkan lebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka semakin meluas dan akhirnya memunculkan kampung-kampung, daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan muslim.
Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan dan lebih mempercepat dalam penyebaran agama Islam. Karena jika terjadi perkawinan antara anak bangsawan atau anak raja, atau anak adipati, karena mereka adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakat, maka keislaman mereka akan diikuti oleh masyarakat/ pengikutnya sehingga turut mempercepat proses islamisasi.
Beberapa contoh pernikahan yang dilakukan ulama anatara lain
a.       Maulana Ishak menikah dengan putri Prabu Blambangan yang melahirkan anak Sunan giri.
b.      Syarif Abdullah yang menikah dengan putri Prabu Siliwangi melahirka Sunan Gunung Jati.
3.      Agama Islam Masuk Melalui Tasawuf
Tasawuf adalah ajaran (cara dan sebagainya) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya. Orang yang ahli di bidang ilmu tasawuf disebut sufi.
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan ilmu tasawuf yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis (yang berhubungan dengan hal-hal gaib) dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada yang mengawini puteri-puteri bangsawan setempat. Dengan tasawuf bentuk Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru tersebut mudah dimengerti dan diterima. Ajaran mistik ini masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.
4.      Agama Islam Masuk Melalui Pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang digunakan dan diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiyai-kiyai, dan ulama. Seperti Sunan Ampel yang mendirikan pondok pesantren Ampel Denta, pesantren Glagah Wangi Demak yang didirikan Raden Fatah, demikian pula dengan Sunan Giri dan Sunan Bonang. Di pesantren atau pondok itu calon ulama, guru, dan kiyai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing atau berdakwah ke tempat tertentu untuk mengajarkan agama Islam.
 
 
5.      Agama Islam Masuk Melalui Kesenian
Saluran islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang.  Sunan Kalijaga adalah tokoh paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan tetapi ia meminta para penonton untuk mengikuti mengucapkan kalimat syahadatain. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam, pendidikan, dan unsur-unsur flsafat (mencari kebenaran).
 
              Gb. 2.4. Menara Masjid al-Aqsha Kudus
Misalnya, cerita yang berjudul Jamus Kalimasada, Wahyu Tohjali, Wahyu Purboningrat, dan Babat Alas Wonomarto. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan media islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan, dan seni ukir
6.      Agama Islam Masuk Melalui Politik
Di beberapa daerah di Indonesia kebanyakan rakyat masuk Islam setelah penguasa atau rajanya masuk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik para raja dan penguasa tersebut sangat membantu tersebarnya Islam di Nusantara ini. Di samping itu kerajaan-kerajaan yang sudah memeluk agama Islam terkadang menaklukkan kerajaan-kerajaan non Islam yang sedang mengalami konflik internal (akan dibahas pada pembelajaran ke-2). Kemenangan kerajaan Islam secara politis menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam
Rangkuman
Sebelum Islam masuk ke Indonesia masyarakatnya sudah memiliki kepercayaan animisme/dinamisme kemudian dalam perkembangan selanjutnya masyarakat memeluk agama Hindu dan Budha
Masuknya Islam ke Indonesia terdapat bermacam-macam pendapat, tetapi para ahli sepakat dengan dua kesimpulan, pertama bahwa Islam masuk ke Indonesia terjadi pada abad ke-1 Hijriyah yang bertepatan dengan abad ke-7 Masehi langsung dari Mekah ke Indonesia. Kedua, agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M melalui Gujarat, India. Masing-masing pendapat didukung oleh fakta-fakta sejarah yang ada.
Terdapat tiga teori tentang proses masuknya Islam ke Indonesia, pertama teori Gujarat yang menyatakan bahwa asal negara pembawa Islam ke Indonesia adalah Gujarat; kedua adalah teori Mekah sebagai koreksi terhadap teori Gujarat yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekah; ketiga adalah teori Persia yang mendasarkan penemuannya atas persamaan budaya.
Proses penyebaran Islam di Indonesia dilakukan secara damai dan kekeluargaan melalui saluran perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Pengaruh Islam terhadap peradaban bangsa Indonesia berupa pengaruh bahasa dan nama, adat istiadat, dan kesenian.
Kamus Istilah
1.      Animisme : kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami sekalian benda (pohon, batu, sungai, gunung, dsb
2.      Dinamisme : kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup
3.      Teori : pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi
4.      Perkampungan : kelompok rumah yang merupakan kampung
5.      Politik : segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain
6.      Konflik : perselisihan
Uji Kompetensi
Tes afektif
Berilah tanda ()  pada kolom S (setuju) atau TS ( tidak setuju ) pada pernyataan di bawah ini!
No
Pernyataan
S
TS
1
Karena belajar mengaji itu penting. Ahmad memaksa adiknya turut mengaji meskipun adiknya sedang asyik menonton TV


2
Islam adalah agama yang diridhai Allah maka setiap manusia harus memeluk agama Islam


3
Fatimah merasa malu ketika teman-temannya mencemooh gara-gara ia memakai jilbab


4
Santoso yang sedang tertimpa musibah, Sebagai tetangga, Ali harus tetap  memberi pertolongan meski Santoso berbeda keyakinan dengan dirinya


5
Kita tidak perlu berteman akrab dengan Ahmad, karena Ahmad menjalan-kan tarawih 21 rekaat


6
Tradisi yang berkembang di masyarakat tidak perlu kita lestarikan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam


7
Tontonan wayang sudah tidak layak dikembangkan karena sudah ketinggalan zaman


8
Untuk mengenang jasa dan mengungkapan rasa terima kasih kepada para ulama kita berziarah ke makamnya


9
Anton seorang muslim keturunan Cina. Bagaimanapun ia harus tetap merayakan Imlek karena sudah tradisi leluhurnya


10
Negara Indonesia memiliki beragam budaya dan tradisi. Sebagai warga negara yang baik budaya dan tradisi Indonesia harus dikembangkan termasuk budaya dan tradisi yang bukan berasal dari Islam


Tugas Mandiri
Ceritakan secara singkat proses masuknya agama Islam melalui perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, politik, dan kesenian!
Test Pengetahuan
 I.      Berilah tanda silang pada huruf a, b, c, atau d di depan jawaban yang tepat
1.      Agama Islam masuk ke Indonesia mula-mula melalui jalur:
a.       Perdagangan                                 c.  Pendidikan
b.      Perkawinan                                   d.  Tasawuf
2.      Sebagian besar para ahli sejarah menyepakati bahwa kedatangan Islam di Indonesia pada abad:
a.       ke-7 M                                           c.  ke-13 M
b.      ke-11 M                                         d.  ke 15 M
3.      Salah satu bukti agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M adalah banyaknya pedagang muslim yang ke negeri Cina singgah di Pulau Sumatera sebagaimana dikemukakan oleh:
a.       Harry W. Hazard                          c.  T.W. Arnold
b.      Snouck Hurgronje                         d.  Prof. S. Muhammmad Huseyn Nainar
4.      Gejolak politik internal di beberapa kerajaan menjadi alasan penyebaran agama Islam dilakukan dengan cara:
a.       Perkawinan                                   c.  Perdagangan
b.      Politik                                            d.  Kesenian
5.      Proses pengembangan Islam melalui jalur perkawinan dilakukan oleh:
a.       Maulana Ishak                               c.  Sunan Kudus
b.      Sunan Gunung Jati                        d.  Sunan Muria
6.      Pondok pesantren Glagah Wangi didirikan oleh:
a.       Sunan Ampel                                c.  Raden Fatah
b.      Sunan Kalijaga                              d.  Sunan Bonang
7.      Latar belakang kepercayaan bangsa Indonesia yang animisme dan dinamisme memudahkan agama Islam dikembangkan melalui jalur:
a.       Perdagangan                                 c.  Pendidikan
b.      Perkawinan                                   d.  Tasawuf
8.      Sunan Kalijaga dalam mengembangkan Islam di Jawa menggunakan jalur kesenian, yaitu
a.       Jatilan                                            c.  Ludruk
b.      Wayang                                         d.  Ketoprak
9.      Berikut ini yang bukan termasuk muatan-muatan positip dalam kesenian wayang adalah ...
a.       Unsur ajaran agama                       c.  Unsur filsafat
b.      Unsur pendidikan                         d.  Unsur ekonomi
10.  Di beberapa daerah di Indonesia kebanyakan rakyat masuk Islam setelah penguasa atau rajanya masuk Islam terlebih dahulu. Hal ini termasuk pengembangan Islam melalui jalur:
a.       Pendidikan                                    c.  Politik
b.      Kesenian                                       d.  Tasawuf
II.      Isilah dengan jawaban yang tepat
1.      Teori yang menyatakan Islam datang dari Gujarat dikemukakan oleh ....
2.      Teori yang mendasarkan pada kesamaan budaya antara persia dengan Indonesia disebut ....
3.      Agama Islam datang langsung dari Arab bukan dari Gujarat India, adalah inti dari teori ....
4.      Sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7 M, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di ....
5.      Di beberapa daerah di Indonesia kebanyakan rakyat masuk Islam setelah ... masuk Islam terlebih dahulu.
6.      Awal pengembangan Islam di Indonesia lebih cepat dilakukan melalui jalur ....
7.      Perkampungan muslim yang terbentuk oleh para pedagang Islam disebut ....
8.      Raden Fatah yang merupakan keturunan raja-raja ... adalah pendiri kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yaitu kerajaan Demak
9.      daerah yang mula-mula disinggahi pedagang Arab adalah ....
10.  Selain wayang, kesenian yang dijadikan alat islamisasi yaitu ....
III.      Jawablah dengan singkat dan tepat!
1.      Mengapa agama Islam mudah diterima dan berkembang di Indonesia?
2.      Sebutkan bukti-bukti agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M!
3.      Jelaskan dasar-dasar teori Persia!
4.      Jelaskan teori Makah dalam proses masuknya Islam ke Indonesia
5.      Mengapa ulama mengembangkan Islam menggunakan jalur kesenian?




Pelajaran II
SEJARAH BEBERAPA KERAJAAN ISLAM DI JAWA,
SUMATERA, DAN SULAWESI

Gambar 3.1 Nisan Sultan Muhammad Malik Al-Zahir Atau Malikuzzahir

·         Kompetensi Dasar :
Menceritakan sejarah beberapa kerajaan Islam di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi

Tanbih
(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ Ÿwur (#qè%§xÿs? 4 (#rãä.øŒ$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ øŒÎ) ÷LäêZä. [ä!#yôãr& y#©9r'sù tû÷üt/ öNä3Î/qè=è% Läêóst7ô¹r'sù ÿ¾ÏmÏFuK÷èÏZÎ/ $ZRºuq÷zÎ) ÷LäêZä.ur 4n?tã $xÿx© ;otøÿãm z`ÏiB Í$¨Z9$# Nä.xs)Rr'sù $pk÷]ÏiB 3 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt6ムª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrßtGöksE
Artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (QS. Ali Imran/ 3:103)
Iftitah
Munculnya perkampungan-perkampungan muslim menjadi cikal bakal terbentuknya beberapa kerajaan Islam. Namun demikian beberapa kerajaan non-Islam juga berubah menjadi kerajaan Islam setelah sang raja/penguasanya masuk Islam.
Beberapa kerajaan Islam muncul di beberapa daerah, seperti di Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Maluku. Dapatkah kalian menyebutkan nama-nama kerajaan Islam tersebut?
A.    Kerajaan Islam di Sumatera

            1.      Kesultanan Perlak

Aceh daerah paling barat di kepulauan Nusantara adalah yang pertama kali menerima ajaran agama Islam. bahkan di Acehlah kesultanan atau kerajaan islam pertama di Indonesia berdiri, yakni kesultanan Perlak (Memang ada perbedaan pendapat, di versi lain menyebutkan kerajaan Islam yang pertama adalah Samudra Pasai).
Pendiri kesultanan Perlak adalah sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Shah yang menganut aliran atau Mahzab Syiah. Ia merupakan keturunan pendakwah arab dengan perempuan setempat. Kerajaan Perlak didirikannya pada tanggal 1 Muharram 225 H/840 M, saat kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu di Jawa masih berjaya. sebagai gebrakan mula-mula, sultan Alaiddin mengubah nama ibu kota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Banda Khalifah.
Berita dari Marcopolo menyebutkan, pada saat persinggahannya di Pasai pada tahun 692 H/1292 M, telah banyak ulama Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Batutah, Pengembara Muslim dari Maghribi (sekarang Maroko). Ketika Singgah di Aceh pada tahun 746 H/1345 M, Ibnu Batutah menuliskan bahwa di Perlak dan Pasai telah tersebar Mazhab Syafi’i.
Tahun 956 M/362 H, setelah meninggalnya Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan berdaulat atau sultan ketujuh, terjadi lagi ketegangan selama kurang lebih empat tahun antara golongan Syiah dan Sunni,yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian; yaitu Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Sayid Maulana Syah (986 – 988) dan Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan berdaulat (986 – 1023). Pada tahun 988, Kerajaan Sriwijaya Menyerang Perlak. Sultan Alaiddin Maulana Syah meninggal karena serangan itu. Namun demikian, sebagai akibatnya, seluruh perlak justru bersatu kembali di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Berdaulat. Sultan Makhdum melanjutkan perjuangan melawan kerajaan Budha Sri Wijaya hingga tahun 1006.
Penggabungan dengan Samudera Pasai
Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan berdaulat (memerintah 1230-1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:
a.       Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara).
b.      Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.
Meski telah menjalankan politik damai dengan mengikat persaudaraan, ketegangan politik itu rupanya tetap saja mengancam kedaulatan kesultanan Perlak. Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan (1267-1292). Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan Sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik al-Zahir, putra al Malik al-Saleh.

            2.      Kesultanan Samudera Pasai

Gambar 2.1. Lokasi Kerajaan Samudera Pasai
Lahirnya Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam diperkirakan dimulai dari awal atau pertengahan abad ke-13, sebagai hasil proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi ulama-ulama muslim sejak abad ke-7. Fakta tentang berdirinya kerajaan Islam Samudra Pasai pada abad ke-13 ini didukung oleh data-data sejarah yang nyata. Yang terpenting diantaranya adalah batu nisan yang memuat nama sultan Malik al-Saleh, rajanya yang pertama, berangka tahun 696 H/1297 M. Di Jawa, pada saat itu sedang berdiri Kerajaan Majapahit yang sangat berpengaruh (1293 – 1478 M). Data ini dikuatkan oleh kitab Hikayat Raja-raja Pasai. Hikayat ini menyebutkan bahwa raja pertama dan sultan pendiri kerajaan Samudra Pasai adalah Malik al-Shaleh. Adapun namanya sebelum menjadi raja adalah Marah Sile atau Marah Selu. Ia masuk Islam atas bimbingan Syeikh Ismail, seorang ulama utusan Syarif Makah yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik al-Shaleh.
Kerajaan Samudra Pasai adalah sebuah kerajaan maritim. Sumber-sumber Cina menyatakan bahwa pada awal tahun 1290, kerajaan itu telah mengirim kepada raja Cina duta-duta yang disebut dengan nama-nama muslim, yakni Husein dan Sulaiman. Dalam kehidupan perekonomiannya, Samudra Pasai pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak mempunyai basis agrarian, melainkan perniagaan dan pelayaran.
Pengawasan terhadap perniagaan dan pelayaran merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan yang besar dari pajak. Hal itu dibenarkan oleh Tome Pires, wartawan portugis. Ia melaporkan, di pasai pada tahun 1513, setiap kapal yang membawa barang-barang dari barat dikenakan pajak. Ia juga menceritakan bahwa pasai memiliki mata uang drama atau dirham yang berukuran kecil. Adanya mata uang tersebut membuktikan bahwa pada saat itu Samudra Pasai merupakan kerajaan yang makmur.
Pada tahun 746 H atau 1345 Masehi, Ibnu Batuttah, pengembara asal Maroko, mengunjungi Samudra Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ia menggambarkan bahwa penduduk kota di sana berjumlah sekitar 20 ribu jiwa. Di kesultanan tersebut terdapat istana yang ramai, dengan ratusan ilmuwan dan ulama yang menghidupkan aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan. Pada masa itu, sultan yang berkuasa adalah Ahmad Malik al-Zahir (1326 – 1371). Ia mewarisi kekuasaan dari Sultan Muhammad Malik al-Zahir (1297 – 1326).
Berdasarkan berita Ubnu Batuttah, juga diketahui bahwa kerajaan Samudra Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan juga tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam. Para ulama tersebut berkumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus. Ibnu Batuttah menyatakan bahwa Islam sudah hampir satu abad lamanya disiarkan di sana, sedangkan kaum muslim di sana mengikuti Mazhab Syafi’i.
Nasib kesultanan Samudera Pasai akhirnya hanya berlangsung hingga tahun 1524. pada tahun 1521, kerajaan tersebut ditaklukkan oleh bangsa Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun. Setelah itu, pada tahun 1524 dan seterusnya, Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Mughayat Syah merebut kerajaan ini dan mengusir orang-orang portugis. Samudera pasai kemudian berada di bawah pengaruh kesultanan Islam Aceh yang berpusat di Banda Aceh Darussalam.

            3.      Kesultanan Aceh

Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai yang pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit hingga kemundurannya di abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara Pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496-1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme (penjajahan) bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.
Di awal-awal masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Deli, Pedir, Pasai, dan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.
Walaupun masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat, hanya sampai tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam, yaitu: (1) mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar; (2) menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara; (3) bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat; (4) menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar; (5) menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara. Sepeninggal Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh penggantinya
Masa Kejayaan
Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari Selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa, dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan Semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Melaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan Kesultanan Pahang.
Dalam lapangan pembinaan kesusastraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al- Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin ar-Raniry dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
Masa Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di Pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Deli dan Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan.
Traktat (perjanjian) London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra, sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.
Pada akhir Nopember 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan”. Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh ke pangkuan kolonial Hindia-Belanda. Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh menyatakan bersedia bergabung ke dalam Republik Indonesia atas ajakan dan bujukan dari Soekarno (pesiden pertama) kepada pemimpin Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh saat itu.
Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, J.B. Van Heutsz dinyatakan sebagai Gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendricus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.

Gelar-Gelar yang Digunakan dalam Kerajaan Aceh

a.       Teungku
b.      Tuanku
c.       Pocut
d.      Teuku
e.       Laksamana
f.       Uleebalang
g.      Cut
h.      Panglima Sagoe
i.        Meurah
B.     Kerajaan Islam di Jawa
  1. Kesultanan Demak
Gambar 4.1 Masjid Agung Demak
(Sumber Wikipedia)
Demak pada masa sebelumnya sebagai suatu daerah yang dikenal dengan nama Bintoro atau Gelagahwangi yang merupakan daerah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit. Kadipaten Demak tersebut dikuasai oleh Raden Patah salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) yaitu raja Majapahit.
Dengan berkembangnya Islam di Demak, maka Demak dapat berkembang sebagai kota dagang dan pusat penyebaran Islam di pulau Jawa. Hal ini dijadikan kesempatan bagi Demak untuk melepaskan diri dengan melakukan penyerangan terhadap Majapahit.
Setelah Majapahit hancur maka Demak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa dengan rajanya yaitu Raden Patah. Kerajaan Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di daerah Bintoro di muara sungai Demak, yang dikelilingi oleh daerah rawa yang luas di perairan Laut Muria. (sekarang Laut Muria sudah merupakan dataran rendah yang dialiri sungai Lusi).
Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak terletak antara Bergota dan Jepara, di mana Bergota adalah pelabuhan yang penting pada masa berlangsungnya kerajaan Mataram (Wangsa Syailendra), sedangkan Jepara akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi kerajaan Demak.
Gambar 4.2 Peta Wilayah Demak
 
Kehidupan Politik
Lokasi kerajaan Demak yang strategis untuk perdagangan nasional, karena menghubungkan perdagangan antara Indonesia bagian Barat dengan Indonesia bagian Timur, serta keadaan Majapahit yang sudah hancur, maka Demak berkembang sebagai kerajaan besar di pulau Jawa, dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah. Ia bergelar Sultan Alam Akbar al-Fatah (1500 – 1518).
Pada masa pemerintahannya Demak memiliki peranan yang penting dalam rangka penyebaran agama Islam khususnya di pulau Jawa, karena Demak berhasil menggantikan peranan Malaka, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis 1511.
Kehadiran Portugis di Malaka merupakan ancaman bagi Demak di pulau Jawa. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka pada tahun 1513 Demak melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka, yang dipimpin oleh Adipati Unus atau terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.
Serangan Demak terhadap Portugis walaupun mengalami kegagalan namun Demak tetap berusaha membendung masuknya Portugis ke pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Adipati Unus (1518 – 1521), Demak melakukan blokade pengiriman beras ke Malaka sehingga Portugis kekurangan makanan.
Puncak kebesaran Demak terjadi pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546), karena pada masa pemerintahannya Demak memiliki daerah kekuasaan yang luas dari Jawa Barat sampai Jawa Timur.
Kekuasaan tersebut berhasil dikembangkan antara lain karena Sultan Trenggono melakukan penyerangan terhadap daerah-daerah kerajaan-kerajaan Hindu yang mengadakan hubungan dengan Portugis seperti Sunda Kelapa (Pajajaran) dan Blambangan.
Penyerangan terhadap Sunda Kelapa yang dikuasai oleh Pajajaran disebabkan karena adanya perjanjian antara raja Pakuan penguasa Pajajaran dengan Portugis yang diperkuat dengan pembuatan tugu peringatan yang disebut Padrao. Isi dari Padrao tersebut adalah Portugis diperbolehkan mendirikan Benteng di Sunda Kelapa dan Portugis juga akan mendapatkan rempah-rempah dari Pajajaran.
Sebelum Benteng tersebut dibangun oleh Portugis, tahun 1526 Demak mengirimkan pasukannya menyerang Sunda Kelapa, di bawah pimpinan Fatahillah. Dengan penyerangan tersebut maka tentara Portugis dapat dipukul mundur di Teluk Jakarta.
Kemenangan Fatahillah merebut Sunda Kelapa tepat tanggal 22 Juni 1527 diperingati dengan pergantian nama menjadi Jayakarta yang berarti Kemenangan Abadi.
Sedangkan penyerangan terhadap Blambangan dilakukan pada tahun 1546, di mana pasukan Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggono yang dibantu oleh Fatahillah, tetapi sebelum Blambangan berhasil direbut Sultan Trenggono meninggal di Pasuruan.
Dengan meninggalnya Sultan Trenggono, maka terjadilah perebutan kekuasaan antara Pangeran Sekar Sedolepen (saudara Trenggono) dengan Sunan Prawoto (putra Trenggono) dan Arya Penangsang (putra Sekar Sedolepen).
Perang saudara tersebut diakhiri oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang dibantu oleh Ki Ageng Pemanahan, sehingga pada tahun 1568 Pangeran Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan Demak ke Pajang. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Demak dan hal ini juga berarti bergesernya pusat pemerintahan dari pesisir ke pedalaman.
Masa Kejayaan dan Kemunduran
Puncak kebesaran Demak terjadi pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546), karena pada masa pemerintahannya Demak memiliki daerah kekuasaan yang luas setelah menaklukkan kerajaan Pajajaran di Jawa Barat dan kerajaan Blambangan di  Jawa Timur.
Kematian Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama Pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk Pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari Pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang.
Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul pemberontakan dan kekacauan yang datangnya dari kadipaten-kadipaten. Apalagi ketika Adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari adipati Jepara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya melakukan pemberontakan dalam bentuk gerakan melawan Arya Panangsang. Salah satu dari adipati yang memberontak itu bernama Hadiwijaya berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebo Kenongo sekaligus menantu Trenggono yang masih ada hubungan darah dengan sang raja.
Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak.
Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Demak lebih berdasarkan pada agama dan budaya Islam karena pada dasarnya Demak adalah pusat penyebaran Islam. Sebagai pusat penyebaran Islam Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Bonang.
Para wali tersebut memiliki peranan yang penting pada masa perkembangan kerajaan Demak bahkan para wali tersebut menjadi penasehat bagi raja Demak. Dengan demikian terjalin hubungan yang erat antara raja/bangsawan – para wali/ulama dengan rakyat.
Hubungan yang erat tersebut, tercipta melalui pembinaan masyarakat baik pembinaan agama maupun pembinaan sosial yang diselenggarakan di Masjid maupun Pondok Pesantren. Sehingga tercipta kebersamaan atau Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan di antara orang-orang Islam).
Demikian pula dalam bidang budaya banyak hal yang menarik yang merupakan peninggalan dari kerajaan Demak. Salah satunya adalah Masjid Demak, di mana salah satu tiang utamanya terbuat dari pecahan-pecahan kayu yang disebut Soko Tatal.
Masjid Demak dibangun atas pimpinan Sunan Kalijaga. Di serambi depan Masjid (pendopo) itulah Sunan Kalijaga menciptakan dasar-dasar perayaan Sekaten (Maulud Nabi Muhammad saw) yang sampai sekarang masih berlangsung di Yogyakarta dan Cirebon
2.      Kesultanan Pajang
Kesultanan Pajang, adalah kerajaan penerus Kesultanan Demak yang didirikan oleh Joko Tingkir yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya (1568-1582). Pajang sebelumnya merupakan daerah kadipaten di bawah Kesultanan Demak. Situs keraton Pajang, diperkirakan berada di Kelurahan Pajang, Kota Surakarta.
Joko Tingkir adalah anak Ki Ageng Pengging, yang menurut beberapa babad dihukum mati oleh Sunan Kudus karena mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah ayahnya wafat, Joko Tingkir kemudian dibesarkan oleh pamannya Ki Ageng Tingkir. Setelah dewasa, ia diperintahkan pamannya untuk pergi ke ibukota Kesultanan Demak dan mengabdi ke Sultan yang ketika itu berkuasa, yaitu Sultan Trenggono.
Dikisahkan bahwa pada saat ia datang ke Demak, sedang diadakan sayembara untuk menaklukkan banteng ketaton (banteng mengamuk). Joko Tingkir yang mengikuti sayembara tersebut dapat melumpuhkan banteng tersebut dengan satu kali pukulan saja. Karena kesaktiannya, Joko Tingkir diterima mengabdi dan akhirnya bahkan menjadi menantu Sultan Trenggono.
Setelah Sultan Trenggono wafat, anaknya Sunan Prawoto diangkat menjadi penggantinya. Akan tetapi ia kemudian meninggal terbunuh dalam intrik perebutan kekuasaan dengan keponakannya sendiri yaitu Arya Penangsang, adipati Jipang yang juga adalah murid Sunan Kudus. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa Demak, dan selanjutnya terjadilah perlawanan terhadap Arya Penangsang yang dipimpin oleh kadipaten Pajang. Waktu itu, Joko Tingkir telah menjadi adipati Pajang.
Awal berdirinya Kerajaan Pajang
Dengan bantuan dari kadipaten-kadipaten lainnya yang juga tidak menyukai Arya Penangsang, Joko Tingkir akhirnya berhasil membinasakan Arya Penangsang. Joko Tingkir kemudian memindahkan istana Demak ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kesultanan Pajang. Joko Tingkir sebagai raja bergelar Sultan Hadiwijaya (1568-1582), kedudukannya disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Salah seorang anak Sunan Prawoto yaitu Arya Pangiri, diangkatnya menjadi adipati Demak. Sedangkan seseorang yang paling berjasa membantunya yaitu Ki Ageng Pemanahan (putra dari Ki Ageng Ngenis, dan cucu Ki Ageng Selo), diberinya imbalan daerah Mataram (sekitar Kota Gede, Yogyakarta) pada tahun 1558 untuk ditinggali.
Akhir Kerajaan Pajang
Pemberian tanah di daerah Mataram oleh Joko Tingkir kepada Ki Ageng Pemanahan, seakan menjadi bumerang karena Mataram akan menghabisi kekuatan Pajang. Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian juga dikenal dengan panggilan Ki Gede Mataram, dalam waktu singkat mampu membuat Mataram beserta rakyatnya maju. Namun sebelum dapat ikut menikmati hasil, di tahun 1575 Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia.
Usahanya kemudian dilanjutkan oleh anaknya yaitu Sutawijaya, yang merupakan ahli peperangan dan nantinya lebih dikenal dengan nama Senapati ing Alaga (panglima perang) atau Panembahan Senopati.
Tujuh tahun kemudian (1582) Joko Tingkir meninggal, dan Pangeran Benowo anak laki-laki tertuanya yang seharusnya menggantikannya, ternyata disingkirkan Arya Pangiri dan akhirnya hanya dijadikan adipati di Jipang. Pada tahun 1587, Sutawijaya (putra Ki Ageng Pemanahan), penguasa Mataram, menyatakan tidak loyal lagi pada Pajang.
Arya Pangiri diserang oleh Sutawijaya yang dibantu Pangeran Benowo. Ia merebut Pajang dan Arya Pangiri berhasil dikalahkan. Sutawijaya lalu memindahkan Karaton Pajang ke Mataram dan ia menjadi raja bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). Pajang kemudian menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Sutawijaya.
3.      Kerajaan Mataram (Islam)
Pada awal perkembangannya kerajaan Mataram adalah daerah kadipaten yang dikuasai oleh Ki Gede Pamanahan. Daerah tersebut diberikan oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yaitu raja Pajang kepada Ki Gede Pamanahan atas jasanya membantu mengatasi perang saudara di Demak yang menjadi latar belakang munculnya kerajaan Pajang.
Ki Gede Pamanahan memiliki putra bernama Sutawijaya yang juga mengabdi kepada raja Pajang sebagai komando pasukan pengawal raja. Setelah Ki Gede Pamanahan meninggal tahun 1575, maka Sutawijaya menggantikannya sebagai adipati di Kota Gede tersebut.
Setelah pemerintahan Hadiwijaya di Pajang berakhir, maka kembali terjadi perang saudara antara Pangeran Benowo putra Hadiwijaya dengan Arya Pangiri, Bupati Demak yang merupakan keturunan dari Raden Trenggono.
Akibat dari perang saudara tersebut, maka banyak daerah yang dikuasai Pajang melepaskan diri, sehingga hal inilah yang mendorong Pangeran Benowo meminta bantuan kepada Sutawijaya.
Atas bantuan Sutawijaya tersebut, maka perang saudara dapat diatasi dan karena ketidakmampuannya maka secara sukarela Pangeran Benowo menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya. Dengan demikian berakhirlah kerajaan Pajang dan sebagai kelanjutannya muncullah kerajaan Mataram.
Lokasi kerajaan Mataram tersebut di Jawa Tengah bagian Selatan dengan pusatnya di kota Gede yaitu di sekitar kota Yogyakarta sekarang.
Kehidupan Politik
Pendiri kerajaan Mataram adalah Sutawijaya. Ia bergelar Panembahan Senopati, memerintah tahun (1586 – 1601). Pada awal pemerintahannya ia berusaha menundukkan daerah-daerah seperti Ponorogo, Madiun, Pasuruan, dan Cirebon serta Galuh.
Sebelum usahanya untuk memperluas dan memperkuat kerajaan Mataram, Sutawijaya digantikan oleh putranya yaitu Mas Jolang yang bergelar Sultan Hanyakrawati tahun 1601 -1613.
Sebagai raja Mataram ia juga berusaha meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Panembahan Senopati untuk memperoleh kekuasaan Mataram dengan menundukkan daerah-daerah yang melepaskan diri dari Mataram. Akan tetapi sebelum usahanya selesai, Mas Jolang meninggal tahun 1613 dan dikenal dengan sebutan Panembahan Sedo Krapyak.
Untuk selanjutnya yang menjadi raja Mataram adalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman, yang memerintah tahun 1613-1645.
Sultan Agung merupakan raja terbesar. Pada masa pemerintahannya Mataram mencapai puncaknya, karena ia seorang raja yang gagah berani, cakap dan bijaksana.
Pada masa pemerintahannya, kota kerajaan Mataram mula-mula di Kerta, kemudian dipindahkan ke Plered. Sebagai raja Mataram ia bercita-cita mempersatukan seluruh pulau Jawa di bawah kekuasaan Mataram.
Pada tahun 1625 hampir seluruh pulau Jawa dikuasainya kecuali Batavia dan Banten. Daerah-daerah tersebut dipersatukan oleh Mataram antara lain melalui ikatan perkawinan antara adipati-adipati dengan putri-putri Mataram, bahkan Sultan Agung sendiri menikah dengan putri Cirebon sehingga daerah Cirebon juga mengakui kekuasaan Mataram.
Di samping mempersatukan berbagai daerah di pulau Jawa, Sultan Agung juga berusaha mengusir VOC Belanda dari Batavia. Untuk itu Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 akan tetapi serangan tersebut mengalami kegagalan.
Penyebab kegagalan serangan terhadap VOC antara lain karena jarak tempuh dari pusat Mataram ke Batavia terlalu jauh kira-kira membutuhkan waktu 1 bulan untuk berjalan kaki, sehingga bantuan tentara sulit diharapkan dalam waktu singkat. Dan daerah-daerah yang dipersiapkan untuk mendukung pasukan sebagai lumbung padi yaitu Kerawang dan Bekasi dibakar oleh VOC, sebagai akibatnya pasukan Mataram kekurangan bahan makanan.
Dampak pembakaran lumbung padi maka tersebar wabah penyakit yang menjangkiti pasukan Mataram, sedangkan pengobatan belum sempurna. Hal inilah yang banyak menimbulkan korban dari pasukan Mataram. Di samping itu juga sistem persenjataan Belanda lebih unggul dibanding pasukan Mataram.
Walaupun penyerangan terhadap Batavia mengalami kegagalan, namun Sultan Agung tetap berusaha memperkuat penjagaan terhadap daerah-daerah yang berbatasan dengan Batavia, sehingga pada masa pemerintahannya VOC sulit menembus masuk ke pusat pemerintahan Mataram.
Setelah wafatnya Sultan Agung tahun 1645, Mataram tidak memiliki raja-raja yang cakap dan berani seperti Sultan Agung, bahkan putranya sendiri yaitu Amangkurat I dan cucunya Amangkurat II merupakan raja-raja yang lemah.
Kelemahan raja-raja Mataram setelah Sultan Agung dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram juga VOC. Akhirnya VOC berhasil juga menembus ke ibukota dengan cara mengadu-domba sehingga kerajaan Mataram berhasil dikendalikan VOC.
Bukti berhasilnya VOC dengan politik devide et impera, kerajaan Mataram terbelah dua melalui perjanjian Gianti tahun 1755. Sehingga Mataram yang luas hampir meliputi seluruh pulau Jawa akhirnya terpecah belah menjadi 2 wilayah kerajaan yaitu:
a.       Kesultanan Yogyakarta, dengan Mangkubumi sebagai raja yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
b.      Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono III.
Belanda ternyata belum puas memecah belah kerajaan Mataram. Akhirnya melalui politik adu-domba kembali tahun 1757 diadakan perjanjian Salatiga. Mataram terbagi 4 wilayah yaitu sebagian Surakarta diberikan kepada Mangkunegaran selaku Adipati tahun 1757, kemudian sebagian Yogyakarta juga diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati tahun 1813.
Kehidupan Ekonomi
Letak kerajaan Mataram di pedalaman, maka Mataram berkembang sebagai kerajaan agraris yang menekankan dan mengandalkan bidang pertanian. Sekalipun demikian kegiatan perdagangan tetap diusahakan dan dipertahankan, karena Mataram juga menguasai daerah-daerah pesisir yang mata pencahariannya pelayaran dan perdagangan.
Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan yang luas terutama di Jawa Tengah, yang daerahnya juga subur dengan hasil utamanya adalah beras, di samping kayu, gula, kapas, kelapa dan palawija.
Sedangkan dalam bidang perdagangan, beras merupakan komoditi utama, bahkan menjadi barang ekspor karena pada abad 17 Mataram menjadi pengekspor beras paling besar pada saat itu.
Dengan demikian kehidupan ekonomi Mataram berkembang pesat karena didukung oleh hasil bumi Mataram yang besar.
Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, maka masyarakat Mataram disusun berdasarkan sistem feodalisme. Dengan sistem tersebut maka raja adalah pemilik tanah kerajaan beserta isinya. Untuk melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh seperangkat pegawai dan keluarga istana, yang mendapatkan upah atau gaji berupa tanah lungguh atau tanah garapan.
Tanah lungguh tersebut dikelola oleh kepala desa (bekel) dan yang menggarapnya atau mengerjakannya adalah rakyat atau petani penggarap dengan membayar pajak/sewa tanah.
Dengan adanya sistem feodalisme tersebut, menyebabkan lahirnya tuan-tuan tanah di Jawa yang sangat berkuasa terhadap tanah-tanah yang dikuasainya.
Sultan memiliki kedudukan yang tinggi juga dikenal sebagai panatagama yaitu pengatur kehidupan keagamaan.
Sedangkan dalam bidang kebudayaan, seni ukir, lukis, hias dan patung serta seni sastra berkembang pesat. Hal ini terlihat dari kreasi para seniman dalam pembuatan gapura, ukiran-ukiran di istana maupun tempat ibadah. Contohnya gapura Candi Bentar di makam Sunan Tembayat (Klaten) diperkirakan dibuat pada masa Sultan Agung.
Karya Kesusasteraan mengenai riwayat pecahnya kerajaan Mataram dalam tahun 1755 dan 1757 yang berubah menjadi Kasultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, ada pada riwayat/Babad Giyanti karangan Yasadipura, yang betul betul sebuah sejarah dan sangat menarik dan menceritakan tentang pecahnya Mataram.
Sejak tahun 1945, kerajaan di Surakarta dan di Yogyakarta, mengakui dan melebur menjadi satu dengan Republik Indonesia, sehingga keraton-keraton tersebut disepakati hanya sebagai semacam institusi kekerabatan keluarga besar Karaton masing-masing, disamping ditetapkan oleh pemerintah sebagai cagar budaya. Kemudian di tahun 2000 ini pimpinan dari Karaton Surakarta adalah Sunan Pakubuwono XII, pura Mangkunegaran adalah K.G.P.A.A. Mangkunagoro IX, Karaton Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwono X dan pura Pakualaman adalah K.G.P.A.A. Paku Alam IX, dengan segala warisan budayanya yang sangat diharapkan tak akan pernah punah.
4.      Kerajaan Cirebon
Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di Daerah Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia diperkirakan lahir tahun 1448 M dan wafat pada tahun 1568 M dalam usia 120 tahun. karena kedudukannya sebagai Walisongo, ia mendapat penghormatan dari raja-raja di Jawa seperti seperti Demak dan Pajang. Setelah Cirebon resmi berdiri, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan Pajajaran yang masih belum menganut ajaran Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan ajaran Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Galuh, Sunda Kelapa dan Banten. Pada tahun 1525 M ia kembali ke Cirebon dan Banten diserahkan kepada anaknya yang bernama Sultan Hasanudin. Sultan inilah yang menurunkan raja-raja Banten.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh cicitnya yang bergelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat tahun 1650M dan digantikan oleh putranya yang bernama Panembahan Girilaya. Sepeninggalnya, kesultanan Cirebon diperintah oleh dua orang putranya, yaitu Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau Panembahan Anom. Panembahan sepuh memimpin kesultanan Kasepuhan yang bergelar Syamsudin, sedangkan panembahan Anon memimpin Kesultanan Kanoman yang bergelar Badruddin
5.      Kerajaan Banten
Kerajaan Banten merupakan kerajaan Islam yang terletak di Ujung Barat Jawa Barat, pendirinya adalah Sunan Gunung Jati setelah berhasil merebut kota pelabuhan dari tangan Bupati Sunda yang menjadi penguasa kota itu dengan bantuan laskar dari Demak. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1525 M.
Setelah kerajaan itu cukup kokoh, lebih-lebih setelah dapat menguasai Sunda Kelapa, pada tahun 1522 Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon dan wafat disana, dan diangkatlah putranya, Hasanudin sebagai raja. Ia kawin dengan putri demak dan mendapat dua orang anak laki-laki. Yang sulung, Maulana Yusuf, dicalonkan untuk menjadi gantinya nanti. Adiknya, Pangeran Aryo diasuh oleh bibi dari pihak ibunya Ratu Kalinyamat di Jepara yang tidak berputra (mungkin karena suaminya, Pangeran Hadirin terbunuh oleh Arya Penangsang). Setelah bibinya meninggal, ia menjadi adipati di Jepara dan terkenal dengan nama Pangeran Jepara.
Sultan Hasanudin wafat pada tahun yang sama dengan ayahnya, 1570 M setelah sempat memisahkan diri dari Demak. Dalam cerita Banten, ia terkenal dengan nama Anumerna Pangeran Saba Kingking sesuai dengan tempat ia dimakamkan yang tidak jauh dari Banten. Sebagai gantinya ia Maulana Yusuf Panembahan Pangkalan Gede, memerintah antara tahun 1570-1580. selama masa pemerintahannya, ia mendirikan Masjid Agung Banten, membuat perbentengan yang kuat, memperluas perkampungan dan pesawahan, serta mengusahakan irigasi dan bendungan-bendungan. Pada tahun 1579 M, ia berhasil menaklukan Raja Pakuan, benteng terakhir Hindu Jawa Barat. Menurut sejarah Banten, penyerbuan ke Pakuan ini mengikutsertakan para penguasa dan alim ulama. Raja dan keluarganya menghilang, sedangkan golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Sesudah selesai menaklukan Pakuan, Sultan Maulana Yusuf mendirikan ibukota baru, Banten Sura Sowan (Sura Saji).
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abdul Fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung.
C.    Kerajaan Islam di Sulawesi dan Maluku

            1.      Kerajaan Gowa Tallo

Di Sulawesi Selatan pada abad 16 terdapat beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng. Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing. Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Nama Makasar sebenarnya adalah ibukota dari kerajaan Gowa dan sekarang masih digunakan sebagai nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan.
Secara geografis daerah Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada di jalur pelayaran (perdagangan Nusantara). Bahkan daerah Makasar menjadi pusat persinggahan para pedagang baik yang berasal dari Indonesia Timur maupun yang berasal dari Indonesia Barat.
Dengan posisi strategis tersebut maka kerajaan Makasar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.
Kehidupan Politik
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Rebandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam.
Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Matoaya (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah Makasar tahun 1593-1639 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) sebagai Mangkubumi bergelar Sultan Abdullah.
Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Malekul Said (1639-1653).
Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat
Dengan adanya daerah kekuasaan Makasar yang luas tersebut, maka seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar.
Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur.
Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar meminta bantuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a.       VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b.      Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
c.       Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d.      Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.
Kehidupan Ekonomi
Seperti yang telah Anda ketahui bahwa kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor seperti letak yang strategis, memiliki pelabuhan yang baik serta didukung oleh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.
Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.
Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.
Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.
Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.
Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.
Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.

            2.      Kesultanan Ternate - Tidore

Kerajaan Ternate dan Tidore terletak di kepulauan Maluku. Maluku adalah kepualuan yang terletak di antara Pulau Sulawesi dan Pulau Irian. Jumlah pulaunya ratusan dan merupakan pulau yang bergunung-gunung serta keadaan tanahnya subur.
Keadaan Maluku yang subur dan diliputi oleh hutan rimba, maka daerah Maluku terkenal sebagai penghasil rempah seperti cengkeh dan pala.
Cengkeh dan pala merupakan komoditi perdagangan rempah-rempah yang terkenal pada masa itu, sehingga pada abad 12 ketika permintaan akan rempah-rempah sangat meningkat, maka masyarakat Maluku mulai mengusahakan perkebunan dan tidak hanya mengandalkan dari hasil hutan.
Perkebunan cengkeh banyak terdapat di Pulau Buru, Seram dan Ambon. Dalam rangka mendapatkan rempah-rempah tersebut, banyak pedagang-pedagang yang datang ke Kepulauan Maluku. Salah satunya adalah pedagang Islam dari Jawa Timur.Dengan demikian melalui jalan dagang tersebut agama Islam masuk ke Maluku, khususnya di daerah-daerah perdagangan seperti Hitu di Ambon, Ternate dan Tidore.
Selain melalui perdagangan, penyebaran Islam di Maluku dilakukan oleh para Mubaligh (Penceramah) dari Jawa, salah satunya Mubaligh terkenal yaitu Maulana Hussain dari Jawa Timur yang sangat aktif menyebarkan Islam di maluku sehingga pada abad 15 Islam sudah berkembang pesat di Maluku.
Dengan berkembangnya ajaran Islam di Kepulauan Maluku, maka rakyat Maluku baik dari kalangan atas atau rakyat umum memeluk agama Islam, sebagai contohnya Raja Ternate yaitu Sultan Marhum, bahkan putra mahkotanya yaitu Sultan Zaenal Abidin pernah mempelajari Islam di Pesantren Sunan Giri, Gresik, Jawa Timur sekitar abad 15. Dengan demikian di Maluku banyak berkembang kerajaan-kerajaan Islam.
Dari sekian banyak kerajaan Islam di Maluku, kerajaan Ternate dan Tidore merupakan dua kerajaan Islam yang cukup menonjol peranannya, bahkan saling bersaing untuk memperebutkan hegemoni (pengaruh) politik dan ekonomi di kawasan tersebut.
Kehidupan Politik
Kepulauan Maluku terkenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Rempah-rempah tersebut menjadi komoditi utama dalam dunia pelayaran dan perdagangan pada abad 15-17. Demi kepentingan penguasaan perdagangan rempah-rempah tersebut, maka mendorong terbentuknya persekutuan daerah-daerah di Maluku Utara yang disebut dengan Ulilima dan Ulisiwa.
Ulilima berarti persekutuan lima bersaudara yang dipimpin oleh Ternate yang terdiri dari Ternate, Obi, Bacan, Seram dan Ambon. Sedangkan Ulisiwa adalah persekutuan sembilan bersaudara yang terdiri dari Tidore, Makayan, Jailolo dan pulau-pulau yang terletak di kepulauan Halmahera sampai Irian Barat.
Antara persekutuan Ulilima dan Ulisiwa tersebut terjadi persaingan. Persaingan tersebut semakin nyata setelah datangnya bangsa Barat ke Kepulauan Maluku.
Bangsa barat yang pertama kali datang adalah Portugis yang akhirnya bersekutu dengan Ternate tahun 1512. Karena persekutuan tersebut maka Portugis diperbolehkan mendirikan benteng di Ternate.
Bangsa Barat selanjutnya yang datang ke Maluku adalah bangsa Spanyol, sedangkan Spanyol sendiri bermusuhan dengan Portugis. Karena itu kehadiran Spanyol di Maluku, maka ia bersekutu dengwn Tidore.
Akibat persekutuan tersebut maka persaingan antara Ternate dengan Tidore semakin tajam, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan antara keduanya yang melibatkan Spanyol dan Portugis. Dalam peperangan tersebut Tidore dapat dikalahkan oleh Ternate yang dibantu oleh Portugis.
Keterlibatan Spanyol dan Portugis pada perang antara Ternate dan Tidore, pada dasarnya bermula dari persaingan untuk mencari pusat rempah-rempah dunia sejak awal penjelajahan samudra, sehingga sebagai akibatnya Paus turun tangan untuk membantu menyelesaikan pertikaian tersebut.
Usaha yang dilakukan Paus untuk menyelesaikan pertikaian antara Spanyol dan Portugis adalah dengan mengeluarkan dekrit yang berjudul Inter caetera Devinae, yang berarti Keputusan Illahi. Dekrit tersebut ditandatangani pertama kali tahun 1494 di Thordessilas atau lebih dikenal dengan Perjanjian Thordessilas. Dan selanjutnya setelah adanya persoalan di Maluku maka kembali Paus mengeluarkan dekrit yang kedua yang ditandatangani oleh Portugis dan Spanyol di Saragosa tahun 1528 atau disebut dengan Perjanjian Saragosa.
Perjanjian Thordessilas merupakan suatu dekrit yang menetapkan pada peta sebuah garis perbatasan dunia yang disebut Garis Thordessilas yang membentang dari Kutub Utara ke Kutub Selatan melalui Kepulauan Verdi di sebelah Barat benua Afrika. Wilayah di sebelah Barat Garis Thordessilas ditetapkan sebagai wilayah Spanyol dan di sebelah Timur sebagai wilayah Portugis.
Sedangkan Perjanjian Saragosa juga menetapkan sebuah garis baru sebagai garis batas antara kekuasaan Spanyol dengan kekuasaan Portugis yang disebut dengan Garis Saragosa. Di mana garis tersebut membagi dunia menjadi 2 bagian yaitu Utara dan Selatan. Bagian Utara garis Saragosa merupakan kekuasaan Spanyol dan bagian Selatannya adalah wilayah kekuasaan Portugis.
Dengan adanya perjanjian Saragosa tersebut, maka sebagai hasilnya Portugis tetap berkuasa di Maluku sedangkan Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan perhatiannya di Philipina.
Sebagai akibat dari perjanjian Saragosa, maka Portugis semakin leluasa dan menunjukkan keserakahannya untuk menguasai dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Tindakan sewenang-wenang Portugis menimbulkan kebencian di kalangan rakyat Ternate, bahkan bersama-sama rakyat Tidore dan rakyat di pulau-pulau lainnya bersatu untuk melawan Portugis.
Perlawanan terhadap Portugis pertama kali dipimpin oleh Sultan Hairun dari Ternate, sehingga perang berkobar dan benteng pertahanan Portugis dapat dikepung.
Dalam keadaan terjepit tersebut, Portugis menawarkan perundingan. Akan tetapi perundingan tersebut merupakan siasat Portugis untuk membunuh Sultan Hairun tahun 1570.
Dengan kematian Sultan Hairun, maka rakyat Maluku semakin membenci Portugis, dan kembali melakukan penyerangan terhadap Portugis yang dipimpin oleh Sultan Baabullah pada tahun 1575. Perlawanan ini lebih hebat dari sebelumnya sehingga pasukan Sultan Baabullah dapat menguasai benteng Portugis.
Keberhasilan Sultan Baabullah merebut Benteng Sao Paolo mengakibatkan Portugis menyerah dan meninggalkan Maluku. Dengan demikian Sultan Baabullah dapat menguasai sepenuhnya Maluku dan pada masa pemerintahannya tahun 1570-1583 kerajaan Ternate mencapai kejayaannya karena daerah kekuasaannya meluas terbentang antara Sulawesi sampai Irian dan Mindanau sampai Bima, sehingga Sultan Baabullah mendapat julukan ‘Tuan dari 72 Pulau’.
Kehidupan Ekonomi
Secara geografi kerajaan Ternate dan Tidore berkembang sebagai kerajaan Maritim. Dan hal ini juga didukung oleh keadaan kepulauan Maluku yang memiliki arti penting sebagai penghasil utama komoditi perdagangan rempah-rempah yang sangat terkenal pada masa itu.
Dengan andalan rempah-rempah tersebut maka banyak para pedagang baik dari dalam maupun luar Nusantara yang datang langsung untuk membeli rempah-rempah tersebut, kemudian diperdagangkan di tempat lain.
Dengan kondisi tersebut, maka perdagangan di Maluku semakin ramai dan hal ini tentunya mendatangkan kemakmuran bagi rakyat Maluku. Tetapi setelah adanya monopoli perdagangan oleh Portugis maka perdagangan menjadi tidak lancar dan menimbulkan kesengsaraan rakyat di Maluku.
Kehidupan Sosial Budaya
Dengan berkembangnya Islam di Maluku maka banyak rakyat Maluku yang memeluk agama Islam terutama penduduk yang tinggal di tepi pantai, sedangkan di daerah pedalaman masih banyak yang menganut Animisme dan Dinamisme.
Dengan kehadiran Portugis di Maluku, menyebabkan agama Katholik juga tersebar di Maluku. Dengan demikian rakyat Maluku memiliki keanekaragaman agama.
Perbedaan agama tersebut dimanfaatkan oleh Portugis untuk memancing pertentangan antara pemeluk agama. Dan apabila pertentangan sudah terjadi maka pertentangan tersebut diperuncing oleh campur tangan orang-orang Portugis.
Dalam bidang kebudayaan yang merupakan peninggalan kerajaan Ternate dan Tidore terlihat dari seni bangunan berupa bangunan Masjid dan Istana Raja dan lain-lain.
Rangkuman
Setelah Islam masuk ke Indonesia dan disebarkan melalui berbagai saluran islamisasi, maka muncullah perkampungan-perkampungan muslim di berbagai daerah. Perkumpulan  kampung-kampung muslim yang diorganisasi menurut aturan pemerintahan tertentu melahirkan kerajaan-kerajaan Islam antara lain kerajaan Perlak, Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Malaka untuk daerah Sumatera, Demak, Pajang, Mataram, Banten, dan Cirebon di Jawa,  Ternate, Tidore, Gowa, Talo, Bone, Wajo Sopeng, dan Luwu di Sulawesi
Semua kerajaan tersebut memiliki peranan besar dalam menyebarkan Islam di Indonesia. Di antara peranannya adalah:
1.      Sebagai pusat penyebaran agama Islam bagi daerah sekitarnya
2.      Sebagai pusat kajian atau studi ilmu keagamaan
3.      Sebagai tempat berkumpulnya para ulama dalam membahas persoalan-persoalan keagamaan dan keduniaan
4.      Sebagai kekuatan untuk membentengi masuknya kepercayaan nonIslam
Kamus Istilah
1.      Strategis : letaknya menguntungkan
2.      Hikayat : cerita kuno (roman klasik) yang berisi hal-hal yang bersifat khayal, sering dihiasi dengan peperangan yang hebat, dahsyat, serta kesaktian pelakunya, dsb
3.      Sunni : ahli sunnah, yaitu sebutan bagi seorang muslim yang selalu mengikuti aturan agama yg didasarkan atas al-Qur’an dan segala apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw, baik perbuatan, perkataan, sikap, maupun kebiasaan yg tidak pernah ditinggalkannya
4.      Mazhab : haluan atau ajaran mengenai hukum Islam yang menjadi ikutan umat Islam (ada empat jumlahnya, yaitu: mazhab Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafii)
5.      Maritim : berkenaan dengan laut; berhubungan dengan pelayanan dan perdagangan di laut;
6.      Agraris/ Agrarian : bersifat pertanian
7.      Dirham : mata uang emas atau perak di negara Arab (zaman dahulu)
8.      Diplomatik : berkenaan dengan hubungan politik antara negara dengan negara
9.      Feodalisme : sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada  golongan bangsawan; sistem sosial yang mengagungagungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengangung-agungkan prestasi kerja
10.  Komoditi : barang dagangan
Materi tes uji kompetensi
Tes afektif
Berilah tanda ()  pada kolom S (setuju) atau TS ( tidak setuju ) pada pernyataan di bawah ini!
No
Pernyataan
S
TS
1
Dedi menjadi Ketua OSIS karena ia anak kepala madrasah


2
Pengurus OSIS mengadakan penggalangan dana sosial untuk korban gempa bumi di Aceh


3
Sofian menolak ketika terpilih menjadi ketua kelas


4
Rosya selalu bertanya kepada siapapun ketika menemui kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas dari guru


5
Amir tidak pernah mendapat juara dalam lomba bulutangkis, tetapi dia tetap rajin berlatih


6
Pak Burhan tidak mau lagi berobat untuk menyembuhkan penyakit yang sudah lama dideritanya 


7
Indra tidak pernah ikut upacara tiap hari Senin


8
Sebagai seorang muslim, Ilham selalu mendahulukan kepentingan agama daripada kepentingan pribadi


9
Keluarga Pak Tono tetap pergi berlibur ke Ancol, meskipun tetangga di sebelah rumahnya meninggal


10
Remaja Masjid An Nur membuat aksi protes terhadap munculnya ajaran sesat



Tugas Mandiri
·         Ceritakan kembali tentang kerajaan Islam di Sumatra
·         Ceritakan kembali tentang kerajaan Islam di Jawa
·         Ceritakan kembali tentang kerajaan Islam di Sulawesi dan Maluku
Test Pengetahuan
A.     Pilihlah salah satu jawaban di bawah ini dengan cara memberi tanda silang (X) pada jawaban yang paling benar!
1.      Di bawah ini yang bukan merupakan faktor-faktor pendukung pertumbuhan kerajaan  Samudra Pasai sebagai kerajaajn Islam pertama di Indonesia adalah.....
a.       lokasi kerajaan Samudra Pasai yang strategis di daerah pesisir
b.      dibukanya pelabuhan pasai sehingga banyak dikunjungi oleh para pedagang Islam
c.       keramahan penduduk dan penguasa Samudra Pasai
d.      adanya hubungan keluarga dengan kerajaan islam di Timur Tengah
2.      Perkonomian kerajaan Malaka bertumpu pada sektor .....
a.       perdagangan dan pelayaran                      c.  Perkebunan rempah-rempah
b.      pertanian                                                   d.  Industri
3.      Wilayah kerajaan samudra pasai ditunjukkan dalam sebuah prasasti batu nisan yang ditemukan di .....
a.       Leran                                                         c.  Banda Aceh
b.      Sumatra Selatan                                       d.  Menyetujuh Pasai, Kedah
4.      Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada tahun .....
a.       1151 M                                                      c.  1511 M
b.      1251 M                                                     d.  1512 M
5.      Raja pertama dari kerajaan Demak adalah .....
a.       Raden Patah                                              c.  Pangeran Sabrang Lor
b.      Pati Unus                                                 d.  Sultan Trenggono
6.      Setelah wafatnya Amangkurat II, kerajaan Mataram pecah menjadi dua berdasarkan perjanjian Giyanti yaitu wilayah.....
a.       Yokyakarta dan Mangkunegaran              c.  Yogyakarta dan Surakarta
b.      Mangkunegaran dan Pakualaman             d.  Surakarta dan Pakualaman
7.      Kerajaan Banten mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan .....
a.       Maulana Hasanuddin                                c.  Abul Mufakkir
b.      Sultan Ageng Tirtayasa                             d.  Sultan Haji
8.      Berikut ini yang merupakan kerajaan Islam di Sulawesi adalah kerajaan.....
a.       Ternate                                                      c.  Tidore
b.      Gowa                                                       d.  Malaka
9.      Salah satu faktor yang mendorong sultan Hasanuddin menyerang armada VOC Belanda adalah  .....
a.       karena Belanda menguasai kerajaan Bone
b.      adanya persekutuan antara Belanda dengan kerajan Soppeng                
c.       karena Belanda melakukan monopoli dagang di Maluku sebagai pusat rempah-rempah
d.      karena Belanda menekan sultan hasanuddin untuk menyetujui perjanjian Bongaya
10.  Sultan Babullah mendapat julukan Tuan Dari Tujuh Puluh Dua Pulau karena .....
a.       keberhasilannya menjadikan Maluku sebagai Spice island
b.      keberhasilannya mengusir Portugis dari Ternate              
c.       keberhasilannya menghancurkan benteng  Sao Paolo
d.      keberhasilnnya dalam pemetintahan yang telah menguasai berbagai wilayah.
B.      Isilah titik-titik di bawah ini dengan jawaban yang tepat!
1.      Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan ....
2.      Pendiri sekaligus sebagai raja pertama kerajaan Malaka yaitu ....
3.      Bangsa Portugis datang ke Malaka pada tahun ....
4.      Kerajaan Aceh mencapai kejayaan pada masa pemerintahan raja ....
5.      Tengku adalah gelar dalam masyarakat Aceh yang diberikan kepada golongan ....
6.      Kondisi kerajaan Demak setelah pemerintahan sultan Trenggono terjadi ....
7.      Kerajaan Cirebon terletak di ....
8.      Kerajaan Mataram berdasarkan perjanjian Giyanti terbagi menjadi dua yaitu Kesultanan Yogyakarta dan ....
9.      Keberanian Sultan Hasanuddin untuk menentang Belanda menyebabkan beliau dijuluki ....
10.  Pada tahun 1512 M bangsa Portugis datang ke kerajaan Islam ....
C.      Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan tepat dan jelas!
1.      Sebutkan dua Dinasti yang berkuasa di kerajaan Samudra Pasai!
2.      Mengapa kebudayaan kerajaan Malaka sangat dipengaruhi oleh budaya melayu dan budaya Islam?
3.      Jelaskan faktor-faktor yang mempercepat perkembangan kerajaan Demak!
4.      Jelaskan proses masuk Islamnya raja-raja kerajaan Makassar!
5.      Sebutkan pembagian kerajaan Mataram setelah tahun 1813 M!

Pelajaran III
BEBERAPA TOKOH DAN PERANNYA DALAM
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA











(Diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang paling awal)

·         Kompetensi Dasar :
Mengidetifikasi Para Tokoh dan Perannya dalam Perkembangan Islam di Indonesia
Tanbih
العلماء ورثة الأنبياء (الحديث)
Artinya:
“Ulama adalah pewaris para Nabi” (al-Hadits)
Iftitah
Perkembangan Islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peranan para tokoh. Diantara para tokoh itu antara lain Abdur Rauf Singkel (di Sumatera), Walisongo (di Jawa), dan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (di Kalimantan).
Mengembangkan Islam di tengah-tengah penduduk Indonesia yang sebelumnya memiliki kepercayaan animisme/dinamisme yang sangat kuat tentu bukanlah hal yang ringan dan mudah. Mereka memperjuangkan Islam dengan gigih, dan kegigihan itu akhirnya membuahkan hasil sehingga Islam dapat diterima sebagai agama oleh mayoritas penduduk Indonesia. Perjuangan dan kegigihan para ulama tersebut perlu kita pahami dan diteladani.
A.    Abdur Rauf Singkel
1.      Biografi
Abdul Rauf ibn Ali al-Fansuri (1024 H/1615 M - 1105 H/1693 M) atau juga lebih dikenali sebagai Tok Sheikh di Kuala merupakan seorang penulis dan ulama yang mengajar di Aceh sekitar 1661 M. Abdul Rauf dilahirkan di Singkil, barat Aceh. Dengan itu dia juga dikenali sebagai Abdul Rauf Singkel.
Arah gagasan Abdur Rauf Singkel selalu praktis. Sebagai seorang mualim ia selalu menaruh perhatian besar pada murid-muridnya. Karya-karyanya selalu bertolak dari perhatiannya yang demikian itu, yaitu untuk membantu mereka memahami Islam dengan lebih baik lagi, menasehati mereka
 

               Abdur Rauf Singkel

supaya tidak tertimpa musibah, memperteguh kesalehan mereka, dan menghindarkan mereka dari tindakan salah dan tidak toleran.
Abdul Rauf Singkel, yang bernama panjang Syeikh Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili, lahir di Fansur, lalu dibesarkan di Singkil pada awal abad 17 M. Ayahnya adalah Syeikh Ali Fansuri, yang masih bersaudara dengan Syeikh Hamzah Fansuri. Tetapi ada yang memperkirakan bahwa Abdul Rauf lahir pada tahun 1615 M. Ini didasarkan perhitungan, ketika Abdul Rauf kembali dari Mekah, usianya antara 25 dan 30 tahun. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa perkiraan itu bisa meleset, karena Abdul Rauf berada di Mekah sekitar 19 tahun, dan kembali ke Aceh pada 1661. Bila dalam usia 30 tahun ia kembali dari Mekah, berarti ia dilahirkan pada 1630.
Selama sekitar 19 tahun menghimpun ilmu di Timur Tengah, Abdul Rauf tidak hanya belajar di Makah saja. Ia juga mempelajari ilmu keagamaan dan tasawuf di bawah bimbingan guru-guru yang termasyhur di Madinah. Di kota ini, ia belajar kepada khalifah (pengganti) dari tarekat Syattariyah, yaitu Ahmad Kusyasyi dan penggantinya, Mula Ibrahim Kurani. Dalam kata penutup salah satu karya tasawufnya, Abdul Rauf menyebutkan guru-gurunya. Data yang cukup lengkap tentang pendidikan dan tradisi pengajaran yang diwarisinya ini merupakan data pertama tentang pewarisan sufisme di kalangan para sufi Melayu. Ia juga menyebutkan beberapa kota Yaman (Zabit, Moha, Bait al-Fakih, dan lain-lain), Doha di Semenanjung Qatar, Madinah, Mekah, dan Lohor di India. Di samping itu, ia juga menyebutkan daftar 11 tarekat sufi yang diamalkannya, antara lain Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah, Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah.
Sepeninggal Ahmad Kusyasyi, Abdul Rauf memperoleh izin dari Mula Ibrahim Kurani untuk mendirikan sebuah sekolah di Aceh. Sejak 1661 hingga hampir 30 tahun berikutnya, Abdul Rauf mengajar di Aceh. Muridnya ramai sekali dan datang dari seluruh penjuru Nusantara. Dan, karena pandangan-pandangan keagamaannya sejalan dengan pandangan Sultan Taj al-‘Alam Safiatun Riayat Syah binti Iskandar Muda (1645-1675), Abdul Rauf kemudian diangkat menjadi Syeikh Jamiah al-Rahman dan mufti atau kadi dengan sebutan Malik al-Adil, menggantikan Syeh Saif al-Rijal yang wafat tidak lama setelah ia kembali ke Aceh. Selain itu, ia juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menolak berkuasanya seorang raja perempuan.
Walaupun disibukkan oleh tugas mengajar dan pemerintahan, Abdul Rauf masih sempat menulis berbagai karya intelektual dan juga karya sastra berbentuk syair,  banyak diantaranya yang masih tersimpan sampai sekarang.
Mulanya, ketika dititahkan oleh Sultanah untuk menulis Mir‘at al-Tullab pada 1672, ia tidak bersedia karena merasa kurang menguasai bahasa Melayu setelah lama bermukim di Haramain (Arab Saudi). Tetapi setelah mempertimbangkan masak-masak perlunya kitab semacam ini ditulis dalam bahasa Melayu, ia pun mengerjakannya, dengan dibantu oleh dua orang sabahat. Karyanya tidak kurang dari 36 kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Qur‘an dan hadis.
Pengaruh Abdul Rauf juga mencapai umat Islam di Jawa. Abdul Rauf pernah berkunjung ke Banten. Salah satu karya Abdul Rauf dikutip dalam sebuah risalah sufi yang terkenal di Jawa. Sementara itu, tarekat Syattariyah, yang juga banyak penganutnya di Jawa, membubuhkan nama Abdul Rauf dalam silsilah para sufi besar penganut tarekat tersebut. Sehingga, Abdul Rauf jelas dikenal oleh orang-orang Jawa yang menganutnya.
Barangkali yang paling diingat orang tentang Abdul Rauf adalah ketika ia menengahi silang pendapat antara Nuruddin al-Raniri dan Hamzah Fansuri tentang aliran Wujudiyyah. Pendekatan Abdul Rauf yang lebih sejuk dan damai terhadap aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri menyebabkan silang pendapat dapat berhenti.
Ketika wafat pada tahun 1693, Abdul Rauf dimakamkan di muara sebuah sungai di Aceh, di samping makam Teuku Anjong yang dikeramatkan oleh orang Aceh, sehingga ia dikenal juga sebagai Syeikh Kuala atau Tengku di Kuala.
2.      Pendidikan
Abdul Rauf mendapat pendidikan awal di India sebelum melanjutkan pengajiannya di Makah dengan Sheikh Abu Hafas Umar bin Abdullah Ba Shaiban. Beliau juga mendapat pendidikan di Madinah, Jeddah, Mokha, Zavid dan Betalfakih selama lebih 19 tahun. Selain daripada itu dia turut mendapatkan pendidikan di Aceh dan Palembang. Antara gurunya yang dikenal pasti tidak kurang daripada 15 orang, antaranya adalah Abdul Kadir Maurir di Mokha, Ahmad al-Qushashi di Madinah, dan Burhan al-Din Maula Ibrahim ibn Hassan al-Kurani.
3.      Karya
a.       Tasawuf
Karya Abdur Rauf Singkel di bidang tasawuf antara lain: Kifayat al-Muhtajin dan Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf)
Semua ajaran tasawuf Abdur Rauf Singkel didasarkan pada gagasan sentral Islam yang sama, yaitu tauhid, tetapi para sufi mempunyai beragam cara dalam menafsirkannya. Dasar pandangan Abdul Rauf tentang tauhid antara lain tertera dalam kitab Tanbih al-Masyi. Ia mengajarkan agar murid-muridnya senantiasa mengesakan al-Haq (Yang Maha Benar) dan menyucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak baginya, yaitu dengan mengucap la ilaha Illa Allah. Kalimat ini mengandung empat tingkatan tauhid. Pertama, penegasan penghilangan sifat dan perbuatan pada diri yang tidak layak disandang Allah. Tiga tingkatan tauhid berikutnya adalah uluhiya, yaitu mengesakan ketuhanan Allah, sifat, yaitu mengesakan sifat-sifat Allah, dan zat, mengesakan Zat Tuhan.
Menurut Abdul Rauf, “Salah satu bukti keesaan Allah SWT adalah tidak rusaknya alam. Allah berfirman, ‘Sekiranya di langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak dan binasa‘.” Berangkat dari pengetahuan inilah kemudian ia membicarakan hubungan ontologis atau kewujudan antara Pencipta dan ciptaan-ciptaan-Nya, antara Yang Satu dan “yang banyak”, antara al-wujud dan al-maujudat. Alam adalah wujud yang terikat pada sifat-sifat mumkinat atau serba mungkin. Oleh karena itu alam disebut sebagai sesuatu selain al-Haq.
b.      Syariat
Abdul Rauf Singkel juga menulis kitab dalam bidang syariat. Yang terpenting adalah Mirat al-Turab fi Tashil Ma‘rifah al-Ahkam al-Syar‘iyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara‘ dari Tuhan, bahasa Melayu). Kitab ini merupakan kitab Melayu terlengkap yang membicarakan syariat. Sejak terbit, kitab ini menjadi rujukan para kadi atau hakim di wilayah Kesultanan Aceh. Dalam kitabnya ini, Abdul Rauf tidak membicarakan fikih ibadat, melainkan tiga cabang ilmu hukum Islam dari mazhab Syafii, yaitu hukum mengenai perdagangan dan undang-undang sipil atau kewarganegaraan, hukum perkawinan, dan hukum tentang jinayat atau kejahatan.
Bidang pertama termasuk fikih muamalah dan mencakup urusan jual beli, hukum riba, kemitraan dalam berdagang, perdagangan buah-buahan, sayuran, utang-piutang, hak milik atau harta anak kecil, sewa menyewa, wakaf, hukum barang hilang, dan lain-lain. Bidang yang berkaitan dengan perkawinan mencakup soal nikah, wali, upacara perkawinan, hukum talak, rujuk, fasah, nafkah, dan lain-lain. Sedangkan jinayat mencakup hukuman pemberontakan, perampokan, pencurian, perbuatan zinah, hukum membunuh, dan lain-lain.
c.       Tafsir
Dalam bidang tafsir, Abdul Rauf menghasilkan karya berjudul Tarjuman al-Mustafid. Pada hakikatnya, karya ini merupakan terjemahan Melayu dari kitab tafsir yang lain, yaitu tafsir al-Jalalain. Karya ini diselesaikan oleh muridnya, Daud Rumi, dan beberapa pengarang belakangan lainnya, dengan mengambil agak banyak bagian dari tafsir al-Baidawi dan al-Kazin. Walaupun kitab ini tergolong sebagai tafsir, tetapi ada yang menganggapnya sebagai terjemahan lengkap Al-Qur‘an dalam bahasa Melayu yang pertama, yang seperti lazimnya berbentuk sebagai tafsir yang rinci.
d.      Sastra
Penerus tradisi penulisan “syair religius-mistik” adalah Abdul Rauf Singkel. Syair-syairnya menegaskan tentang Sifat Kekekalan (Kadim) Tuhan di satu pihak, dan sifat kemakhlukan (muhadas) manusia di pihak lain, yang menyebabkan adanya perbedaan mutlak di antara keduanya. Jadi, karya sastra Abdul Rauf yang berupa syair ini masih memiliki hubungan yang sangat erat dengan keyakinan tasawufnya.
Dalam sebuah naskah yang disalin di Bukit Tinggi pada 1859, diberitakan bahwa Abdul Rauf-lah yang telah mengarang Syair Makrifat. Dalam syair ini, dibahas tentang empat komponen agama Islam, yaitu iman, Islam, tauhid, dan makrifat, dan tentang makrifat sebagai pengenalan sufi yang memahkotai keempat komponen itu. Syair ini juga menegaskan bahwa hanya orang yang paham akan makna semuanya yang layak disebut sebagai orang yang telah menganut agama yang sempurna.
B.     Wali Songo
1.      Kedatangan Islam ke Jawa
Di Gresik (daerah Leran) ditemukan batu nisan bertahun 1082 M berhuruf Arab yang menceritakan bahwa telah meninggal seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang beragama Islam. Lalu disekitar tahun 1350 saat memuncaknya kebesaran Majapahit, di pelabuhan Tuban dan Gresik banyak kedatangan para pedagang Islam dari India dan dari kerajaan Samudra Pasai (Aceh Utara) yang juga awalnya merupakan bagian dari Majapahit, disamping para pedagang Majapahit yang berdagang ke Samudra Pasai. Juga menurut cerita, ada seorang putri Islam berjuluk Putri Cempa dan Putri Cina yang menjadi isteri salah satu raja Majapahit.
Sangat toleransinya Majapahit terhadap Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad 16 M saat kerajaan Demak.
2.      Walisongo
Walisongo dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya- Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Era Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Dalam sejarah masuknya Islam  ke Nusantara, Walisongo adalah perintis dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dipelopori Syeikh Maulana Malik Ibrahim. Walisongo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam yang berhasil merekrut murid-murid untuk menjalankan dakwah Islam ke seluruh Nusantara sejak abad 15.
Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau waliya yang berarti qaraba yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian. Dalam al-Qur’an istilah ini dipakai dengan pengertian kerabat, teman atau pelindung.  (Lihat QS. Al-Baqarah/2: 257)
Selanjutnya, kata songo menunjukkan angka hitungan Jawa yang berarti sembilan. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kata songo berasal dari kata sana yang diambil dari dari bahasa Arab, tsana (mulia) sepadan dengan mahmud (terpuji), sehingga pengucapan yang benar adalah Wali Sana, yang berarti wali-wali terpuji. Pendapat ini didukung oleh sebuah kitab yang meriwayatkan kehidupan dan hal ihwal para wali di Jawa yang dikarang oleh Sunan Giri II.
Strata sosial kultural masyarakat Jawa sebelum kehadiran Wali Songo sangat dipengaruhi oleh kehidupan animispanteistik (penganut animisme) yang dikendalikan oleh para pendeta, guru ajar, biksu, wiku, resi, dan empu. Mereka dianggap mempunyai kemampuan mistis dan kharismatik. Kedudukan penting mereka diambil alih para wali dengan tetap berfokus pada kehidupan mistis religius. Era Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Peranan Mereka dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut di bandingkan yang lain.
Wali Songo merupakan Dewan Dakwah/Mubaligh. Mereka tidak hanya mampu  dalam agama, tapi juga dalam hal pemerintahan dan politik. Menurut kitab Kanzul Ulum Ibnul Batutah, Wali Songo berganti susunan orangnya sebanyak lima kali yaitu:
Dewan I tahun 1404 M :
·         Syeh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, ahli mengatur negara, dakwah di Jawa Timur, wafat di Gresik tahun 1419;
·         Maulana Ishaq, asal Samarkan Rusia, ahli pengobatan, dakwah di Jawa lalu pindah dan wafat di Pasai (Singapura) ;
·         Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir, dakwah keliling, makam di Troloyo - Triwulan Mojokerto;
·         Maulana Muhammad Al Maghrobi, asal Maghrib - Maroko, dakwah keliling, makamnya di Jatinom Klaten tahun 1465;
·         Maulana Malik Isro’il, asal Turki, ahli mengatur negara, dimakamkan di Gunung Santri antara Serang Merak di tahun 1435;
·         Maulana Muhammad Ali Akbar, asal Persia/Iran, ahli pengobatan, dimakamkan di Gunung Santri tahun 1435;
·         Maulana Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama;
·         Maulana Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama;
·         Syeh Subakir, asal Persia, ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin jahat, beberapa waktu di Jawa lalu kembali dan wafat di Persia tahun 1462.
Dewan II tahun 1436 M :
·         Raden Rahmad Ali Rahmatullah berasal dari Cempa Muangthai Selatan, datang tahun 1421 dan dikenal sebagai Sunan Ampel menggantikan Malik Ibrahim yang wafat;
·         Sayyid Ja’far Shodiq, asal Palestina, datang tahun 1436 dan tinggal di Kudus sehingga dikenal sebagai Sunan Kudus, menggantikan Malik Isro’il ;
·         Syarif Hidayatullah, asal Palestina, datang tahun 1436 menggantikan Ali Akbar yang wafat.
Dewan III tahun 1463 M :
·         Raden Paku/Syeikh Maulana A’inul Yaqin pengganti ayahnya yang pulang ke Pasai, kelahiran Blambangan, putra dari Syeh Maulana Ishak, berjuluk Sunan Giri dan makamnya di Gresik;
·         Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, yang menggantikan Syeh Subakir yang kembali ke Persia;
·         Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Hasanuddin yang wafat;
·         Raden Qosim atau Sunan Drajad kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Aliyyuddin yang wafat.
Dewan IV tahun 1466 M :
·         Raden Patah putra raja Brawijaya Majapahit (tahun 1462 sebagai adipati Bintoro, tahun 1465 membangun masjid Demak dan menjadi raja tahun 1468) murid Sunan Ampel, menggantikan Ahmad Jumadil Kubro yang wafat;
·         Fathullah Khan, putra Sunan Gunung jati, menggantikan al-Maghrobi yang wafat.
Dewan V :
·         Raden Umar Said atau Sunan Muria, putra Sunan Kalijaga, yang menggantikan wali yang telah wafat;
·         Syeikh Siti Jenar adalah wali serba kontraversial, dari mulai asal muasal yang muncul dengan berbagai versi, ajarannya yang dianggap menyimpang dari agama Islam tapi sampai saat ini masih dibahas di berbagai lapisan masyarakat.Sampai dengan kematiannya yang masih dipertanyakan caranya termasuk dimana ia wafat dan dimakamkan.
·         Sunan Tembayat atau adipati Pandanarang yang menggantikan Syeh Siti jenar yang wafat (bunuh diri atau dihukum mati).
Walisongo yang paling masyhur adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah wali yang tertua diantara sembilan wali. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
a.       Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim as-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada pertengahan awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap as-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya. Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihat-kannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.
Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Romo, Manyar.
 











Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi (berhubungan) dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.
Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasti makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
Cerita rakyat
Menurut cerita rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syeikh Jumadil Qubro tetap di Pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
b.      Sunan Ampel


Syekh Jumadil Qubro, dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.
Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya merubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri Champa, dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya.
 











Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya, ia bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari pernikahannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina."
Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang Adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu:
1).    Putri Nyai Ageng Maloka,
2).    Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang),
3).    Syarifuddin (Sunan Drajat), dan
4).    Syarifah, (ibu dari Sunan Kudus).
Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak. Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
c.      
Sunan Giri memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil mengislamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
 
Sunan Giri











Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "Giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
d.      Sunan Bonang


Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.
 













Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.


Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).

 






Perangkat Gamelan sebagai media dakwah
e.       Sunan Drajat


Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M dan wafat wafat pada 1522
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 Km  ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.


 










Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang'. Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
f.       Sunan Kalijaga


Sunan Kalijaga adalah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman. Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.

 









Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede, Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak.
g.      Sunan Kudus


Nama kecilnya Ja’far Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwah-nya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga :
 










sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaian-nya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali, yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk Hindu yang teguh, menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarahyang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

h.      Sunan Muria


Sunan Muria adalah putra Dewi Saroh --adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya
 











Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
i.        Sunan Gunung Jati


Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari Raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

 










Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "walisongo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.






C.    Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
1.      Asal-usul Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
Nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari hingga kini masih melekat di hati masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan, meski putra Banjar kelahiran Desa Lok Gabang, 19 Maret 1710 M, itu telah meninggal sejak 1812 M silam. Ia meninggalkan banyak jejak dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan. Karya-karyanya bagaikan sumur yang tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia menjulukinya sebagai ‘Matahari Islam Nusantara’. ‘Matahari’ itu terus memberikan pencahayaan bagi kehidupan umat Islam. Beliau bergelar Datuk Kalampayan.

 
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Ulama Besar dari Kalimantan Selatan
     Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, di dalam situs wikipedia, adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar.
Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka, Jakarta. Dalam buku itu dikisahkan, mulan-mula lokasi ini berupa sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar pemberian Sultan Tahlilullah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah, tempat pengajian, perpustakaan, dan asrama para santri dan guru.
Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasarana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad Arsyad ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah Islam di Kalimatan masa itu.
Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai pusat keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian. Dengan demikian, para santri tidak hanya belajar ilmu agama saja tetapi juga mempelajari keterampilan hidu (live skill) sehingga kelak sesudah menyelesaikan pendidikan di Dalam Pagar mereka bisa hidup mandiri.
Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil. Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat.
Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad  sedikitnya punya tiga metode. Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan cara bil hal, yakni keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik, dan tutur kata sehari-hari yang disaksikan langsung oleh murid-muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga memberikan pengajaran dengan cara bil lisan dan bil kitabah. Metode bil lisan dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat, maupun handai taulan, sedangkan metode bil kithabah menggunakan bakatnya di bidang tulis menulis.
Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab itulah yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad utup usia pada 1812 M, di usia 105 tahun. Karya-karyanya antara lain, Sabilal Muhtadin, Tuhfatur Raghibiin, Al Qaulul Mukhtashar, di samping kitab Ushuluddin, kitab Tasauf, kitab Nikah, kitab Faraidh, dan kitab Hasyiyah Fathul Jawad. Karyanya paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin yang kemasyhurannya tidak sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei, dan Pattani (Thailand Selatan).
2.      Anak Cerdas dari Lok Gabang
Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahlilullah, berkunjung ke kampung-kampung yang ada di wilayahnya. Ketika tiba di kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana.
Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orang tua Arsyad, enggan melepas anak sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan, Sultan memperlakukannya seperti anak kandung.
Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan dengan Bajut, seorang perempuan yang solehah. Ketika Bajut tengah mengandung anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-citanya.
3.      Perdalam Ilmu Agama
Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi, dan al 'Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd Karim al Samman al Hasani al Madani. Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu Qira’at. Ia bahkan mengarang kitab Qira’at 14 yang bersumber dari Imam Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.
Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari belajar bersama tiga orang Indonesia lainnya: Syekh Abdul Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdul Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan ‘Empat Serangkai dari Tanah Jawi’ yang sama-sama menuntut ilmu di al Haramain al Syarifain. Belakangan, Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi menantunya karena kawin dengan anak pertama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta. Ia menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan, menurut kisahnya, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sempat memberikan petunjuk arah kiblat Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan.
Pada bulan Ramadhan 1186 H bertepatan dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tamjidillah, menyambut kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai seorang ulama ‘Matahari Agama’ yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar.
4.      Sabil Al-Muhtadin
Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab Nihayah al-Muhtaj yang ditulis oleh Syekh al-Jamal al-Ramly, kitab Syarh Minhaj oleh Syekh al-Islam Zakaria al-Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib Syarbini, kitab Tuhfah al-Muhtaj karya Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Mir’atu al-Thullab oleh Syekh Abdurrauf al-Sinkili, dan kitab Shirat al-Mustaqim karya Nurruddin al-Raniri.
Selain itu, ada alasan utama yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat menulis kitab ini. Sebuah sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan) umat Islam di Banjar (Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih yang berbahasa Arab. Maka itu, masyarakat Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih melalui kitab-kitab berbahasa Melayu. Salah satunya adalah kitab Shirat al-Mustaqim yang ditulis Syekh Nurruddin al-Raniri.
Kitab Shirat al-Mustaqim-nya al-Raniri ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih bernuansa bahasa Aceh. Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi masyarakat Islam Banjar untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan Sultan Banjar (Tahmidullah), Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih mudah dipahami masyarakat Islam Banjar.
Dalam mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menyatakan bahwa karya ini ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah dan diselesaikan pada 1195/1781 M.
Secara umum, kitab ini menguraikan masalah-masalah fikih berdasarkan mazhab Syafi’i dan telah diterbitkan oleh Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Kitab Sabil al-Muhtadin ini terdiri atas dua jilid. Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga membahas masalah-masalah fikih, antara lain, ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji.
Kitab ini lebih banyak menguraikan masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat dibahas. Walaupun begitu, kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh Arsyad menerapkan hukum Islam di wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan Tahmidullah yang memerintah saat itu.
D.    Peran Ulama dalam Pengembangan Islam di Indonesia
Dalam kehidupan sehari-hari ulama menjadi tumpuan dan sandaran dari berbagai pertanyaan dan persoalan yang berhubungan dengan agama Islam baik itu akidah, syariah, maupun urusan muamalah.
Peranan ulama dalam penyebaran agama Islam antara lain:
1.      Memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai kandungan ayat-ayat al-Qur’an melalui kajian-kajian tafsir.
2.      Meluruskan segala bentuk penyelewengan aqidah islamiah dan Syariat Islam dari segala bentuk praktik khurafat, takhayyul, dan syirik.
3.      Memiliki komitmen yang sama dalam mempersiapkan generasi penerus perjuangannya dengan mengajar para santri dan murid-muridnya di lembaga-lembaga pendidikan yang didirikannya yaitu madrasah dan pesantren.
4.      Ikut membela dan mengamankan negara dan tanah air dari praktik penjajahan bangsa barat dengan cara melakukan penolakan bahkan perlawanan terhadap penjajah dan segala bentuk imperalisme.
5.      Menjadi fasilitator terbentuknya organisasi yang bersifat sosial kemasyarakatan untuk mewujudkan persaudaraan (solidaritas) dan persatuan (ukhuwah) Islam.
6.      Memberikan fatwa dan pertimbangan kepada pemerintah dalam setiap mengambil kebijakan.
7.      Memberikan gagasan pemikiran terhadap perkembangan Islam melalui organisasi-organisasi dunia Islam yang berimplikasi pada perkembangan Islam di Indonesia dan mengupayakan integralisasi nilai-nilai Islam ke dalam dasar negara Republik Indonesia.
Rangkuman
1.      Abdul Rauf Singkel yang dikenal juga dengan sebutan Syah Kuala adalah tokoh ulama di Aceh, Sumatra. Beliau sangat tekun di dalam menuntut ilmu baik di daerahnya sendiri maupun di luar daerah, bahkan di luar negeri.
Selama sekitar 19 tahun menuntut ilmu di Timur Tengah (Mekah dan Madinah). Abdul Rauf Singkel pernah diangkat menjadi Syeikh Jamiah al-Rahman dan mufti atau kadi dengan sebutan Malik al-Adil, menggantikan Syeh Saif al-Rijal yang wafat tidak lama setelah ia kembali ke Aceh. Selain itu, ia juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menolak berkuasanya seorang raja perempuan.
Walaupun disibukkan oleh tugas mengajar dan pemerintahan, Abdul Rauf masih sempat menulis berbagai karya intelektual di bidang ilmu tafsir, hadis, fiqih, dan tasawuf dan juga karya sastra berbentuk syair,  banyak di antaranya yang masih tersimpan sampai sekarang.
2.      Wali Songo adalah nama sebuah lembaga dakwah di Jawa yang anggotanya terdiri para wali. Tetapi dari anggota wali songo yang paling masyhur hanya sembilan orang saja, yaitu: Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri), Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Qasim (Sunan Drajat), Raden Syahid (Sunan Kalijaga), Raden Ja’far Shodiq (Sunan Kudus), Raden Umar Sa’id (Sunan Muria), dan Raden Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
Dalam berdakwah, para wali songo menggunakan pendekatan kultural (budaya) seperti tetembangan, wayang, dan tradisi/adat istiadat yang berkembang di masyarakat. Disamping itu para wali songo juga sangat toleransi terhadap pemeluk agama lain.
Dengan keikhlasan, akhlak mulia, kegigihan, dan kerja keras, wali songo berhasil mengembangkan Islam di tanah Jawa. Wali songo juga berhasil mendirikan kerajaan Islam yang sangat disegani, yaitu kerajaan Islam Demak.
3.      Muhammad Arsyad al-Banjari adalah seorang ulama di Kalimantan Selatan yang sejak kecil sudah menunjukkan kecerdasannya. Karena kecerdasannya itulah beliau dididik di lingkungan istana atas permintaan raja.
Atas perintah raja pula beliau dikirim ke Arab untuk menuntut ilmu. Setelah dianggap cukup beliau pulang ke kampung halaman untuk mengamalkan ilmunya.
Di kampung halamannya beliau mendirikan pusat pendidikan yang diberi nama Kampung Dalam Pagar. Di Kampung Dalam Pagar didirikan asrama santri, asrama guru, tempat belajar, masjid, dan perpustakaan. Para santri tidak hanya dibekali ilmu agama saja, tetapi diberikan ketrampilan seperti bercocok tanam dan berternak agar kelak setelah menyelesaikan pendidikan para santri dapat hidup mandiri.
Kamus Istilah
1.      Muamalah : segala sesuatu yang berhubungan dengan amal kita terhadap masyarakat
2.      Syariat : hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan al-Quran dan hadis
3.      Strata : tingkatan dalam masyarakat
4.      Sosial : berkenaan dengan masyarakat
5.      Kultural : mengenail kebudayaan
6.      Mistis : hal-hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia biasa
7.      Kharismatik : bersifat karisma, yaitu keadaan atau bakat yg dihubungkan dng kemampuan yg luar biasa dl hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dr masyarakat thd dirinya
8.      Religius : taat terhadap ajaran agama

Uji Kompetensi
Tes afektif
Berilah tanda ()  pada kolom S (setuju) atau TS ( tidak setuju ) pada pernyataan di bawah ini!
No
Kejadian Peristiwa
S
TS
1
Ahmad bercia-cita menjadi ulama’  yang terkenal  seperti    KH. Bisri Musthofa  walaupun  dia seorang anak  kuli bangunan .


2
Badrus  seorang pemuda yang selalu   berkelana   mencarai ilmu dari pondok satu ke pondok yang lain  selalu berpindah-pindah   sehingga berhsil  cita-citanya


3
Si pulan  tanahnya luas tetapi tidak pernah bercocok tanam  sehingga hidupnya selalu mengantungkan orang tuanya


4
Seorang siswa bila di ajar selalu menbuat onar    di dalam kelas , karena dia merasa anaknya  pejabat tinggi


5
Andi seorang  pemain robana yang terkenal  tetapi selalu rajin belajar, sihingga menjadi bintang kelas


6
Seorang kepala madrasah yang selalu  memperhatikan  pendapat anak buahnya  sehingga madrasahnya menjadi hormonis


7
Tono membelikan jajan tapi dari hasil curian


8
 Seorang kepala desa mengadakann pesta  tuju belasann  dengan menampilakan petas seni camooursari dan pemudanya mabuk-mabukan


9
Rifa’i seoang anak  penarik becak diangkat seorang yang kaya  raya untuk di sekolahkan  keluar  mekah


10
Abdul amin berada di tengah-tengah kota yang minim agama beliau berupaya  mendirikan madrasah Diniyah walaupun penuh rintangan


Tes psikomotor
1.       Ceritakan  di depan kelas sejarah Abdur Rauf Singkel  secara singkat dan jelas !
2.       Ceritakan di depan kelas sejarah  woli songo !
3.       Ceritakan di depan kelas  sejarah  Muhammad Arsyad al-Banjari !
4.       Kemukakan  peranan para  tokoh islam  yang pernah  kamu pelajari !
Test Pengetahuan
A.    Berilah tanda  silang paada huruf a,b, c atau d  pada jawaban yang paling benar
1.      Seorang guru thorekat  Syattariyah yang pernah  mengajarkan  Abdur Rauf Singgkel adalah ....
a.       Syekh  Walid al Hijazi                              c. Syekh Umar  al Yamani
b.       Syekh Ibrahim  al Qur’ani                         d. Syekh Wahab  Rokon
2.      Pada masa sultanah Syafiatuddin Tajul Alam , Abdur Rauf Singkel diangkat sebagai ....
a.       Panglima                                                   c. Mufti
b.      Qodli                                                         d. Wazir
3.      Seorang Wali Songo  yang mendapat julukan  Maulana Magribi adalah ….
a.       Sunan Gresik                                             c. Sunan Giri
b.      Sunan Drajat                                             d. Sunan Bonang
4.      Peranan Sunan Ampel  dalam proses berdirinya kerajaan Demak adalah ….
a.       Membangun masjid Demak                      c. Mengangkat Raden  Fatah sebagai Sultan
b.      Menyusun Kitab undang-undang             d. Melarang upacara-upacara  adat
5.      Sunan Giri adalah  keponakan Maulana Malik Ibrahim  yang berarti juga sepupu ….
a.       Sunan Gunung Jati                                    c. Sunan Kalijaga
b.       Sunan Bonang                                           d. Sunan Ampel
6.      Seorang Wali Songo  yang menciptakan gending 
a.       Sunan Bonang                                           c. Sunan Drajat
b.      Sunan Kudus                                            d. Sunan kalijaga
7.      Seorang Wali Songo yang menggunakan pendekatan  kultural dalam berdahwah adalah ....
a.       Sunan Muriya                                            c. Sunan Kalijaga
b.      Sunan Giri                                                 d. Sunan Ampel
8.      Muhammad  Arsyad al Banjari dilahir pada  tahun ....
a.       1709 M.                                                     c. 1711 M
b.      1710 M                                                      d. 1712 M
9.      Sultan yang mengangkat  Muhammad Arsyad al- Banjari sebagai anak  adalah Sultan ....
a.       Tahlilullah                                                 c. Tajul Alam
b.      Samudra                                                    d. Tamjidillah
10.  Kampung yang dibangun  oleh Muhammad Arsyad al- Banjari  sekarang dikenal denngan nama ....
a.       Luar pagar                                                 c. Luar Batas
b.      Dalam pagar                                              d. Dalam batas
B.     Isilah titik-titik di bawah ini  dengan singkat dan tepat
1.      Wali songo menyebarkan islam di pulau ….
2.      Lagu dolan ilir-ilir diciptakan  oleh sunan ….
3.      Abdul Rauf Singkel   mengembangkan Thorikat ….
4.      Raden  Paku  mendapat julukan  ….
5.      Jakfar Shodig nama asli Sunan ….
6.      Seorang wali yang berjasa mengembang kesenian wayang purwo adalah sunan ….
7.      Seorang wali yang memiliki segudang ilmu, sehingga mendapat julukan  waliyulilmi adalah sunan ….
8.      Muhammd Arsyad  al –Banjari  adalah tokoh islam dari ….
9.      Hasil karya yang terbesar  oleh  Muhammad  Arsyad   al –Banjari  adalah sebuah kitab ….
10.  Setelah wafat  Muhammad al-Banjari  mendapat  gelar ….
C.     Jawablah pertanyaan-pertanyaan  di bawah ini  dengan singkat dan jelas
1.      Sebutkan sebuah buku karangan  Abdur Rouf singkel  yang membahas tentang  tafsir !
2.      Bagaimana strategi da’wah  sunan kalijaga  ?
3.      Sebutkan ulama’-ulama’ yang menjadi  shabat   Muhammad  Arsyad  al- Banjari  !
4.      Jelaskan system pendidikan yang di kembangkan  oleh Muhammad Arsyad  al- Banjari !
5.      Sebutkan 4 peranan para ulam’ di Indonesia
























Pelajaran IV
MENELADANI SEMANGAT PARA TOKOH YANG BERPERAN DALAM PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
·         Kompetensi Dasar :
Meneladani  Semangat para tokoh yang berperan dalam perkembangan Islam di Indonesia
Tanbih
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx.
Artinya:
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. al-Ahzab/33: 21)
Iftitah
Perkembangan Islam di Indonesia adalah berkat perjuangan yang gigih serta kesabaran para ulama dalam menyiarkan agama Islam. Dalam berjuang, ulama lebih mengedepankan sikap-sikap yang islami sehingga masyarakat tertarik untuk memeluk agama Islam. Selain itu, ulama juga memiliki kecerdasan yang luar biasa sehingga mereka mampu menciptakan media dakwah yang disukai oleh masyarakat.
Sikap keteladanan, intelektual, dan semangat juang para ulama perlu di pelajari agar bisa kita teladani, lebih-lebih di zaman modern yang penuh dengan hegemoni dan krisis moral.
A.    Teladan dari Sikap Intelektual dan Semangat Keislaman Para Ulama Awal
Seperti telah diuraikan di atas, para ulama memiliki sifat terpuji, antara lain: cerdas, warak, ikhlas dalam berjuang, pantang menyerah, bahkan berilmu pengetahuan yang luas. Mereka umumnya pernah menimba ilmu pengetahuan keislaman dari sumbernya yang asli, yaitu Mekah dan Madinah. Dan mempunyai hubungan yang tak terpisahkan dengan jaringan ulama Timur Tengah masa itu. Sebelum berangkat menuntut ilmu, mereka terlebih dahulu telah memiliki dasar pengetahuan dari beberapa ulama Nusantara tempat mereka lahir dan dari beberapa pesantren terkenal.
Karena ketinggian ilmunya serta keluhuran akhlak dan budi pekertinya tak jarang mereka menduduki jabatan dalam birokrasi kerajaan seperti mufti, qadhi, penasehat raja, atau juga ulama kharismatis yang disegani kawan dan lawan.
Sepulang dari Timur Tengah mereka biasanya mendirikan lembaga pendidikan tradisional seperti Pesantren, Surau atau Dayah, tempat para santri belajar menimba ilmu. Para santri ini biasanya datang dari berbagai penjuru tanah air. Dalam lembaga tersebut mereka dapat mentransfer ilmu pengetahuan dan menanamkan nilai-nilai semangat keislaman. Setelah menimba ilmu dalam waktu yang cukup lama, mereka umumnya menjadi kader mubaligh yang berperan aktif dalam proses islamisasi di daerahnya masing-masing.
Karya-karya tentang berbagai cabang ilmu sering kita jumpai, meski banyak juga yang tidak sampai kepada kita atau sudah tidak bisa kita temukan lagi. Namun dari beberapa karya yang dapat kita lacak menunjukkan bahwa ulama awal Nusantara tersebut terlihat aktif dalam wacana keislaman yang sedang berkembang pada masanya. Bahkan bahasa yang mereka gunakan dalam menuangkan pemikirannya seringkali menggunakan bahasa Arab, dan terkadang dengan bahasa Melayu (Arab Melayu/pegon). Hal itu menunjukkan akan semangat intelektual mereka. Pembahasan karyanya meliputi berbagai cabang ilmu meliputi hadits, tafsir, fiqih, tasawuf, dan kalam serta sejarah.
Memahami sejarah pemikiran, gagasan, dan sikap semangat perjuangan serta kiprah dan gagasan para ulama awal dalam penyebaran dan pengemba-ngan Islam di Indonesia, maka dapat diambil model untuk diteladani sebagai berikut:
  1. Semangat dan etos kerja para ulama awal yang sangat tinggi, secara tulus ikhlas berjuang menegakkan dan meninggikan panji-panji Islam di negeri Indonesia dan menegakkannya melalui jalur politik dengan mendirikan partai politik..
2.      Sikap dan semangat serta keberanian luar biasa ditunjukkan oleh para ulama awal beserta para santri dan murid-muridnya dalam membela dan mempertahankan negara Indonesia dari setiap praktik penjajahan bangsa Barat.
3.      Keuletan para ulama awal dalam memikirkan dan menggerakkan kemajuan umat Islam melalui pendirian lembaga pendidikan yang lebih maju.
4.      Sikap keberanian para ulama dalam memperjuangkan integralisasi nilai-nilai Islam ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan bahkan ke dalam dasar negara Republik Indonesia.
5.      Ketekunan, kesabaran, dan keuletan para ulama dalam menuntut ilmu yang tidak hanya di dalam negeri, tetapi sampai ke luar negeri
6.      Produktivitas para ulama dalam berijtihad menjelaskan kandungan al-Qur’an melalui kitab-kitab tafsirnya dan buku-buku hasil karya lainnya.
7.      Sikap kepedulian para ulama dalam meluruskan dan membebaskan masyarakat dari bentuk penyelewengan akidah dan syariat
B.     Teladan dari Sikap Intelektual dan Semangat Keislaman Wali Songo
Wali Songo sebagai ulama yang sangat warak juga dikenal sebagai sufi yang mempraktikkan ajaran tasawuf dalam ibadah dan kehidupan keseharian. Di samping itu mereka dikenal mementingkan ajaran syariat di dalam kehidupan yang nyata. Sikap intelektual mereka tercermin dari karya-karya mereka dalam menciptakan lagu, cerita wayang, dan simbol-simbol agama lain yang mengandung ajaran-ajaran Islam. Karena itu mereka adalah ulama yang mumpuni baik dari segi keagamaan maupun ilmu keduniaan. Tidak heran jika Raden Patah menjadikan para wali itu sebagai penasehat kerajaan. Sebagai contoh Sunan Kalijaga, selain sebagai orang bangsawan, ia juga wali yang sangat intelek, mumpuni dalam bidang ilmu agama maupun ilmu kenegaraan. Ia menjadi tempat bertanya bagi raja, terutama dalam masalah-masalah keagamaan maupun politik. Bahkan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan dan bahkan menjadi raja pertamanya, seperti Sunan Gunung Jati.
Dalam menjalankan dakwah di Jawa, mereka lebih mengedepankan kearifan dalam menyikapi persoalan yang berkaitan dengan kontroversi (perbedaan) antara ajaran Islam dengan tradisi setempat. Sebagai seorang sufi, para wali bersikap toleran dalam menjalankan dakwah. Bahkan tidak jarang, seni dan tradisi setempat dijadikan media dakwah untuk menarik masyarakat masuk Islam.
Memahami dan menghayati sejarah pemikiran, perjuangan, dan peranan ulama dalam mengembangkan Islam di Indonesia, maka dapat diambil hikmah dan pelajaran untuk diteladani sebagai berikut:
  1. Semangat dan etos kerja yang sangat tinggi dalam mengembangkan Islam di  Indonesia.
2.      Sikap keikhlasan para wali yang mewarnai perjuangannya tanpa pamrih, bahkan berani berkurban demi umat. Sikap keberanian para wali dalam melindungi dan mempertahankan wilayah Islam dari penjajahan asing
3.      Semangat spiritual para wali tidak pernah putus hubungan dekat dengan Allah swt. sangat menentukan keberhasilan dakwahnya
4.      Kecerdasan para wali dalam melihat situasi umat, dan cepat menemukan solusi tepat untuk kemajuan dakwah Islam. Pemilihan metode dakwah yang tepat, kreatif, dan persuasif, yang membuahkan hasil maksimal
5.      Cara dakwah Sunan Muria dengan mencari daerah-daerah pedalaman dan desa-desa terpencil sangat penting ditiru agar tidak didahului dakwah umat lain
6.      Sikap solidaritas dan kepedulian sosial para wali yang tinggi terhadap nasib rakyat untuk membantu dan menyantuninya
7.      Sikap para wali menjalin hubungan dengan penguasa dan para raja sangat membantu keberhasilan dakwah
8.      Adanya jadwal pembagian wilayah dakwah agar Islam tersebar merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Rangkuman
1.      Para ulama memiliki sifat terpuji, antara lain: cerdas, warak, ikhlas dalam berjuang, pantang menyerah, bahkan berilmu pengetahuan yang luas. Dengan sifat-sifat terpuji mereka itulah agama Islam dapat diterima oleh masyarakat dan berkembang pesat di Indoneisa.
2.      Mereka umumnya pernah menimba ilmu pengetahuan keislaman dari sumbernya yang asli, yaitu Mekah dan Madinah.
3.      Karya para ulama dapat kita temukan dalam beberapa karangannya baik yang menggunakan bahasa Arab maupun bahasa Arab-Melayu, atau pegon. Hal itu menunjukkan akan semangat intelektual mereka. Pembahasan karyanya meliputi berbagai cabang ilmu meliputi hadits, tafsir, fiqih, tasawuf, dan kalam serta sejarah
Kamus Istilah
1.      Warak : patuh dan taat kepada Allah
2.      Toleran : bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri
3.      Ikhlas : tulus hati; (dengan) hati yang bersih dan jujur
4.      Spiritual : berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan
5.      Persuasif : bersifat membujuk secara halus (supaya orang yakin)
6.      Hegemoni : pengaruh kekuasaan suatu negara atas negara-negara lain (atau negara bagian)
Uji kompetensi
Tes afektif
Berilah tanda ()  pada kolom S (setuju) atau TS ( tidak setuju ) pada pernyataan di bawah ini!
No
Pernyataan
S
TS
1
Hampir 85% penduduk Indonesia sudah beragama Islam, kita tidak perlu berdakwah lagi


2
Meneladani ulama sangat sulit karena kita jarang bertemu dengan ulama


3
Belajar giat tidak termasuk bagian dari meneladani ulama


4
Ulama harus memiliki kecerdasan sehingga mereka mampu menciptakan media dakwah yang disukai oleh masyarakat


5
Agar memiliki kemampuan berdakwah dengan baik maka kita harus belajar pidato


6
Sikap solidaritas dan kepedulian sosial para wali yang tinggi terhadap nasib rakyat untuk membantu dan menyantuninya


7
Islam sangat toleran terhadap agama lain karena itu kita tidak perlu tersinggung ketika ada penghinaan dari pemeluk agama lain.


8
Sikap solidaritas dan kepedulian sosial para wali yang tinggi terhadap nasib rakyat untuk membantu dan menyantuninya


9
Seni dan tradisi setempat dapat dijadikan media dakwah untuk menarik masyarakat memahami Islam dengan baik


10
Untuk memeringati hari besar Islam kita akan menampilkan pertunjukan wayang



Tugas Mandiri
Tunjukan semangat para tokoh dalam mengembangkan agama Islam di Indonesia
Test Pengetahuan
A.   Berilah tanda silang  ( X) pada huruf a,b,c atau d  yang paling benar
1.      Para ulama selalu menjauhi kemaksiatan sifat tersebut dikenal dengan istilah….
a.       Warak                                            c.  Tawadu
b.      Zuhud                                           d.  Ihsan
2.      Kerajaan Aceh Darussalam pernah mengangkat seorang mufti dari kalangan ulama, beliau adalah….
a.       Hamzah Fansuri                            c.  Nuruddin ar Raniri
b.      Adur Rauf Singkel                        d.  Syamsudin as Sumatrani
3.      Pada masa pemerintahan Raden Fatah para wali diangkat sebagai….
a.       punggawa                                      c.  Penasehat
b.      wazir                                             d.  Katib
4.      Diantara Walisongo yang pernah menjadi raja adalah….
a.       Sunan Bonang                               c.  Sunan Ampel
b.      Sunan Kalijaga                              d.  Sunan Gunung Jati
5.      Para Wali biasanya melakukan ajaran tasawuf maka mereka dikenal dengan sebutan….
a.       Sufi                                               c.  Filosof
b.      Mufti                                             d.  Qadi
6.      Diantara sifat-sifat terpuji yang dimiliki para ulama adalah….
a.       Ikhlas                                            c.  Malas
b.      Dengki                                          d.  Boros
7.      Lembaga tradisional yang digunakan sebagai media dakwah para wali untuk mendidik generasi Islam adalah….
a.       Madrasah                                      c.   Pesantren
b.      Majlis ta’lim                                  d.   Islamic Center
8.      Media dakwah Sunan Bonang untuk menyiarkan Islam di tanah Jawa menggunakan….
a.       Drama                                          c.   Tembang
b.      Gending                                       d.   Lagu-lagu
9.      Lagu dolanan ilir-ilir sebagai media dakwah yang digunakan oleh seorang wali….
a.       Sunan Giri                                     c.   Sunan Ampel
b.      Sunan Kalijaga                              d.   Sunan Gunung Jati
10.  Seseorang yang menyampaikan dakwah di masyarakat disebut….
a.       Ulama                                            c.   Ustad
b.      Mubaligh                                       d.   Santri
B.   Isilah titik-titik di bawah ini dengan jawaban yang benar!
1.      Sunan Kalijaga merupakan seorang wali yang sangat intelek, buktinya beliau mumpuni di bidang ilmu.... maupun....
2.      Persoalan-persoalan kontroversi yang ada dalam masyarakat disikapi oleh para ulama dengan....
3.      Kesenian dan tradisi setempat digunakan oleh Walisongo sebagai....
4.      Walisongo memiliki semangat dan etos kerja yang tinggi untuk....
5.      Keikhlasan para wali tampak pada pejuangannya yang....
6.      Terjalinnya hubungan yang baik antara para ulama dengan para penguasa dan para raja sangat membantu dalam keberhasilan....
7.      Sumber ilmu keislaman yang asali berasal dari kota.... dan ....
8.      Para ulama setelah kembali ke kampung halamannya mendirikan lembaga ttrdisional seperti....
9.      Para santri setelah menuntut ilmu umumnya  menjadi kader....
10.  Karya para ulama Indonesia selain berbahasa Arab juga ada yang berbahasa....
C.   Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan jelas!
1.      Jelaskan sikap yang diterapkan para ulama dalam melaksanakan dakwah Islam!
2.      Mengapa Raden Fatah menjadikan para Wali sebagai penesehat kerajaan?
3.      Bagaimana para wali dalam memilih metode berdakwah?
4.      Sebutkan jabatan dalam pemerintahan yang sering diduduki para ulama!
5.      Meliputi bidang ilmu apa sajakah karya para tookoh Islam di Indonesia?































SEMESTER GENAP

Pelajaran V
Menceritakan Seni Budaya Lokal Sebagai Bagian dari Tradisi Islam
·         Kompetensi Dasar :
Menceritakan Seni Budaya Lokal Sebagai Bagian dari Tradisi Islam
Tanbih
عن المرء لاتسال عن قر ينه فان قرين با لمقا رن يقتدي وان كان ذا شر فجنبه سر عة وان كا ن ذاخير فقاربه تقتدي
Artinya:
Janganlah kamu tanyakan tentang pribadi seseorang, tanyakan saja siapa teman bergaulnya, sebab seorang pasti akan mengikuti perilaku teman bergaulnya. Jika temanmu buruk perilakunya, maka jauihilah dia, jika dia perperilaku baik, maka bertemanlah dengannya, kamu pasti akan berperilaku baik pula”(az-Zarnuji: Ta’lim al-Muta’allim)
Iftitah
Wilayah kepulauan Nusantara terdiri dari beribu-ribu pulau dengan berbagai suku, agama, kepercayaan, dan tradisi yang berbeda-beda. Ketika masuk ke Nusantara, agama Islam ternyata mempengaruhi tradisi dan budaya yang telah ada. Hal ini disebabkan tradisi-tradisi tersebut tidak dihilangkan atau dirombak tetapi diberi nuansa islami dan dijadikan media untuk menyiarkan Islam. Dari sinilah lahirnya Tradisi Islam Nusantara.
Tradisi Islam tersebut tumbuh dan berkembang di tiap-tiap daerah di Nusantara hingga saat ini. Kewajiban kita adalah melestarikan tradisi Islam Nusantara tersebut.
A.   Pengertian Tradisi Islam Nusantara
Tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun yang masih dijalankan dalam masyarakat. Sebelum Islam datang, masyarakat Nusantara sudah mengenal berbagai kepercayaan. Hal itu yang membuat proses dakwah Islam pada saat itu tidak terlepas dengan adat yang sudah berlaku. Kepercayaan masyarakat yang sudah mendarahdaging tidak mungkin dapat dihilangkan secara langsung. Akan tetapi, memerlukan proses yang cukup lama. Tradisi Islam Nusantara merupakan akulturasi antara ajaran Islam dan adat yang ada di Nusantara pada waktu itu.
Tradisi Islam di Nusantara merupakan metode dakwah yang dilakukan para ulama masa itu. Meskipun adat-istiadat yang sudah berjalan di masyarakat waktu itu bertentangan dengan ajaran Islam, para ulama tidak menghapus secara total. Adat yang sekiranya dapat diberi muatan ajaran Islam oleh para ulama  memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam adat-adat tersebut. Dengan harapan, masyarakat tidak merasa kehilangan adat yang dimilikinya dan ajaran Islam dapat diterima. Dengan demikian, tradisi Islam yang ada di Nusantara bukan merupakan ajaran Islam yang harus diamalkan, tetapi sebagai metode dakwah saat itu.
Tradisi Islam Nusantara yang merupakan hasil kreasi para ulama tersebut sampai sekarang masih dijalankan dan dilestarikan oleh umat Islam.
B.    Kesenian dan Adat Nusantara
Kesenian dan adat istiadat yang berkembang di Nusantara yang bernapaskan Islam sangatlah banyak. Semua itu dalam rangkaian dakwah Islam yang dilaku-kan pada masa itu. Tradisi tersebut antara lain:
            1.      Wayang
Kesenian wayang dalam bentuk yang asli muncul sebelum agama Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada zaman Hindu Jawa. Pertunjukan kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme.
Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul Wayang Purwa disebutkan, bahwa kesenian wayang mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari kerajaan Mamenang/Kediri. Sekitar abad ke-10, Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Wayang mengalami perkembangan dari masa ke masa, hingga masa kerajaan Majapahit. Bentuk wayang yang semula memakai daun lontar berkembang dalam bentuk kertas ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana dimainkan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut dengan Wayang Beber.
Pada masa raja Brawijaya, bentuk wayang lebih disempurnakan lagi dengan ditambahi lukisan-lukisan oleh Raden Sungging Prabangkara (putra raja Brawijaya). Oleh Raden Sungging Prabangkara wayang dilukis dan diwarnai dengan cat dan pewarnaannya disesuaikan dengan karakter (sifat dan watak) tokoh yang dilukiskan tersebut.
Pertunjukan wayang tidak hanya dinikmati oleh keluarga keraton saja, tetapi masyarakat secara luas pun menikmatinya. Dengan demikian kesenian wayang mulai dimiliki oleh masyarakat dan menjadi bagian dari kebudayaannya. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit, maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini terjadi karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I (Raden Patah) sangat menggemari seni karawitan dan pertunjukan wayang.
Pada masa itu, sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa wayang dan gamelan adalah kesenian yang haram dan berbau Hindu. Pandangan tersebut menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Selanjutnya, oleh para ulama berusaha menghilangkan kesan yang berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca dan roh, dengan menghilangkan wujud gambar manusia. Akhirnya para ulama berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai kaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dari tepung tulang sedang pakaiannya dicat dengan tinta. Wayang ini kemudian biasa dinamakan dengan Wayang Kulit.
Kesenian wayang di Nusantara merupakan hasil karya seorang ulama yang terkenal, yaitu Sunan Kalijaga. Wayang dimanfaatkan Sunan Kalijaga sebagai sarana dakwah menyebarkan agama Islam di Nusantara. Masyarakat Jawa Tengah, khususnya, menganggap kesenian wayang tidak sembarang kesenian. Wayang mengandung nilai filosofis, religius, dan pendidikan.
Dalam pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga berperan sebagai dalangnya. Ketika memainkan wayang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan ajaran-ajaran Islam (religius), pendidikan, dan unsur-unsur filsafat (mencari kebenaran).
Dengan kesenian wayang, Sunan Kalijaga berhasil menarik perhatian masyarakat luas. Hal itu membuat mereka tertarik untuk memeluk agama Islam dengan kesadaran dan kemauan sendiri. Sunan Kalijaga terkenal sebagai ulama yang kreatif dan pandai menarik simpati masyarakat. Beliau banyak menciptakan cerita pewayangan yang bernapaskan Islam. Misalnya, cerita yang berjudul Jamus Kalimasada, Wahyu Tohjali, Wahyu Purboningrat, dan Babat Alas Wonomarto.
Di samping menciptakan cerita-cerita pewayangan, Sunan Kalijaga juga berhasil menciptakan peralatan perlengkapan dalam wayang. Kelengkapan yang menyertai pementasan wayang adalah seperangkat gamelan dan gending-gending Jawa.
Pada masa itu, setiap akan diadakan pentas dan pegelaran wayang, terlebih dahulu Sunan Kalijaga memberikan wejangan atau nasihat keislaman. Kemudian, mereka diajak mengucapkan dua kalimat syahadat. Dengan demikian, berarti mereka sudah menyatakan diri masuk Islam. Lama-kelamaan mereka pun mau menjalankan ibadah shalat. Dengan cara demikian itu, Sunan Kalijaga dapat memikat hati masyarakat sehingga Islam cepat tersebar di masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah.
            2.      Sekaten
Sekaten awalnya merupakan media dakwah penyebaran Islam dengan momentum hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Dalam perkembangan selanjutnya, Sekaten menjadi sebuah bentuk upacara perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. yang diadakan di Yogyakarta dan Surakarta. Kata sekaten itu sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yaitu Syahadatain (dua kalimat syahadat). Syahadatain merupakan wujud pengakuan keislaman seseorang. Sekaten mulai diperkenalkan Raden Patah di Demak pada abad XVI M. Pada saat itu ribuan orang Jawa beralih ke agama Islam dengan mengucapkan syahadatain. Oleh karena itu, penggunaan istilah sekaten menjadi populer.
Masyarakat yang akan melihat perayaan sekaten tidak dipungut biaya sedikit pun. Mereka hanya diminta mengucapkan dua kalimat syahadat sebelum masuk ke arena sekaten (Alun-alun Kerajaan). Bagi yang belum bisa ada petugas yang membimbing membaca dua kalimat syahadat. Dengan perayaan sekaten itu, agama Islam cepat tersiar dan dianut oleh masyarakat Jawa Tengah, terutama di Surakarta, Yogyakarta, dan sekitarnya.
Pada masa-masa permulaan perkembangan agama Islam di Jawa, salah seorang dari Walisongo, yaitu Sunan Kalijaga, memergunakan instrumen musik gamelan, sebagai sarana untuk memikat masyarakat agar datang untuk menikmati pagelaran karawitannya. Untuk tujuan itu digunakan dua perangkat gamelan yang memiliki laras suara yang merdu, dua perangkat itu diberi nama Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Di sela-sela pagelaran kemudian dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajiban mengucapkan kalimat syahadat, sebagai syarat pernyataan taat kepada ajaran agama Islam. Istilah syahadat yang diucapkan sebagai syahadatain ini kemudian berangsur-angsur berubah dalam pengucapannya, sehingga menjadi syakatain dan pada akhirnya menjadi istilah Sekaten hingga sekarang. Setiap tanggal 5 Maulid, kedua perangkat gamelan yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu dike-luarkan dari tempat peyimpanannya di Bangsal Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 kedua perangkat gamelan tersebut dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta, dalam satu iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit keraton ber-seragam lengkap.
Tradisi itu diadaptasi keraton Yogyakarta pada masa Hamengkubuwono I (1773), dengan dibangunnya Masjid Agung Kauman sebagai tempat pelaksanaan rangkaian acara Sekaten. Perayaan itu diadakan sebulan penuh pada bulan Maulud dalam penanggalan Jawa, dengan puncak acara “Grebeg Mulud” Dalam acara itu, sultan memberikan sedekah kepada rakyatnya yang berwujud dalam bentuk gunungan. Selain itu, Sekaten berkembang sebagai ajang interaksi sosial dan panggung hiburan rakyat. Hingga tahun 1968, Sekaten berpusat di Masjid Kauman. Dalam waktu bersamaan, di alun-alun utara berkembang pasar rakyat dengan sistem barter (tukar-menukar barang), serta panggung hiburan yang menampilkan kesenian tradisional. Tahun 1970, unsur komersialisasi mulai masuk, ditandai dengan adanya pungutan tarif masuk. Dua tahun kemudian, keraton Yogyakarta mengoordinasi pesta rakyat dengan membentuk Panitia Sekaten. Tahun 1973, karena meningkatnya transaksi ekonomi dan munculnya aneka macam atraksi permainan, koordinasi diserahkan kepada pemerintah kota Yogyakarta dengan nama Pasar Malam Perayaan Sekaten.
Pada umumnya masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw ini, yang bersangkutan akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugerahi awet muda. Sebagai Srono (syarat)nya, mereka harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan Sekaten. Oleh karena itu, selama diselenggarakan Sekaten, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih bersama lauk pauknya di halaman Kemandungan, di alun-alun utara maupun di depan Masjid Agung Yogyakarta. Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panennya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka membeli cambuk (pecut) yang dibawanya pulang. Selama lebih kurang satu bulan sebelum upacara Sekaten dimulai, pemerintah daerah kotamadya, memeriahkan perayaan ini dengan pasar malam yang diseleng-garakan di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Di Yogyakarta dan Surakarta, Sekaten menjadi lambang kekuatan dan keberanian pendiri kerajaan Mataram Islam. Tepat pada hari Maulid Nabi Muhammad saw (12 Rabiul awal), semua pusaka kerajaan dibersihkan secara khusus. Setelah itu diarak mengelilingi jalan-jalan kota untuk dipertunjukkan kepada masyarakat luas. Perayaan sekaten itu diadakan setiap tahun sekali, yang dikenal dengan sebutan Muludan. Maksudnya adalah peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Pada saat itu diadakan ceramah-ceramah keislaman di serambi Masjid Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta atau Mataram.
            3.      Kasidah dan Hadrah
Kasidah berasal dari bahasa Arab qasidah. Artinya, puisi yang lebih dari empat bait. Kasidah merupakan jenis seni suara yang bernapaskan Islam. Lagu-lagu yang dinyanyikan berisikan unsur-unsur dakwah islamiyah dan nasihat-nasihat yang sesuai ajaran Islam. Lagu-lagu kasidah biasanya dibawakan dengan irama gembira dan diiringi rebana.
Rebana pada awalnya adalah instrumen yang mengiringi lagu-lagu keagamaan, seperti puji-pujian terhadap Allah swt., sholawat kepada Nabi Muhammad saw., atau syair-syair Arab. Karena fungsi yang dimainkan itulah, alat ini disebut rebana. Rebana berasal dari kata rabbana yang berarti wahai Tuhan kami (semua bentuk pujian kepada Allah swt.)
Kasidah biasanya dibawakan oleh sebuah grup yang terdiri atas sepuluh hingga dua puluh orang. Mereka membawakan lagu-lagu tersebut dengan berdiri dan berpakaian kerudung atau kebaya panjang. Dalam pelaksanaannya, biasanya ditunjuk seseorang sebagai vokalis (penyanyi). Anggota yang lain berperan juga sebagai penyanyi dalam syair-syair yang dinyanyikan dengan kor.
Kesenian kasidah mulai tumbuh seiring berkembangnya kesenian tradisional Islam yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia, seperti dzikir dan salawat. Lagu-lagu yang berasal dari dzikir dan salawat itu biasanya disajikan dalam acara-acara perayaan, seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, khitanan, atau pernikahan.
Masuknya lagu-lagu Arab modern ke Indonesia membuat para seniman Islam Indonesia memadukan antara kesenian tradisional dan lagu-lagu tersebut. Dari sinilah muncul kesenian kasidah. Kasidah mulai populer sekitar tahun 1960-an, tetapi masih bersifat lokal, belum begitu memasyarakat secara luas. Pada tahun 1970-an, kasidah sudah begitu memasyarakat secara luas. Bahkan sudah mulai tampil dalam acara televisi.
Perkembangan kesenian kasidah didasari adanya kesepakatan ulama-ulama hukum Islam bahwa seni adalah mubah (boleh). Mereka berpendapat bahwa pemanfaatan seni suara yang dimaksudkan untuk tujuan kebaikan dan disajikan secara baik, hukumnya mubah (boleh). Dengan catatan, hal tersebut tidak melanggar aturan-aturan agama serta mendorong orang untuk melakukan perintah-perintah agama. Bahkan, merupakan anjuran jika kesenian itu bertujuan untuk dakwah. Sejak itulah bermunculan grup-grup kasidah di Indonesia, seperti Nasida Ria, Nida Ria, dan el-Hawa.
Hadrah adalah suatu kesenian dalam bentuk seni tari dan nyanyian yang bernapaskan Islam. Lagu-lagu yang digunakan adalah lagu-lagu yang berisi ajaran Islam, sedangkan musiknya menggunakan rebana dan genjring. Hadrah biasanya dipentaskan dalam acara syukuran atas kelahiran anak, khitanan, pernikahan, atau hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan keislaman. Selain kesenian, syair-syair yang dilantunkan dalam hadrah juga berisi nasihat -nasihat atau piwulang-piwulang leluhur.
Dalam beberapa acara, seperti khitanan dan pernikahan, hadrah biasa-nya diselenggarakan dalam bentuk arak-arakan. Hadrah merupakan hiburan untuk menyemarakkan upacara yang sedang berlangsung
            4.      Halal bi Halal
Menurut Dr. Quraish Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317). Meskipun kata ini berasal dari bahasa Arab, masyarakat Arab sendiri tidak akan memahami arti halal-bihalal
 Halal-bihalal, tidak lain, adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Halal-bihalal merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini. Yaitu suatu tradisi yang dikerjakan masyarakat Indonesia yang pelaksanaannya setelah shalat idul fitri.
Asal mula istilah halal bihalal ini, mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Pada waktu itu dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri beliau mengadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.  Selanjutnya, acara ini menjadi suatu rutinitas yang senantiasa dilakukan oleh para abdi dalem keraton setiap selesai sholat ‘idul fitri,  dan dalam perkembangannya tidak hanya dilakukan oleh kerabat keraton, tetapi juga oleh rakyat jelata hingga sekarang ini.
Dalam budaya Jawa, seseorang “sungkem” kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Sungkem bukannya simbol kerendahan derajat, melainkan justru menunjukkan perilaku utama. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang penghormatan, dan kedua, sebagai permohonan maaf, atau “nyuwun ngapura”. Istilah “ngapura” sesungguhnya berasal dari bahasa Arab “ghafura”. Para ulama di Jawa tampaknya ingin benar mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lampau diampuni oleh Allah SWT. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah SWT bisa langsung mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika dia masih bersalah kepada orangorang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka? Nah, di sinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari lebaran itu antara seorang dengan yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masing-masing, yang kemudian dilaksanakan secara kolektif (bersamaan) dalam bentuk halal bihalal. Jadi, disebut hari Lebaran, karena puasa telah lebar (selesai), dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus). Dari uraian di muka dapat dimengerti, bahwa tradisi lebaran berikut halal bihalal merupakan perpaduan antara unsur budaya Jawa dan budaya Islam. Demikian dinamisnya Islam sehingga memberi ruang kepada umat untuk berkreasi. Islam mengajarkan agar umat tidak hanya menjaga hubungan baik dengan Sang Khalik (hablun min-Allah), tetapi juga mesti menjaga hubungan baik dengan sesama manusia (hablun min an-nas) diantaranya dengan halal bihalal.
            5.      Adat Melayu
Kehidupan orang Melayu (Riau) selalu diwarnai dengan upacara adat sebagai warisan tradisi nenek moyang mereka. Masuknya agama Islam sedikit banyak memengaruhi dalam pelaksanaan upacara adat tersebut. Misalnya kelahiran anak hingga masuk usia dewasa.
Anak yang baru lahir jika bayi itu laki-laki segera diazankan, sedang bayi perempuan diiqamahkan. Khusus bayi perempuan, lidahnya ditetesi madu dengan menggunakan kain. Hal itu dimaksudkan agar anak tersebut memiliki kata-kata semanis madu.
Beberapa hari setelah kelahiran, diadakan acara akikah sesuai ajaran Islam. Bayi laki-laki disembelihkan dua ekor kambing, sedang bayi perempuan seekor kambing. Selain diakikahi juga dilanjutkan dengan pemotongan rambut sekaligus pemberian nama kepada bayi tersebut.
Ketika bayi berusia tiga bulan diadakan upacara yang disebut mengayun budak. Bagi bayi perempuan diadakan pelubangan di telinganya atau bertindik untuk dipasang perhiasan. Pada usia enam bulan diadakan upacara turun tanah, yaitu ketika bayi itu menjejakkan kakinya pertama di tanah.
Pada usia masuk tujuh tahun, orang tuanya akan mengantarnya kepada guru ngaji untuk belajar al-Qur’an, bersilat, menari Zipin. Pada saat itu tiba waktunya seorang anak dikhitan (bersunat), baik laki-laki maupun perem-puan. Dalam acara bersunat, pesta perayaannya dimeriahkan dengan kesenian gazal dan langgam. Khusus anak laki-laki khitan dilakukan setelah ia tamat mengaji al-Qur’an yang ditandai dengan upacara berkhatam ngaji. Kebanggaan bagi orang tua jika anak yang dikhitan sudah khatam dalam membaca al-Qur’an. Sebaliknya, aib bagi orang tua jika anak yang dikhitan tidak dapat khatam membaca al-Qur’an.
Khitan merupakan tanda bahwa seorang anak laki-laki dianggap telah memasuki usia dewasa. Mereka mulai memisahkan diri dengan orang tua dengan cara tidur di surau atau masjid. Anak laki-laki yang sudah dewasa disebut bujang, sedang anak perempuan disebut dara atau gadis
            6.      Adat Minang
Menurut adat Minang, anak laki-laki yang sudah menginjak usia akil baligh harus segera dikhitan dan belajar mengaji. Masyarakat Minang mempunyai adat kebiasaan dalam rangka mengantarkan anak laki-lakinya menuju masa kedewasaan. Misalnya, upacara khitanan. Upacara tersebut sebagai tanda bahwa anak laki-laki tersebut sudah dianggap dewasa, sekaligus untuk mengislamkan dirinya. Adapun untuk anak perempuan yang masuk usia dewasa diadakan upacara merias rambut (menata konde). Upacara itu diada-kan ketika anak perempuan tersebut mendapat haid pertama
            7.      Adat Bugis
Nusantara terdiri atas berbagai suku bangsa. Setiap suku mempunyai tradisi atau adat istiadat masing-masing. Di Bugis, ada jenis tarian adat yang disebut tari pergaulan. Tarian itu dapat dimainkan secara berkelompok, biasanya dimainkan oleh sekelompok perempuan atau sekelompok laki-laki. Jadi tidak ada kelompok laki-laki dan perempuan menjadi satu. Tarian yang dimainkan oleh sekelompok laki-laki disebut Pakarena Burakne, sedang tarian yang dimainkan sekelompok perempuan disebut tari Pakarena Baine. Kedua jenis tarian itu menggambarkan kehalusan putra/putri Bugis. Tari pergaulan seringkali disajikan dalam berbagai upacara, seperti pernikahan, khitanan, atau hajatan lainnya. Tarian itu bertujuan untuk memeriahkan jalannya upacara
            8.      Adat Madura
Madura mempunyai beberapa kesenian adat, seperti sandur. Sandur mempunyai beberapa arti. Di Madura Timur, sandar berarti nyanyian ritual, meniru suara gamelan dengan mulut, dan tata cara bersenandung menghibur diri. Di Madura Barat, khususnya di Bangkalan, sandur mempunyai arti pertunjukan teater komedi yang dahulu diebut slubadan. Namun belakangan ini lebih populer dengan sebutan sandur Madura.
Sandur dikenal sebagai teater rakyat yang seluruhnya dimainkan oleh kaum laki-laki. Tema cerita yang diangkat berkisar tentang konflik rumah tangga. Sandur dipresentasikan dengan penuh kesahajaan, blak-blakan, lugas, dan komedi. Sandur mempunyai kemiripan dengan kesenian di Jawa seperti ketoprak, ludruk, dan teater daerah
            9.      Adat Sunda
Masyarakat Jawa Barat sebagian besar menganut agama Islam. Meskipun demikian, banyak adat yang masih berlaku. Sunda memiliki berbagai adat yang bernapaskan Islam, diantaranya setelah kelahiran hingga menjelang dewasa.
Kelahiran bayi merupakan peristiwa yang didambakan oleh kedua orang tuanya. Di Sunda, apabila bayi yang lahir laki-laki, ia akan segera diazankan di telinga kanan dan diiqamahkan di telinga kiri. Apabila bayi itu perempuan, ia cukup diiqamahkan. Dengan harapan, bayi yang baru lahir sudah mendengar kebesaran nama Allah swt, sehingga kelak menjadi anak yang saleh, bijaksana, pandai, dan taat menjalankan perintah agama. Kelahiran bayi ditandai dengan penyembelihan akikah sebagai rasa syukur kepada Allah swt.
Kedewasaan seorang anak laki-laki, ditandai dengan upacara yang disebut khitanan atau sunatan. Khitan biasanya dilakukan ketika anak berusia 7-8 tahun. Anak yang akan dikhitan tidak banyak darah yang keluar. Kemudian anak yang akan dikhitan mengenakan sarung.
Khitan dilaksanakan di halaman rumah. Anak yang akan dikhitan, kedua kakinya diangkat oleh seorang lelaki dewasa. Hal itu untuk mempermudah tukang sunat (paraji sunat) melakukan tugasnya. Setelah khitan selesai dilaksanakan, diadakan perayaan untuk mnghibur anak yang dikhitan

Ingat !!
Para ulama dalam berdakwah tidak merombak dan menghapus tradisi dan adat istiadat yang sudah ada dan mengakar di masyarakat, tetapi memberikannya nuansa islami dan menjadikannya sebagai media dakwah Islam. Dari sinilah lahirnya tradisi Islam Nusantara.
Kamus istilah
1.      Akulturasi : percampuran dua kebudayaan atau lebih
2.       
Uji Kompetensi
Tes Afektif
Berilah tanda ()  pada kolom S (setuju) atau TS ( tidak setuju ) pada pernyataan di bawah ini!

No
Pernyataan
S
TS
1
Kesenian lebih banyak madaratnya daripada maslahatnya


2
Sebagai orang Jawa kita tidak perlu melestarikan budaya orang luar Jawa


3
Meski wayang merupakan peninggalan Sunan Kalijaga, kurang elok jika mengadakan pertunjukan wayang di halaman masjid


4
Banyak budaya Hindu-Budha yang dilebur menjadi budaya islami


5
Teguh pendirian itu misalnya hanya membudayakan budaya sendiri


6
Pembacaan al-Barzanji termasuk budaya Islam yang tidak perlu diperten-tangkan di masyarakat yang tidak menyukai


7
Memberikan apresiasi terhadap budaya Islam antara lain mau mengembang-kan dan melestarikan di tengah-tengah lingkungan kita.


8
Halal bi halal adalah tradisi/budaya asli Indonesia


9
Tradisi Islam yang ada di Nusantara bukan merupakan ajaran Islam yang harus diamalkan.


10
Kepercayaan masyarakat yang sudah mendarahdaging tidak mungkin dapat dihilangkan secara langsung, karena itulah dalam berdakwah kita harus cerdas menciptakan media yang tepat.


Tugas Mandiri
·         Tunjukan semangat para tokoh dalam mengembangkan agama Islam di Indonesia
Test Pengetahuan
   I      Berilah tanda silang (x) pada huruf a, b, c, atau d di depan jawaban yang paling benar!
1.      Kepercayaan masyarakat Indonesia sebelum datangnya agama Islam telah mengalami beberapa perubahan. Kepercayaan pertama yang dianut masyarakat Indonesia adalah ....
a.       Hindu                                            c.   Dinamisme
b.      Budha                                           d.   Animisme
2.      Kepercayaan yang menganggap bahwa setiap benda itu memiliki kekuatan ghaib yang suatu saat dapat menyelamatkan manusia dari malapetaka disebut ....
a.       Animisme                                     c.  Dinamisme
b.      Monotheisme                                d.  Atheisme
3.      Kepercayaan animisme mempunyai empat aliran, Diantaranya terdapat di bawah ini, kecuali ...
a.       Menyembah alam                          c.  Menyembah makluk halus
b.      Menyembah binatang                    d.  Menyembah roh nenek moyang.
4.      Kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang menganggap bahwa di dalam setiap benda mempunyai roh disebut ...
a.       Animisme                                      c.  Dinamisme
b.      Monotheisme                                d.  Atheisme
5.      Agama Hindu merupakan agama yang lahir pada tahun 1500 sM di India. Salah satu ajaran dalam agama ini adalah percaya kepada tiga dewa yang diesbut....
a.       Tripitaka                                        c.   Trinitas
b.      Trimurti                                         d.   Trisakti
6.      Dari beberapa latar belakang kehidupan manusia, latar belakang yang paling banyak mewarnai adat-istiadat masyarakat Indonesia, adalah ....
a.       Latar belakang perekonomiannya c.   Latar belakang Kepercayaannya
b.      Latar belakang Agamanya            d.   Latar belakang rasnya.
7.      Dengan mengggunakan jalur adat istiadat yang sudah ada sebagai media dakwah, maka penyiaran Islam di Indonesia ....
a.       Berjalan dengan lambat                c.   Banyak yang menolak
b.      Sulit diterima masyarakat             d.   Berjalan lambat    
8.      Salah satu contoh ajaran Islam yang telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia sejak dulu hingga sekarang masih dilaksanakan oleh umat Islam di berbagai daerah adalah ....
a.       Perkawinan                                   c.   Khitan
b.      Pergaulan                                      d.   Berkhatam ngaji
9.      Perhatikan bentuk-bentuk tradisi budaya/adat istiadat yang berhubungan dengan kehidupan manusia dibawah ini !
1.  Nujuh Bulan           2.  Perceraian     3.  Kelahiran      4.   Kematian
Dari keempat tradisi diatas yang sering dilakukan peringatan adalah .....
a.       1 2 3                                              c.  1 2 4
b.      2 3 4                                              d.  1 3 4
10.  Salah satu hari besar Islam yang telah menjadi  tradisi masyarakat  Indonesia kemudian kehadirannya disambut dan diperingati secara besar-besaran oleh masyarakat Indoensia adalah ....
a.       Puasa Ramadlan                            c.   Maulid Nabi
b.      Hari Raya Idhul Fitri                    d.   Tahun Baru Hijriah
II      Isilah titik-titik di bawah ini dengan jawaban yang benar!
1.      Kesenian wayang mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari kerajaan ....
2.      Untuk menghilangkan kesan yang berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca dan roh, para ulama berusaha dengan menghilangkan wujud gambar ....
3.      Ketika memainkan wayang Sunan Kalijaga menyisipkan ajaran-ajaran Islam (religius), pendidikan, dan ....
4.      Sekaten mulai diperkenalkan Raden Patah di Demak pada abad ....
5.      Lagu-lagu kasidah biasanya dibawakan dengan irama .... dan ....
6.      Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri kerato mengadakan pertemuan antara .... dengan .... secara serentak di balai istana
7.      Dalam adat melayu, ketika bayi berusia tiga bulan diadakan upacara yang disebut ....
8.      Masyarakat Minang mempunyai adat kebiasaan dalam rangka mengantarkan anak laki-lakinya menuju masa kedewasaan yaitu  ....
9.      Khitan dilaksanakan di halaman rumah. Anak yang akan dikhitan, kedua kakinya diangkat oleh seorang lelaki dewasa adalah adat ....
10.  Dalam adat Bugis tarian yang dimainkan oleh sekelompok laki-laki disebut ....
III      Jawablah  pertanyaan berikut ini dengan tepat dan benar !
1.      Mengapa  agama Islam mudah dan cepat diterima oleh masyarakat Indonesia?
2.      Apa yang dimaksud dengan Tradisi Islam Nusantara?
3.      Jelaskan dengan bahasa kamu sendiri bagaiman proses terjadinya akulturasi antara Islam dengan budaya lokal!
4.      Sebutkan corak dan karakterisitik masyarakat Islam Indonesia!
5.      Apakah tujuan dilakukan “pembaharuan dalam Islam”? Menurut kamu perlukah pembaharuan itu?















DAFTAR PUSTAKA

      1.      Abdul Hamid Hasan, “Ternate dari abad ke abad”, Ternate 1987
      2.      Asnawi, Muh, 2006, Sejarah Kebudayaan Islam untuk Kelas 3 Madrasah Aliyah, Aneka Ilmu, Semarang
      3.      Az Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, Toha Putra, Semarang, 1993
      4.      Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah-Cermin, 2006, “Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual”, Jakarta, Kompas
      5.      Budi Sudrajat, Muhammad Sholeh, 2007,Sejarah Kebudayaan Islam”, Jakarta, Yudhistira
      6.      Darsono, T. Ibahim, 2008, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam, Solo, Tiga Serangkai
      7.      LOMBARD, 2006, Denys. Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, ISBN 979-9100-49-6 ulasan di ruangbaca.com ulasan di pdat.co.id
      8.      M. Adnan Amal, "Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250-1800 Jilid I dan II", Universitas Khairun Ternate 2002.
      9.      Prof. R.H.A. Soenaryo, SH,dkk, Al Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama, Jakarta, 1992
  10.      Prof E.K.W Masinambow, “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa – bahasa Austronesia dan Non Austronesia”, dalam TERNATE BANDAR JALUR SUTERA, LinTas 2001
  11.      REID, Anthony, 2005, Asal Usul Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-534-X
  13.      SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, 2006, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit PUSTAKA
  14.      Willard A. Hanna & Des Alwi, "Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak", Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996
  15.      http://k1r0m.multiply.com/journal/item/1, (diakses 12 November 2009, jam 08.00)
  16.      http://www.dakwatuna.com, (diakses 12 November 2009, jam 10.00)
  18.      Zain, Sabri Sejarah Melayu, Parameswara. (Diakses pada 31 Januari 2009)
  19.      Zain, Sabri Sejarah Melayu, The Melaka Empire. (Diakses pada 31 Januari 2009)
  20.      http://ulamanusantara.blogspot.com/2008/05/abdul-rauf-singkel.html (diakses 12 November 2009, jam 10.00)
  21.      http://ristu-hasriandi.blogspot.com/2009/08/abdul-rauf-singkel.html (diakses 12 November 2009, jam 10.00)
  22.      http://epondok.wordpress.com/2009/10/15/islam-dan-budaya-alam-melayu/ (diakses 12 November 2009, jam 10.00)







LihatTutupKomentar